Banjir Sintang, Bukti Carut Marut Pengelolaan Lingkungan, Mitigasi dan Adaptasi Bencana (Bagian I)

15 November 2021 10:41 WIB
Ilustrasi
Banjir Sintang bukti carut marut pengelolaan lingkungan, mitigasi dan adaptasi bencana. Banjir Sintang dan penanganan bencana yang amburadul, terlihat lagi ketika banjir menerjang lima wilayah perhuluan di Kalimantan Barat. Proses mitigasi dan adaptasi bencana tidak ada. Padahal, BMKG telah memperingatkan dua bulan sebelum banjir. Gubernur Kalbar Sutarmidji dianggap gagal mengantisipasi dan menangani banjir. Banjir Sintang titik kegagalan pembangunan berwawasan lingkungan, mitigasi dan adaptasi bencana. Banjir menyebabkan ribuan warga mengungsi. Jalur jalan utama terputus. Aktivitas ekonomi lumpuh. Termasuk jaringan komunikasi seluler dan PLN. Banjir memperlihatkan buruknya koordinasi penanganan, antara pemerintah kabupaten dan provinsi Kalbar. Banjir peristiwa yang berulang setiap tahun. Namun, mitigasi dan penanganan belum menunjukkan kemajuan. Kesalahan terus berulang menangani banjir. Padahal, banjir merupakan peristiwa yang sudah bisa diprediksi dan diperkirakan, kapan datangnya. Ilmu cuaca bisa menjawabnya. Mestinya, ada persiapan untuk menangani. “Hingga penghujung tahun 2021, Sintang sudah alami enam kali banjir,” kata Anas Nasrullah, pemerhati lingkungan, sehari-hari tinggal di Sintang kepada Insidepontianak.com di Pontianak, Jum’at (12/11/2021). Data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sintang menyebut, banjir terjadi di 12 kecamatan, dari 14 kecamatan di Sintang. Banjir menyebabkan sekitar 140 ribuan warga terdampak. Banjir merendam 35.117 rumah. Mengenangi rumah mulai 30 cm hingga tiga meter. Bahkan, banjir membuat dua orang terseret banjir. Sebelum banjir terjadi, dua bulan sebelumnya, Badan Meteorolgi dan Geofisika (BMKG) di Pelabuhan Tebelian Sintang, sudah memberikan peringatan, akan terjadinya La Nina. Dampaknya, banjir yang bakal menggenangi wilayah itu. “Namun, tidak ada respon dari Pemkab Sintang atau Provinsi Kalbar, untuk melakukan antisipasi atau mitigasi,” kata Anas. [caption id="attachment_6308" align="alignnone" width="660"]Banjir di Kapuas Hulu Kondisi banjir di Kecamatan Silat Hulu, Kabupaten Kapuas Hulu. beberapa kecamatan di Kapuas Hulu kembali dilanda banjir, diantaranya Kecamatan Boyan Tanjung, Silat Hilir, dan Silat Hulu. (Ist)[/caption] Bicara mengenai banjir di perhuluan Kalbar, tentu saja harus dilihat kondisi wilayah hulu dan hilirnya. Juga sejarah pengelolaan dan alih fungsi lahan yang terjadi. Banjir tak lepas dari kebijakan masa lalu yang mengobral hutan. Hak Pengelolaan Hutan  Hak pengelolaan terhadap hutan, tak lepas dari sistem politik di suatu Negara. Era pemerintahan Orde Baru dengan Soeharto sebagai Presiden, tak lepas dari sistem sentralistik kepemimpinan. Tak heran bila hak penguasaan hutan, juga dilakukan secara sentralistik. Siapa yang dekat dengan kekuasaan pemerintah pusat di Jakarta, bisa mendapatkan Hak Pengelolaan Hutan (HPH). Peran pemerintah daerah hampir tak ada. Semua dikuasai pusat. Hak pengelolaan hutan diatur melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967, tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan. Atas nama pembangunan, Presiden Soeharto membuat UU Nomor 1 Tahun 1967, tentang Penanaman Modal Asing (PMA). UU tersebut, membuka