PSN Rempang Eco City dan PSN-PSN Lainnya yang Bermasalah (Bagian II)

3 Maret 2024 09:29 WIB
Ilustrasi

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara atau AMAN mencatat, hingga September 2023, sudah ada sebanyak 161 PSN yang sudah terealisasi di Tanah Air.

Namun, AMAN menyoroti pelaksanaan PSN yang cacat secara prosedur dan proyek dilaksanakan secara terburu-buru. Termasuk PSN Rempang Eco City berujung konflik dan kekerasan terhadap pribumi yang tergusur.

Di sisi lain, pemerintah dinilai sedang ‘ngebut’ dalam menyelesaikan rangkaian PSN di berbagai wilayah. Akibatnya, banyak permasalahan besar yang muncul.

Seperti, tidak adanya persetujuan sejak awal penetapan lokasi PSN, proses musyawarah yang dilakukan tidak dengan itikad baik, hingga intimidasi terhadap masyarakat sekitar proyek, yang seringkali berakhir dengan kriminalisasi.

Mirisnya, upaya kriminalisasi tersebut justru menimpa orang-orang yang berusaha untuk mempertahankan kelestarian dan keberlanjutan lingkungan hidup yang baik bagi generasi penerus bangsa ini.

“Seperti konflik di Rempang yang sedang terjadi saat ini. Pemerintah menyangkal bahwa masyarakat yang tinggal di Rempang bukanlah masyarakat adat, serta belum memiliki legalitas hukum," kata Muhammad Arman, Direktur Advokasi Kebijakan, Hukum, dan Hak Asasi Manusia (HAM) PB AMAN.

Ia menegaskan, 16 kampung tua di Pulau Rempang mengklaim eksistensi mereka sebagai masyarakat adat melalui hukum adat maka, sejatinya harus dihormati.

Baginya, ketiadaan pengakuan dari negara tidak berarti bahwa keberadaan masyarakat adat dan hak-hak tradisionalnya termasuk hak atas wilayah adatnya yang telah ditempati secara turun-temurun itu hilang.

Sementara itu, data AMAN selama lima tahun terakhir (2018-2022) mencatat setidaknya terdapat 301 kasus yang merampas 8,5 Juta hektar wilayah Masyarakat Adat.

AMAN juga mencatat beberapa konflik lainnya yang sudah terjadi akibat PSN seperti proyek Food Estate di Papua Barat dan Kalimantan Tengah, pembangunan Waduk Lambo di Nagekeo, NTT, proyek Geothermal di Manggarai, NTT, hingga proyek pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur.

“Semua konflik itu kami dokumentasikan dalam catatan akhir tahun AMAN," ujarnya.

Menurut Arman, pada proyek PSN IKN sendiri, setidaknya terdapat 21 komunitas masyarakat adat yang mendiami wilayah pembangunan IKN.

"AMAN memperkirakan sedikitnya terdapat 20,000 jiwa masyarakat adat yang akan terampas haknya, akibat proyek ambisius IKN di Kalimantan Timur itu,” ucap Arman.

Menurutnya, sudah kesekiankalinya tidak terlihat peran dari pemerintah pusat dan daerah dalam mencegah terjadinya tindakan represif terhadap masyarakat adat yang terlibat konflik akibat PSN.

“Pemerintah atau penyelenggara negara gagal menjalankan mandatnya untuk melindungi hak-hak warga termasuk dalam hal ini masyarakat adat, bahkan cenderung lebih pro terhadap kepentingan investasi-korporasi,” kata Arman.

Potensi konflik justru dipicu oleh kehadiran aparat dalam jumlah besar. Ada ketimpangan dalam adu kekuatan antara aparat dengan masyarakat terdampak, terutama masyarakat adat.

Menurutnya, pola serupa terjadi di semua PSN yang saat ini sedang dikebut oleh pemerintah, seiring dengan hampir berakhirnya periode pemerintahan Presiden Jokowi di 2024 mendatang.

“Saya tegaskan, kita tidak bisa ‘membeli’ sejarah. Negara telah gagal mempertahankan identitas warganya dan menghilangkan ruang hidup dan penghidupan mereka, terutama pada anak-anak muda sebagai pemilik masa depan bangsa ini,” tutup Arman. (ril/walhi/bersambung)***

Leave a comment