Prof Henny Herawati: Si Ahli Air Kalbar, Bicara Ilmu, Dedikasi dan Pengabdian

3 Maret 2024 09:29 WIB
Ilustrasi
Entah apa yang dipikirkan gadis kecil yang tengah meringkuk di sudut rumah balai kayu itu. Ia tak terlalu paham apa yang dibicarakan orang sekitarnya. Hanya dua kata yang ia ingat, kata ‘pergi’ dan ‘paman’ Usinya baru 11 tahun kala itu. Apa arti dua kata itu, ia tak paham. Ia baru mulai mengerti kepingan kejadian itu ketika sang ayah dan ibunya menitikan air mata. Mata keduanya memerah, raut sedih kentara di wajah lelah mereka. Ingatan gadis kecil yang kini genap berusia 50 tahun itu mulai menyatu. Mulai paham dan menyadari bahwa itu adalah raut perpisahan. Henny Herawati nama gadis kecil itu. Membumbung pilu dan meratap sedih saat tangan kecilnya mengecup ringan tangan-tangan kecoklatan kedua orangtuanya. Henny tak berdaya merengkuh kedua orang yang ia kasihi dalam hidupnya itu. Usianya masih sangat belia untuk paham kepergiannya itu semata-mata demi dirinya. Demi masa depan lebih baik. Meski tak ada yang tahu masa depan, tapi kedua orangtua Henny sepertinya bisa menerka apa yang terbaik untuk anak mereka. Henny kecil pun dibawa ke Kabupaten Sintang. Ia dititipkan di rumah sang paman yang sudah mapan. Di sana ia memulai hidup. Jauh dari orangtua, tak ada saudara, adik kakak. Semua ia lakukan sendiri. Tak heran, tangguh dan pekerja keras bukan barang baru baginya. Masa Kecil, Masa Harapan “Ingat makan” dan “Sekolah yang rajin” kata-kata yang paling meresap dalam kepala kecilnya kala ia meninggalkan kampung halamannya itu. Henny Herawati lahir di Nanga Silat, Putussibau, Kabupaten Kapuas Hulu pada 31 Januari 1972. Kata-kata itu seperti mantra. Jadi obat penawar rindu saat tak bisa bertemu orang-orang tersayang di kampung. Saat bertemu dan bercerita, profesor yang dikenal ahli soal air ini mengaku seperti kembali ke masa lalu. Ia sama dengan anak kecil kebanyakan. Masa kecil ia habiskan bersama keluarga besarnya. Tumbuh dengan enam saudara. Henny anak ketiga. Anak tengah. Orang bilang, anak tengah adalah anak harapan. Suatu saat bisa jadi kebanggaan. Terbukti, 38 tahun kemudian, tepatnya tahun 2020 ia diangkat sebagai guru besar Fakultas Teknik, Universitas Tanjungpura Pontianak. Ia menjadi kebanggaan orangtua. Tak hanya jadi kebanggaan, tapi jadi harapan keluarga untuk pengabdian yang tak pernah pupus. Siapa sangka, Henny dengan pencapaian gemilang seperti sekarang ini. Padahal, ia dikenal anak tak pandai diam. “Suka sana sini. Ikut ayah ke mana saja. Ke hutan cari kayu, belum lagi manjat pohon. Pokoknya aktif waktu kecil,” ungkap ibu tiga anak ini. [caption id="attachment_28356" align="alignnone" width="1022"]Henny Herawati bersama sang ibunda saat di Tanah Suci/pribadi Henny Herawati bersama sang ibunda saat di Tanah Suci/pribadi[/caption] Ia ingat waktu usianya masih lima tahun. Ia dibawa ke hutan oleh ayahnya. Maklum, sang ayah berprofesi sebagai pemborong dan seniman kayu. Kerjanya, dari menebang kayu hingga membentuk kayu jadi perabot. Ayahnya dikenal aktif. Tak heran, Henny kecil pun ketiban aura sang ayah. Orang menyebut, anak perempuan pasti mirip ayah. Itu gambaran pas, dalam melukiskan sosok sang ayah di mata Henny. Ketika jauh dari orangtua dan harus bersekolah di Sintang, Henny mulai mencari berbagai kegiatan sekolah. Kebetulan ia bersekolah di salah satu SMP swasta terbaik di sana. SMP Panca Setia, sekolah kepasturan yang tak hanya bagus di masanya tapi banyak mengeksplorasi bakat-bakat Henny. “Paman ingin saya sekolah di tempat terbaik. Pesan ayah dan ibu, harus giat belajar. Pokoknya pendidikan bagi keluarga penting sekali,” ujarnya. Begitu juga ketika di SMA, ia banyak