Glorio Sanen: Anak Kampung Pembela Akar Rumput

3 Maret 2024 09:29 WIB
Ilustrasi
Raut wajah Glorio Sanen terlihat tegang. Sorot matanya tajam memandang enam terdakwa, pembakar lahan di kursi ruang sidang. Detik-detik menegangkan sedang dihadapi. Dia menunggu putusan Pengadilan Negeri Sintang, Senin, 9 Maret 2020. Situasi itu bikin dia cemas. Sebagai advokat, ia takut, putusan hakim tak sesuai harapan. Apalagi jika ingat, di luar ruang sidang, ribuan orang mengawal putusan. Praktis, dia dapat membayangkan potensi konflik yang terjadi. Tapi, utunglah, peristiwa setahun silam itu diputus bebas. Sanen pun lega. Namun, kasus itu menjadi perkara yang tak pernah dilupakan, sepanjang kariernya sebagai advokat. Kasus itu, membawa namanya kian dikenal. Tak heran, sejumlah perkara besar pun ditangani. Kami menemui Sanen di kantornya di Jalan Purnama II, belum lama ini. "Sorry Ndi, baru balek Jakarta, ngurus Pilkada Sekadau," kata Glorio Sanen, menyapa dengan hangat. Sanen merupakan advokat kelahiran Kota Ngabang, 5 Mei 1989. Lelaki berkaca mata itu ramah. Tawanya renyah ketika berbincang. Tutur bahasanya lembut. Kalimat yang diucapkan tertata. Terlihat jika ia memiliki latar belakang pendidikan tinggi. Ia dikenal memiliki kecerdasan sebagai advokat. Wawasanya pun luas. Terlihat sejumlah buku dan peraturan di mejanya. Bagi Sanen, menjalani profesi sebagai advokat, tak pernah dibayangkan dalam hidupnya. Bisa dibilang sebuah takdir. Tak direncanakan. “Aku juga bingung mengapa aku bisa jadi pengacara,” katanya, seraya tersenyum. Lulusan SMA Taruna Bumi Khatulistiwa, tahun 2006, mulanya bercita-cita masuk militer. Itu yang mengantarkannya, merantau dari Ngabang ke Pontianak tahun 2003. Namun, jalan rezekinya tak di militer. Berkali-kali, dia coba ikuti serangkaian tes. Namun, dia tak lulus. Akhirnya, anak pertama dari pasangan Ahmad Sajono dan Sofi, punya keinginan melanjutkan pendidikan ke Teknik Nuklir. Pilihan itu dirasa sejalan dengan latar belakang pendidikan IPA yang dimiliki. Namun, pilihan itu, lagi-lagi layu sebelum berkembang. Bukan karena tak lulus. Dia patah arah sebelum mencoba. “Orang bilang susah cari kerja. Jadi, ku batalkan ke Teknik Nuklir,” katanya. Alhasil, Sanen, akhirnya memantapkan hati, memilih jalur hukum sebagai tujuan hidup, tahun 2007. Waktu itu, suasana reformasi pascaruntuhnya Orde Baru. Situasi hangat dengan isu supremasi hukum. Dia pun memantapkan pilihan ke Universitas Panca Bakti di Pontianak. Di sana, dia menyandang predikat ‘anak hukum’ dengan almamater kuning kebanggaan. Sanen merasa, pilihan itu tepat. Dia aktif mengembangkan diri di Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dan Forum Mahasiswa Kedaerahan. Setelah beberapa semester mengenyam pendidikan, Sanen dilanda kegalauan. Dia menyadari, dunia advokat tak semudah, seperti yang dibayangkan. Sebab, perlu ketrampilan berbicara, menulis dan merekonstruksi kasus. Lelaki asal Ngabang yang sehari-hari di sekolah lebih sering berhitung itu, pesimis menyelesaikan kuliahnya. Akhirnya, dia putar haluan dari jurusan hukum ke Teknik Informatika Politeknik Pontianak. Nyaris saja, keputusan itu membuat study hukumnya di UPB tak selesai. Namun, perjalanan magang di Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), membawanya ke berbagai daerah. Di sana ia menjumpai berbagai keadaan. Salah satunya, konflik agraria tahun 2009, marak di berbagai wilayah di Kalbar. Salah satunya di Kabupaten Kapuas Hulu. Kejadian itu mengusik naruninya. Sanen, ingat betul, akibat masalah itu, warga tak bisa membuat sertifikat karena tanah mereka, masuk status kawasan Hak Guna Usaha (HGU). Rakyat kecil yang minim pengetahuan itu, hanya bisa pasrah. “Ada sampai satu desa tak bisa buat sertifikat, tanahnya masuk status kawasan hutan HGU. Di mana mana waktu itu permasalahanya sama,” jelasnya. Berbekal pengalaman itu, nuraninya terpanggil. Pulang dari kampung, dia meneruskan kuliah. Melanjutkan mimpi-mimpinya. Meski tak benar-benar lancar. Tekad