Profesor Dr Golrida Purba: Dari Tidak Suka hingga Jadi Guru Besar Akuntansi

3 Maret 2024 09:29 WIB
Ilustrasi
PONTIANAK, insidepontianak.com - Berawal dari “tidak suka” dengan program studi pada jenjang sarjana, Prof Dr Golrida Karyawati Purba P MSi Ak CA membuktikan diri. Sesungguhnya belajar, kata Prof Dr Golrida Purba, bukan hanya sekadar mendapatkan nilai. “Belajar bukan hanya untuk mendapatkan nilai, tapi belajar untuk dapat menyelami sesuatu dari yang dipelajari,” ujar Profesor Dr Golrida Purba, pada pengukuhannya sebagai guru besar akuntansi di Universitas Pelita Harapan, Tangerang, Banten, akhir pekan lalu. Golrida menceritakan, awalnya ia tidak menyukai akuntansi. Saat seleksi masuk perguruan tinggi negeri (PTN), ia sedang sakit sehingga tidak bisa menjawab soal dengan maksimal. “Saya asal saja ngisinya saat UMPTN. Tapi rencana Tuhan berbeda dengan rencana kita,” kenang Golrida. Ia menyelesaikan pendidikan jenjang sarjana pada program studi akuntansi Universitas Sumatera Utara (USU). Kemudian melanjutkan pendidikan magister di Universitas Indonesia dan doktoral di Universitas Brawijaya di Malang Jawa Timur. Melalui akuntansi, banyak hal yang dipetik oleh Golrida. Ia jadi lebih bisa menghargai setiap orang, apapun profesinya. Setiap orang memiliki kejeniusan di bidang masing-masing. Sama seperti yang terjadi di akuntansi, tanpa orang-orang yang memiliki kejeniusan di bidang masing-masing , tidak akan ada yang namanya keseimbangan. [caption id="attachment_31429" align="aligncenter" width="400"]Profesor Dr Golrida Purba Profesor Dr Golrida Purba. (Linked)[/caption] Hal itu juga diterapkannya dalam pembelajaran. Golrida selalu berpesan pada mahasiswanya untuk tidak hanya lulus dan mendapatkan nilai, tapi bisa menyelami apa yang dipelajari. Apalagi dengan perkembangan teknologi yang sedemikian pesat, mahasiswa khususnya pada program studi akuntansi harus bisa mengambil pertimbangan dalam menghadapi kasus yang ada. “Memang budaya akuntan di Indonesia, masih berani melakukan “judgment”. Nah itu, kita sebagai pendidik harus bisa melatih para mahasiswa dengan soal-soal yang menggunakan pertimbangan-pertimbangan mereka,” jelas dia. Selama ini, jika ada ujian tertulis maka mahasiswa hanya menjawab berdasarkan apa yang ada di buku. Tugas seorang pendidik harus bisa memberikan contoh yang implementatif, yang melatih pertimbangan mahasiswa. Dengan demikian, mahasiswa tidak perlu risau bahwa profesi akuntansi dapat digantikan oleh teknologi seperti kecerdasan buatan. Dalam orasi pada pengukuhannya, Golrida menilai penerapan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 65 yang diterapkan sejak 2015 belum efektif. Padahal PSAK 65 yang merupakan perubahan dari PSAK 4 tersebut dapat memberikan panduan yang bersifat umum mengenai pengendalian yang tujuannya untuk memberikan ruang yang lebih luas dan fleksibilitas kepada akuntan dalam mengidentifikasi pengendalian. Untuk itu, perlu dilakukan evaluasi terhadap PSAK 65 karena urgensinya dalam menegakkan praktik bisnis yang sehat di Tanah Air. Sebaik apapun standar akuntansi, jika tidak diimplementasikan dengan baik tidak akan bermanfaat. Peralihan dari prinsip akuntansi berbasiskan aturan ke berbasiskan prinsip juga membutuhkan persiapan yang matang. Kunci peralihan tersebut adalah kesiapan infrastruktur, dan juga kompetensi dari para akuntan baik penyaji maupun auditor. “Efektivitas PSAK 65 di Indonesia pada akhirnya ditentukan oleh kompetensi akuntan dalam melakukan “judgment” dengan referensi yang kuat dan adanya pedoman yang memiliki legitimasi,” imbuh Golrida. Rektor UPH, Dr (Hon) Jonathan L Parapak M Eng Sc, mengatakan UPH bangga dapat mengukuhkan guru besar ke-23 tersebut. Pengurusan guru besar lebih dipermudah pemerintah, yang mana dalam waktu kurang dari satu tahun bisa meraih jabatan akademik sebagai guru besar. Selain itu prosesnya pun transparan dan bisa dilacak melalui sistem yang ada. Kemiskinan Sebagai anak yang lahir dari keluarga menengah ke bawah, Golrida membuktikan bahwa pendidikan dapat memutus mata rantai kemiskinan. Beruntung, ia memiliki orang tua yang mau mengikuti kemauan dan cita-cita anak-anaknya. Meskipun secara ekonomi, sulit untuk diraih, Kedua orang tuanya berjuang hingga titik akhir untuk dapat menyekolahkan anak-anaknya. Kedua orang tuanya tidak ingin ada rasa sesal keluar dari mulut anak-anaknya, karena orang tuanya tidak berjuang untuk anak-anak mereka. Apabila sudah berjuang habis-habisan tetapi ternyata tidak mampu, tidak ada rasa penyesalan di hati anak-anak. [caption id="attachment_31431" align="aligncenter" width="696"]Prof Dr Golrida Karyawati Purba Prof Dr Golrida Karyawati Purba[/caption] “Tapi ternyata Tuhan mendengar ketulusan dari perjuangan orang tua saya. Tidak ada satupun dari enam orang anak mereka yang tidak menyelesaikan perkuliahan,” kata Golrida yang juga aktif menulis di media massa itu. Baginya, orang tuanya merupakan pahlawan yang memutus takdir kemiskinan. Itu pula, yang membuatnya tidak setuju jika ada yang beranggapan bahwa kemiskinan akibat dari kemalasan. “Kemiskinan bukan karena kemalasan, tapi lebih pada takdir. Meskipun ada sebagian kemiskinan disebabkan kemalasan. Bayangkan jika saya anak dosen, mungkin saya kuliah di University of Michigan, karena saya punya kemewahan. Tetapi saya tidak punya kemewahan seperti itu,” jelas dia. Apa yang terjadi selama ini yakni jika seseorang dibesarkan dari lingkungan buruh contohnya, tentu saja akan berpikir seperti layaknya para buruh. Untuk itu perlu upaya untuk membuka wawasan dan berpikir maju ke depan. Salah satunya melalui pendidikan. Tentu saja upaya itu bukan perkara mudah dan membutuhkan perjuangan. Dengan demikian pendidikan diharapkan dapat memutus “takdir” kemiskinan yang dialami seseorang.***

Leave a comment