belajar dan jauh berbeda dari teman-teman Henny yang lain. Jauh dari orangtua tak hanya mengharuskan ia mandiri dan dewasa sebelum waktunya. Ia juga harus berdaptasi cepat dengan lingkungan yang ada. Apalagi, keluarga sang paman adalah keluarga modern dengan didikan ala barat. “Paman kan pilot. Sekolah di swasta Belanda. Jadi, bahas sehari-hari bahasa Inggris dan Belanda. Saya harus bisa, walau sedikit,” ungkap Henny mengingat kejadian itu Sosok Inspirasi Jika ditanya siapa yang paling berperan dalam hidupnya, pasti Henny akan menjawab ayah dan ibunya. Terutama sosok ayah. Tak hanya jadi inspirasinya dalam untaian semangat dan keseharian. Sosok ayah adalah pintu masuk Henny mengenal dunia teknik sipil. Hingga bisa menjadi guru besar Teknik Sipil, Bidang Ilmu Teknik Sumber Daya Air. Ada tangan dingin ayah dalam setiap jejak karier seorang Henny Herawati. Jika ditilik lebih jauh, Teknik Sipil bukan cita-cita awal. Ia mencintai alam. Tak heran, jika cita-cita awalnya berhubungan dengan pertanian. Namun, sekali lagi sosok ayah berperan di sini. Melihat Henny meneruskan impian tak kesampaian sang ayah di Teknik Sipil. Tak bisa dipungkiri, Henny sangat dekat dengan ayahnya itu. Ia tak bisa jauh dari sang ayah, tapi apa daya ia harus pergi kala itu. Ketika saat SMA pun Henny langsung memilih jurusan IPA-Fisika. Niatnya ingin menyenangkan sang ayah. Ini juga akan mempermudah ketika ia harus mengambil jurusan kuliah Teknik Sipil. Saat itu, Henny duduk di kelas 2 di SMA Kapuas Pontianak. Ia pindah ke Kota Pontianak dari Sintang karena jurusan Fisika tak ada di sana. “Ayah yang punya peran penting. Tapi saya tak masalah, saya juga suka pelajaran IPA. Terutama matematika, hitung-hitungan,” ucap Henny. Di Pontianak ia tinggal bersama sang tante. Hingga ia mampu menamatkan sekolahnya itu. Sebagai anak baru lulus sekolah, Henny masih bingung dalam penentuan jurusan. Apakah masuk Teknik Sipil atau jurusan Pertanian. Ia bimbang. Dalam hati kecilnya ia ingin sekali masuk pertanian, tapi pesan sang ayah untuk ia masuk jurusan sipil masih menghantuinya. Tak bisa lepas. Ia anak yang berbakti, tak pernah melupakan janji yang ia ikat dengan ayah tercitanya itu. Kebimbangan tak berlangsung lama, kematian sang ayah membuatnya mantap memilih jurusan Teknik Sipil. Baginya, ia bukan sekedar permintaan sang ayah tapi jalan takdir yang harus ia ikuti. Ia tak tahu mau jadi apa kelak. Ia hanya berusaha, berupaya terbaik dalam melakukan apapun. Begitu juga saat ia lulus ujian masuk universitas. Ia diterima di jurusan Teknik Sipil. Mulai Mencintai ‘Air’ Pukulan berat bagi Henny karena sanga ayah tak lagi bisa menemani. Tak bisa melihatnya meraih mimpi. Tak bisa berbagi suka ketika tak ada yang mengerti akan kesusahannya. Untungnya, Henny punya banyak kegiatan di kampus. Ia aktif di berbagai kegiatan kampus. Dari kegiatan satu hingga kegiatan yang lain. Tak kenal lelah. Saat kuliah ia masih tinggal bersama sang tante. Kebetulan ia tinggal sekaligus merawat kakak ayahnya itu. Ketika malam tak ada yang merawat, maka Henny yang menjaga. Ia tak mengeluh, malah ia punya banyak waktu untuk belajar lebih giat. Ia pun akhirnya menamatkan kuliah di tahun 1995. Ia lulusan termuda, 23 tahun saat itu. Dengan IP katagori baik di masanya. Sejumlah beasiswa prestasi pun sempat ia raih. Paling menarik adalah soal skripsi S1 Henny. Judulnya ‘Drainase Kota Mempawah’. Tak sembarangan ia memilih judul itu, ada banyak cerita dan pesan dalam judul skripsinya. Dari situ ia mulai mencintai apa-apa ilmu yang berbau air. Dari mulai drainase, irigasi, hidrologi, bangunan air semuanya soal air ia pelajari dan babat habis. Ketekunannya mempelajari air dilihat sang