BAKU, insidepontianak.com – Jauh dari hiruk-pikuk Ibu Kota Azerbaijan, Baku, puing-puing bangunan di Aghdam ringkih berdiri, letih menjadi saksi sejarah dari konflik antara Azerbaijan dan Armenia.
Dinding-dinding bangunan banyak yang bolong-bolong, tak beratap, bahkan nyaris runtuh serta terlihat kusam dimakan usia.
Deretan bangkai mobil tua yang hancur, onggokan reruntuhan dinding, dan tumpukan pasir dapat ditemukan di berbagai sudut kota yang dulu dikenal sebagai salah satu distrik terbesar dan terindah di Azerbaijan.
Akibat konflik, keindahan kota bernama Aghdam yang berarti istana kecil dalam Bahasa Turki kuno tak berbekas.
Distrik yang memiliki luas kurang lebih 1.154 km2 itu kini tidak berpenghuni, sepi, dan sunyi.
Distrik tersebut terpaksa ditinggalkan penghuninya karena agresi militer yang dilakukan Armenia setelah pembubaran Uni Soviet pada tahun 1991.
Sebelum pendudukan oleh Armenia, industri berat, makanan ringan, serta pertanian dikembangkan di Aghdam.
Aghdam terlibat dalam perang Karabakh pertama yang pecah pada 1988, menurut Penasihat Senior pada Perwakilan Khusus Presiden Azerbaijan di bagian Wilayah Ekonomi Karabakh yang dibebaskan Araz N. Imanov saat ditemui ANTARA di Aghdam, Azerbaijan, beberapa waktu lalu.
Perang berdarah itu berlangsung hingga gencatan senjata pada tahun 1994 dan membuat Armenia menduduki 20 persen wilayah Azerbaijan. Lebih dari 30.000 orang Azerbaijan terbunuh, satu juta lainnya diusir dari tanah tersebut.
Pasukan Armenia menduduki sebagian besar distrik Aghdam, termasuk kota dan 89 desa, yang mencakup sekitar 73 persen wilayah distrik tersebut, pada 23 Juli 1993.
Area pendudukan diratakan dengan tanah. Sejumlah kecil desa di Distrik Aghdam tetap berada di bawah kendali Azerbaijan setelah pendudukan Armenia, ujar Imanov.
Selama 5 tahun pertempuran berdarah untuk mempertahankan Aghdam, sebanyak 5.897 orang tewas, 3.531 menjadi cacat, dan 1.871 anak menjadi yatim piatu.
Ribuan orang menjadi cacat fisik, lebih dari 126 ribu (1993) warga Aghdam mengungsi dari tanah airnya.
Pada 29 Juli 1993, Dewan Keamanan PBB mengadopsi resolusi 853, berdasarkan laporan Mario Rafaelli, mantan Ketua OSCE Minsk Group.
Resolusi itu mengutuk pendudukan Aghdam, menyerukan penarikan pasukan pendudukan segera, lengkap, dan tanpa syarat dari daerah tersebut dan untuk kembalinya pengungsi ke rumah mereka

Imanov mengatakan sebagian besar monumen yang ditinggalkan di wilayah pendudukan ini telah hancur seluruhnya atau sebagian.
Museum telah dijarah, monumen dan artefak dicuri dan diangkut ke tempat lain.
Beberapa museum yang hancur, antara lain, Museum Roti, Museum Sejarah dan Geografi, Museum Pemain tar terkenal Gurban Pirimov, dan Galeri Seni.
Masjid Juma, lanjut Imanov, sebuah monumen arsitektur dan keagamaan kuno di pusat kota Aghdam–satu-satunya masjid di distrik ini– juga mengalami kerusakan parah.
Ia mengatakan langit-langit hancur dan prasasti dinding terhapus seluruhnya di Masjid Juma.
Karena vandalisme Armenia pada tahun 2008, majalah Lonely Planet menyebut Aghdam sebagai “Hiroshima Kaukasus”, kata dia.
Imanov juga mengatakan bahwa puluhan kuburan di distrik Aghdam tak luput dari kehancuran. Batu nisan dihancurkan dengan palu atau benda serupa lainnya. Kuburan digali untuk mencari gigi emas dari jasad-jasad yang sudah dikubur.