secara luas, masuknya investor asing untuk menanamkan modal atau investasi di Indonesia. Tentu saja, juga investasi di sektor kehutanan. Data dari NGO Lanting Borneo, setidaknya terdapat lima perusahaan besar pemegang HPH di Kapuas Hulu. Yaitu, PT Benua Indah, dengan penguasaan lahan seluas 57.300 hektar. PT Bumi Raya Utama Wood Industries, 110,500 hektar. PT Lanjak Deras Jaya Raya, 45.740 hektar. PT Tawang Meranti, 49.200 hektar. PT Batasan seluas 49.150 hektar. Masa konsesi HPH biasanya 35 tahun. Di Kabupaten Sintang, terjadi praktik sama dalam pengelolaan hutan. Data penelitian Untan dan Konservasi Borneo, bekerja sama dengan CIFOR menyebut, ada 17 pemegang HPH di Kabupaten Sintang. Bila dijumlahkan, luas lahan 1.591.900 hektar. Lokasi HPH berada di Nangai Serawai, Sayan, Nanga Pinoh, Nangan Ela, Nanga Ambalau, Nanga Tebidah, Ketungau, Nanga Sepauk, Sokan, Ketungau dan Sintang. Merata di semua wilayah. Dari hulu hingga hilir 3 DAS yang mengalir di Sintang. Sungai Melawi, Tebidah dan Kapuas. Ketika itu, Kabupaten Melawi belum terbentuk. Pemekaran Kabupaten Melawi tahun 2003. HPH terluas dimiliki PT Jamaker (Perum Perhutani) seluas 220.000 hektar di Ketungau. Terluas kedua, PT Kayu Lapis Indonesia, seluas 177.000 di Nanga Sepauk. Era keemasan pemegang HPH ditandai dengan industrI plywood. Kayu ditebang dan digelontorkan melalui sungai. Tug boat menarik dan mendorong kayu log yang sudah disatukan melalui rakit, menuju Pontianak dan sekitarnya. Kayu digergaji di sawmill, menghasilkan berbagai jenis olahan triplek, multiplek dan lainnya. Booming industri kayu menggerakkan ekonomi Kalbar. Sayangnya, penebangan hutan tidak diikuti dengan penanaman kembali, atau reboisasi terhadap hutan. Penebangan hutan yang tak terkontrol, membuat hutan di Kalimantan hancur. Hal itu bisa dilihat dari hasil produksi setiap tahun yang kian turun. Di Sintang misalnya, data CIFOR menunjukkan hal itu. Tahun 1997, produksi kayu sebesar 358.529,73 meter kubik. Tahun 1998, produksi kayu 279.222,61 meter kubik. Tahun 1999, produksi kayu 47.799,07 meter kubik. Tahun 2000, 33.920,05 meter kubik. Akhirnya, era keemasan industri kayu selesai. Seketika, ekonomi Kalbar surut, seiring lumpuhnya sawmill, karena kesulitan memperoleh bahan baku kayu. Perkebunan Sawit Era pemegang HPH dengan model pemerintahan yang sentralistik, berganti seiring dengan era reformasi. Ada otonomi daerah. Atas nama otonomi, pemerintah daerah berpacu mencari sumber-sumber pendanaan, bagi pembangunan di daerah. Kekuasaan tak lagi terpusat di Jakarta. Tapi, terfrakmentasi ke berbagai wilayah di Indonesia. Muncul “Raja-Raja Kecil” yang menjadi penguasa daerah. Pengusaha berlomba mendekati kepala daerah. Terutama yang memiliki lahan luas, bagi penanaman perkebunan sawit. Di Kalbar, kondisi itu terlihat dengan nyata. Terutama kabupaten yang memiliki wilayah luas dan masih kosong penduduk. Di Kabupaten Kapuas Hulu misalnya, data Lanting Borneo menyebut, setidaknya terdapat 22 perusahaan sawit, dengan izin lahan seluas 337.100 hektar. Bila dibagi menjadi beberapa grup besar, PT Sinar Mas Agro Resources and Technology Tbk (PT SMART Tbk) dengan sembilan perusahaan, memiliki luas 140.000 hektar. Grup First Borneo International dengan lima perusahaan, memiliki lahan seluas 75.100 hektar. Grup Metro memiliki 40.000 hektar. Angka dan luasan lahan, bisa saja berubah sewaktu-waktu, karena adanya take over atau diambil alih perusahaan lain. [caption id="attachment_6309" align="alignnone" width="660"]Kunjungan Mensos Menteri Sosial, Tri Rismaharini tinjau korban banjir di RT 26, Desa Liku, Kelurahan Beringin, Kecamatan Kapuas, Kabupaten Sanggau, Rabu (3/11/2021). Di sana ada 139 Kepala Keluarga (KK) yang terdampak banjir dalam beberapa hari terakhir. (Ist).