dosen. Lantas, menyuruh Henny untuk menjadi ketua lab dan asisten dosen. Ia pun diminta mengajar. Berbekal surat dari dekat, Henny mulai kelas pertamanya sebagai dosen. Baru, di bulan Agustus 1995 ia lulus jadi PNS dosen. Ia mengajar di Jurusan Teknik Sipil bidang Ilmu Air. Kecintaannya untuk belajar soal air makin menjadi. Tak sembarangan bisa mempelajari ilmu air ini. Bisa dibilang ilmu air cukup sulit. Tak banyak orang tertarik. Namun, bukan Henny namanya jika tak tertantang untuk belajar tentang ilmu ini. “Saya kan suka lingkungan. Dari kecil, maka ini ilmu air pas bagi saya. Ini tantangan bagi saya untuk belajar tentang ini,” papar Henny. Terbang Menembus Awan Ketika prajab di tahun 1996, ia pun magang di Institute Teknologi Bandung (ITB). Kampus terkenal jika bicara teknologi. ITB juga terkenal dengan melahirkan banyak pakar dan ahli di berbagai bidang. Selama satu tahun ia magang di ITB. Ia pilih mata kuliah Irigasi. Sebagai pendatang, ia tak menyia-nyiakan kesempatan emas itu. Pikirnya, kapan lagi bisa menimba ilmu dan diajar dosen-dosen berpengalaman. Uniknya, sang dosen pembimbing kala itu mengajaknya terlibat dalam berbagai kegiatan. Salah satu yang tak pernah ia lupakan, bahkan jadi pengalaman berharga ketika sang dosen memintanya terlibat dalam proses penyemaian. Untuk pembuatan hujan buatan. Bukan penyemaian di atas tanah tapi di atas awan. Menggunakan pesawat khusus. Bak mendapat durian runtuh, tanpa pikir panjang ia menerima tawaran sang dosen. Iapun terbang menembus awal untuk menabar NaCl (garam dapur) dalam bubuk untuk modifikasi cuaca. “Pengalaman luar biasa yang kala itu bukan siapa-siapa, tapi mendapat kesempatan membanggakan bagi saya pribadi,” ucap Henny. Pengalaman itu tak hanya membekas di hati, tapi mengajarkan tentang tujuan ia menjadi dosen. Seperti upaya penyemaian untuk memancing hujan demi kesejahteraan manusia. Ia berpikir, ia juga bisa bermanfaat dengan ilmunya. Berbagi bagaimana keberlangsungan hidup permukaan dengan air sebagai base-nya. Ia makin terpacu untuk makin mengenal berbagai ilmu terapan soal air. Belajar dari Tanaman Melon Tahun 1998, ia tanpa ragu mengambil S2 di kampus tempat ia magang dulu. Di ITB, ia makin melebarkan sayap dengan berbagai pengalaman. Hingga akhirnya, ia harus menyelesaikan studi akhir. Mengerjakan tesis. Mungkin benar kata pepatah ‘Keberuntungan akan selalu hadir, seperti takdir yang selalu menyapa’. Kembali, ia bertemu dosen pembimbing yang memintanya untuk mengambil tesis soal pertanian. Kebetulan, sang dosen punya perkebunan Melon di Kota Solo. Jadilah tesis dengan judul ‘Tata Air untuk Tanaman Melon’. Ini seperti mimpi yang jadi kenyataan. Dulu ia sangat ingin masuk jurusan pertanian. Siapa sangka tesis-nya sekarang berhubungan dengan impian terpendamnya. Tak bisa menutupi rasa bahagia, Henny bertekad akan makin banyak belajar. Mulailah pengerjaan tesis dilakukan. Henny harus bolak balik Bandung-Solo. Ternyata, tak mudah menghitung kadar air yang dibutuhkan untuk tanaman Melon. Ia makin tercengang ketika banyak hal tak terduga terjadi. Terutama soal detail dalam merawat tanaman Melon, seperti merawat bayi. Tapi, itu adalah pengalaman tak terhingga bagi gadis muda itu. Ia banyak belajar dari tanaman Melon. Seperti hidup, butuh proses dan tahapan untuk bisa jadi memuaskan. Sama juga dengan tanaman Melon, butuh proses untuk bisa jadi buah manis dan renyah. Akhirnya, ia lulus S2 dengan nilai cukup memuaskan. Ia kembali ke Pontianak dan mengabdi lagi sebagai pengajar. Kaya pengamalan, ilmu pun membuat Henny makin semangat berbagi apa yang sudah ia dapat. Seperti tak habis untuk mengasah ilmu, kembali di tahun 2012, ia mengambil kuliah