yang kuat, akhirnya, mengantarkannya menjadi Sarjana Hukum. Meski harus dicapai dengan perjuangan selama sembilan tahun. Kini, dia menikmati profesinya. Pembela Akar Rumput Bagi Sanen, menyandang profesi sebagai advokat, membawanya menemukan arti hidup sesungguhnya. Sebab, dari sana, dia dapat saling membantu. Tolong menolong pada sesama. Terutama, kaum lemah yang terpinggirkan. Dia punya prinsip, hidup harus saling bantu. Bukan sekedar mencari materi belaka. Tak heran, hidupnya dijalani dengan penuh pengabdian. “Kadang dibayar pakai beras. Kadang pakai uang biasa,” kata Sanen. Sanen ingat betul, pertama kali dirinya mengucap sumpah menjadi advokat, tahun 2018. Ketika itu, pria paruh baya dari Landak, menemuinya di rumah. Mata lelaki itu berkaca-kaca. [caption id="attachment_32069" align="alignnone" width="750"]Glorio Sanen dan tim saat menjadi kuasa hukum para peladang yang dilaporkan secara pihak. (Ist) Glorio Sanen dan tim saat menjadi kuasa hukum para peladang yang dilaporkan secara pihak. (Ist)[/caption] Sanen menghampiri. Lalu, bertanya, "Mengapa bapak menangis? Ada masalah apa?" Lelaki itu menunduk. Setelah itu mulai bercerita. Suaranya terdengar pelan. Ada perasaan sedih. “Anakku dituduh jadi penadah motor curian,” kata pria itu. Mendengar itu, Sanen tertegun. Pria itu menjelaskan, anaknya jadi korban fitnah. Anaknya, perempuan 16 tahun, dipinjamkan motor oleh sang pacar. Gadis itu tak tahu, motor itu hasil curian. Walau sebelumnya sempat bertanya, mengenai surat menyurat. Namun, pacar mengelabuhi. Dia menyebut, motor itu hasil digadai. Aman. “Tahunya sekali dipakai korban, berurusan dengan polisi dan dianggap penadah,” kata Sanen. Dipercaya memengang kasus itu, Sanen mulai unjuk gigi. Sidang berlangsung di Pengadilan Negeri Pontianak. Ia beri judul pembelaannya, "Percaya, karena Cinta Membunuhmu." Hasilnya pun berujung bebas. Korban tak terbukti sebagai penadah barang curian. Atas putusan itu, jaksa kasasi dan hasilnya menguatkan putusan. “Karena kasus pertama bebas, semakin memperteguh iman. Jangan-jangan, aku cocok jadi advokat. Kok pegang kasus pertama langsung bebas,” ujarnya dengan bahagia. Pengacara Kondang Nama Sanen pun melambung. Dia menangani sejumlah kasus besar. Sanen masuk jajaran pengacara kondang di Kalbar. Bagaimana tidak, dia pernah jadi tim kuasa hukum Suryadman Gidot bersama Andel, saat mantan Bupati Bengkayang itu, terjerat Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tahun 2019. Selain itu, dia juga menangani kasus korupsi Bantuan Khusus (Bansus) Bengkayang, dengan tersangka Bendahara Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD), Roberta Ika, tahun 2020. Selain itu, dia juga tercatat memegang kasus enam peladang di Sintang yang dinyatakan bebas, dan memenangkan uji materiel terhadap Peraturan Daerah (Perda) Nomor 2 Tahun 2018, tentang Penyelenggaraan Usaha Perkebunan yang dilayangkan oleh Forum Pengusaha Sawit Indonesia di Kabupaten Landak, terhadap Pemerintah Kabupaten Landak. Terakhir, dia memenangkan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Kabupaten Sekadau, tahun 2020. Hasilnya, Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sekadau, tentang penetapan pasangan Bupati dan Wakil Bupati Sekadau Terpilih, Aron-Subandrio dan memerintahkan Aron untuk kembali dilantik. Memenangkan gugatan di MK tak mudah. Bahkan, gugatan diterima saja sulit. Sanen ingat betul, seluruh Indonesia, ada 138 kasus yang melakukan gugatan hasil pemilu ke MK. Namun, hanya 32 yang masuk pokok perkara. “Lalu, 17 saja yang dikabulkan Mahkamah Konstitusi. Sedikit sekali persentasenya,” kata Sanen. Awal ditunjuk Rupinus-Aloysius, Sanen sempat ragu. Apalagi hukum acara di MK, selalu alami perubahan dari tahun ke tahun. Namun, kuncinya adalah membaca dan mempelajari semua putusan yang ada. Dari sana, dia mulai menyusun dalil gugatan. Alhasil, meski tak benar-benar sukses. Namun, dia berhasil mengantarkan sebagian gugatan diterima. Publik kaget. Bupati Sekadau