[/caption] Di Kabupaten Sintang, dari jumlah luasan hutan sekitar 2.185.195 hektar, terdiri dari taman nasional, taman wisata alam, hutan lindung, hutan produksi terbatas, hutan produksi hutan produksi konversi. Data CIFOR menyebutkan, Pemkab Sintang mengeluarkan kebijakan daerah untuk mengelola sumberdaya hutan, dengan menerbitkan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK). Kegiatan eksploitasi kayu dengan skala kecil seluas 50.000 hektar, dan Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPHH) seluas 100 hektar. Selama 2000- 2003, Bupati Sintang telah menerbitkan IUPHHK, sebanyak 8 Unit. Luas areal mencapai lebih dari 200 ribu hektar. Juga menerbitkan izin HPHH sebanyak 602 izin dari 1.338 usulan yang diajukan kepada Bupati. Di wilayah lain di Kalbar, seperti di Kapuas Hulu, Bengkayang, Sambas, Ketapang, Pontianak, Landak, Bengkayang dan Sintang, selama 2000-2003, terdapat 944 izin IUPHHK. Dari beberapa contoh kasus di atas, kita bisa melihat bahwa, eksploitasi terhadap sumber daya hutan, berlangsung sangat masif di Kalbar. Tak heran bila, Forest Watch Indonesia (FWI) mencatat, laju deforestasi hutan Indonesia pada periode tahun 1985-1998, tidak kurang dari 1,6–1,8 juta hektar per tahun. Tahun 2000, laju deforestasi meningkat menjadi 2 juta hektar per tahun. KLHK mencatat, pada 2016-2017, angka deforestasi berada di angka 0,48 juta hektar. Hasil Analisis FWI menunjukkan, deforestasi pada periode 2013-2017, diperkirakan mencapai angka kurang lebih 5,7 juta hektare. Atau, sekitar 1,46 juta hektar per tahun. Angka ini alami peningkatan dari rerata deforestasi, dibandingkan periode 2009-2013. Yaitu, seluas 1,1 juta hektar per tahun. Erlangga dari Madani Berkelanjutan menyampaikan penelitiannya, Kalimantan Barat merupakan area terluas perkebunan sawit ketiga terbesar secara nasional, mencapai luasan 1,5 juta hektar. Namun, tingkat produktivitasnya rendah, berada di peringkat kesepuluh dengan hasil 2.35 ton per hektar. Tingginya luasan wilayah tanam, tapi produktivitasnya masih di bawah target provinsi atau secara komparatif dengan provinsi lain. “Ini menunjukkan ada tantangan produktivitas. Yang perlu menjadi perhatian, bagi pengambil kebijakan di Kalimantan Barat,” ujar Erlangga. Data dari Direktorat Jenderal Perkebunan, produksi minyak sawit tahun 2017, sebesar 2.784.180. Tahun 2018, 3.086.889. Tahun 2019, 5.235.299. Tahun 2020, 5.471.407. Tahun 2021, 5.635.683 69,60. Mantan Sekretaris Daerah Kalbar, A Leysandri dalam suatu kesempatan pernah menyatakan bahwa, potensi pajak dari sector sawit selama setahun sekitar Rp1,5 trilun. Sektor pertambangan, turut menyumbang alih fungsi lahan di Kalbar. Begitu juga dengan aktivitas penambangan emas tanpa izin (PETI). Yang menyasar berbagai wilayah, tanpa pandang bulu. Semua itu turut berperan, menjadi penyebab banjir yang sedang kita alami hari ini. (Muhlis Suhaeri)***

Leave a comment