S3 di Universitas Diponegoro (UNDIP) Semarang. Selama lima tahun ia berkutat dengan disertasi menyoal air juga. Kali ini, Henny lebih mapan. Ada suami dan tiga gadis kecil yang mendukung kariernya. Ingin Jadi Sosok Bermanfaat Selain mengajar di Universitas Tanjungpura, Henny banyak terlibat di sejumlah organisasi dan proyek vital di Kalbar. Salah satunya, jadi bagian dari Himpunan Ahli Teknik Hidraulik Indonesia (HATHI) Kalbar. Ia kerap tampil di berbagai seminar lokal hingga nasional. Spesialisasinya tentang air. Apapun jika berkaitan dengan bidang ini, Henny ahlinya. Ia banyak dilibatkan dalam pertemuan dan rumusan penting di Kalbar. [caption id="attachment_28366" align="alignnone" width="696"]Henny Herawati saat mengisi seminar/pribadi Henny Herawati saat mengisi seminar/pribadi[/caption] Tak heran, banyak kolega menyebutnya si profesor air. Ahli air yang banyak berkontribusi dalam tata air. Baginya, itu adalah bentuk dedikasi dan pengabdian dari ilmunya. Selagi bisa bermanfaat, ia akan senang hati terlibat memberikan ide serta masukan. Ia tak punya goals muluk dalam kariernya. Ia banyak ditanya soal pencapaian terbesarnya apa. Dengan senyum hangat ia menjawab ‘Selama bermanfaat, saya lakukan’. “Saya melakukan semua dengan sungguh-sungguh. Saya percaya, jika kita melakukan itu dengan sebaik-baiknya. Dengan kemampuan terbaik kita. InsyaAllah apa yang kamu kerjakan pada akhirnya bisa berguna. Tak hanya untuk sendiri, tapi juga orang lain,” katanya dengan mata berkaca-kaca. Ia mencintai profesinya itu. Ia percaya, ilmu yang ia miliki bisa membantu kehidupan lebih baik. Terutama, bagaimana menjaga alam dengan keseimbangan di dalamnya. Di Kalbar, situasi permukaan perlu penanganan serius. Jika tidak, ekosistem yang ada akan makin rusak. Infrastruktur tak harus menganggu proses alaminya alam. “Saya membuat filosofi air adalah sumber kehidupan. Kalimanatan kaya akan sumber air tapi bagaimana kualitasnya. Kenapa berkurang? karena tak ada keseimbangan di dalamnya. Ini yang harus kita lakukan bersama agar kondisi Kalbar bisa lebih baik,” paparnya. Ingin Mengabdi di Kampung Halaman Bergelar profesor atau guru besar tak membuat Henny jumawa. Baginya, gelar profesor adalah bonus dari dedikasi dalam bidangnya itu. Sekaligus amanah yang harus ia emban. Tanggung jawab itu berat bagi Henny. “Gelar adalah hadiah dari konsistensi. Minta doa agar saya bisa lebih amanah dengan jabatan ini,” ucapnya pelan. Henny sosok lembut. Buktinya, ia gampang trenyuh dalam hal apapun. Meski di mata mahasiswanya, ia dikenal tegas dan disiplin. Apresiasi guru besar ini patut kita acungi jempol. Terutama soal pengabdian. Baginya, pengabdian akhir yang ingin dilakukan sangat sederhana. Ia ingin pulang ke kampung halaman. Ingin mengabdi. Ia ingin membangun pusat pendidikan di sana. “Datok punya tanah luas di Nanga Silat. Sangat strategis tempatnya. Bisa jadi pusat pendidikan untuk anak-anak kita ke depan,” paparnya. Henny yakin, pusat pendidikan akan mampu melahirkan generasi maju untuk daerah asalnya itu. Meski kampung, pikiran tak harus kampungan. Itu kata yang selalu ia tanamkan kepada setiap mahasiswa dari daerah yang menimba ilmu ke kota. Ia ingat pesan ayah dan ibunya, selalu menekankan pentingnya pendidikan dan ahlak. Bukan uang yang bisa mengubah masa depan, tapi ilmu dan semangat yang mampu membimbing seseorang jadi berguna. Tak hanya bergelar. Tapi juga berkarakter. Baginya, tak cukup gelar untuk membuat sukses. Tapi bagaimana, dengan gelar itu mampu membahagiakan orang sekitar. Mampu membawa perubahan. Tak untuk sendiri, tapi untuk generasi berikut. Pastinya, untuk kehidupan lebih baik. (Wati Susilawati) ***

Leave a comment