Dr Erdi Nilai Sertifikasi Jalan Tengah Tangani Masalah Perkebunan Sawit

3 Maret 2024 09:29 WIB
Ilustrasi
PONTIANAK, insidepontianak.com - Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) Universitas Tanjungpura (Untan), Dr Erdi menilai sertifikasi sebagai jalan tengah, membuktikan komitmen pemerintah, pengusaha dan rakyat. Bahwa, pembangunan kebun kelapa sawit, telah dilakukan sesuai norma budidaya dan karakter tanaman. Dr Erdi menjelaskan hal itu, saat kuliah kolaborasi antara Fisipol Untan Pontianak dan Doshisha University Jepang. Kuliah kolaborasi itu mengambil tema "The Progres Report in Implementing of Palm Oil Certification in Indonesia: Lesson Learn from West Kalimantan". Hal itu dengan melibatkan progres sertifikasi kebun kelapa sawit, baik itu oleh perkebunan negara (PN), perkebunan besar swasta nasional (PBSN), maupun pekebun rakyat (petani plasma dan petani mandiri). Kuliah kolaborasi internasional tersebut, menghadirkan dua pembicara. Yakni, Dr Erdi dari Fisip Untan dan Prof Hideki Hayashida dari Doshisha University (Kyoto, Jepang). "Indikator Good Agriculture Practice (GAP) yang dipersyaratkan RSPO dan ISCC terlaksana dengan sempurna," kata Dr Erdi. Kemudian, ISPO hadir sebagai model sertifikasi Indonesia yang merupakan kesinambungan dua model, sertifikasi dunia di atas. ISPO bukanlah tandingan atau lawan dari RSPO dan ISCC, tetapi merupakan satu gayung bersambut. "Bila sudah RSPO atau ISCC, kenapa tidak sekalian di-ISPO-kan?" kata Dr Erdi. Oleh karena itu, bisa saja satu hamparan kebun mendapatkan tiga sertifikasi sekaligus. Yaitu, ISCC, RSPO dan ISPO, sebagaimana diraih oleh perusahaan PT Cargill (Anggota GAPKI Kalbar), pada kebun kelapa sawit di Manismata, Kabupaten Ketapang. Group perusahaan Amerika ini, dapat menjadi contoh terbaik dalam implementasi GAP, hingga mendapatkan sertifikasi. Erdi membantah bahwa, sertifikasi yang memerlukan biaya hingga ratusan juta rupiah itu, telah memberatkan petani. "Ini tentu dengan beberapa alasan," kata Erdi. Pertama, biaya tidak mesti dikeluarkan oleh kelompok petani sendiri. Tetapi, ada lembaga pembiayaan yang menyediakan dana untuk membiayai proses sertifikasi itu. Perusahaan sebagai "bapak petani", biasanya mencari lembaga tersebut. Ketika masyarakat awam melihat biaya sertifikasi mencapai ratusan juta rupiah, boleh saja mengatakan sertifikasi memberatkan petani. Ditambah lagi, mempersiapkan dokumen dan kondisi GAP, merujuk pada persyaratan sertifikasi bisa mencapai waktu 2 tahun. "Biaya sekitar 120 juta itu, mesti dikeluarkan oleh kelompok tani untuk proses verifikasi, saat verifikator turun lapangan dalam verifikasi data. Namun, sumber dana pembiayaan sertifikasi boleh saja berasal dari para donatur," kata Erdi. Menurut Erdi, semua dana tersebut adalah dana investasi. Sebab, ketika petani memiliki Sertifikat RSPO, kelompok tani akan menjual TBS mereka, hanya kepada perusahaan pemilik pabrik dan kebun kelapa sawit, yang juga telah mengantongi RSPO. Perusahaan yang baik, ketika mereka mendapat dana premium price dari perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam RSPO, tentu akan membagi premium price itu kepada petani, sesuai kontribusi kelompok tani dalam penjualan TBS. Sebagai contoh, Cargill yang "memaksa petani plasma" mereka mengurus RSPO dan sebagian ISCC. Akhirnya, petani plasma mereka mendapat jatah premium price sebesar Rp 3,9 miliar. "Tentu, nilai Rp 120 juta sebagai proses pembuatan pengurusan sertifikasi di atas, tidak seberapa ketika kemudian diganti dengan imbalan premium price, sebesar Rp 3,9 miliar," tutur Erdi. Kedua, kebun yang disertifikasi adalah kebun kelompok, bukan kebun perorangan. Pada kebun masyarakat di bawah Cargill di Manismata, Ketapang, mencakup 645 orang petani mandiri dengan luasan tersertifikasi 2.316 ha. Juga ada kelompok petani plasma penerima Sertifikasi ISCC, dengan anggota sekitar 1.500 petani dengan luasan 3.064 ha. "Sebuah prestasi luar biasa yang sama-sama menguntungkan. Kompak dan komit, menjadi satu kata dalam membuat proses ini, menjadi sukses dan menguntungkan semua," kata Erdi. Kuliah dan riset kolaborasi ini, kemudian ditutup dengan membuat komitmen bersama. Dimana Universitas Doshisha sebagai mitra Fisip Untan yang telah berlangsung selama 14 tahun ini, siap membantu dan mendukung Fisip menuju Go Internasional. Selama lima tahun ke depan, Profesor Hayashida telah bersiap memberikan kuliah seperti ini. Tujuannya, mendukung kualitas pembelajaran di Fisip, agar semakin baik dan harapan Fisip Go Internasional, tersertifikasi FIBAA juga dapat diwujudkan. "Bilamana ini terwujud, tentu menjadi kebanggaan civitas akademika, terutama Fisip Untan," kata Erdi.(ril)***

Leave a comment