untuk pertama kalinya, harus dilantik dua kali. Jaga Reputasi Bagi Sanen, menjadi advokat hebat harus mampu menjaga reputasi. Sebab, reputasi jadi bahan pertimbangan orang, menggunakan advokat yang bakal dipilih. Untuk mendapatkan reputasi yang baik, advokat harus cerdas dan rajin membaca. Setiap hari, Sanen minimal baca tiga putusan hakim. Putusan itu dia baca. Lalu, dia ulas, sebagai pedoman menangani kasus serupa. Tak hanya itu. Saat menangani kasus, dia selalu buat rekonstruksi kasus. Menyusun langkah-langkah pembelaan klien, agar hasil maksimal. “Kadang orang bilang, gimana jadi advokat. Undang-undangnya banyak. Makanya, kita lihat dulu ini, konstruksi peristiwa apa,” terangnya. Agar dapat reputasi yang baik, advokat juga harus membela klien secara maksimal, dengan segala kemampuan yang dimiliki. Bukan hanya, habis tanda tangan kuasa dan mendaparkan fee, lalu ditinggalkan begitu saja. [caption id="attachment_32070" align="alignnone" width="750"]Glorio Sanen bersama tim dan kolega. (Ist) Glorio Sanen bersama tim dan kolega. (Ist)[/caption] “Itu tidak boleh,” kata dia. Bahkan, saking maksimalnya pembelaan, Sanen kerap meneteskan air mata, saat terdakwa dibacakan vonis. Apalagi sebagai orang yang tahu masalah dan yakin klien tak bersalah, namun terus diproses. Dia sering dilanda dilema. Sedih. Apalagi bila terdakwa perempuan. “Kadang kita merasa kasihan. Kita bayangkan, ibu atau adik kita. Namun, kondisi itu manusiawi. Tapi tak boleh juga kita terlalu baper, dan menganggap dia bagian dari kita,” terangnya. Untuk itu, dalam melakukan pendampingan hukum, si klien dituntut berkata jujur. Sekecil apa pun kejadian harus disampaikan, agar ada bahan menangkis saat berhadapan dengan Jaksa Penuntut Umum (JPU) di meja hijau atau pengadilan. “Begitulah kerja advokat. Kadang lembur hingga malam, paginya ke kantor lagi. Orang lihatnya letih. Tapi, kita senang, inilah hidup kita,” ujarnya lirih. Anak Kampung Glorio Sanen merupakan anak kampung, asal Kota Ngabang, Kabupaten Landak. Dia sulung dari perkawinan Ahmad Sarjono dan Sofia. Sarjono pedangang toko kelontong. Sofia ibu rumah tangga. Sebagai anak pedagang, lelaki kelahiran 32 tahun, sering bantu orang tua menjaga toko. Keluarga punya prinsip, pendidikan selalu yang utama. Saat menempuh pendidikan Sekolah Dasar Negeri 14 Ngabang, tahun 1994 – 2000, kecerdasannya tak diragukan. Dia selalu masuk tiga besar. Prestasi itu, berlanjut saat pendidikan di SMP N 1 Ngabang, 2000 – 2003. Menginjak SMA, dia merantau ke Pontianak. Masuk SMA Taruna Bumi Khatulistiwa, tahun 2003. “SMA pun masih masuk 10 besar. Pernah ikut olimpiade,” jelasnya. Lulus SMA, dia melanjutkan pendidikan di Universitas Panca Bhakti, 2007. Politeknik Negeri Pontianak 2009. Kedua jenjang pendidikan tinggi itu ditamatkannya. Sulung dari dua bersaduara ini, hidup dalam keluarga berkecukupan. Dia tak pernah merasa kekurangan. Namun, sebagai anak pedagang, Sanen tak dapat banyak penanaman nilai-nilai dari orang tua. Tapi, anak ditekankan agar selalu berbuat baik, jujur dan berguna untuk bangsa dan agama. Ketika memilih pekerjaan, kedua orang tua tak pernah ikut campur. Ia diberikan kebebasan memilih jalan hidupnya. “Tekuni dan nikmati profesi apa pun kita,” pesan sang ayah, kala itu. Bekal pesan itu, membuat Sanen selalu berupaya dan menjadikan dirinya bermanfaat. Terus berjalan dan menekuni dunia advokat. Mengedepankan rasa kemanusiaan di atas segala-galanya. Baginya, membela warga lemah dan terpinggirkan, merupakan panggilan hidup. Sesuatu yang tak bisa ditolak dan dihindari. Ada empati ketika menangani setiap kasus yang dibelanya. Tak hanya menang perkara, tapi mesti mampu memenangkan senyum tulus. Tawa bahagia setiap orang yang dibela. Menjadi pengacara yang baik ibarat menjadi "Tangan Tuhan". Ketika segala daya dan upaya telah dilakukan, dan tak menemukan jalan keluar. Terutama bagi mereka yang terpinggirkan dan tak bisa bersuara. Harus ada tangan yang mengangkat. Menghindarkannya dari jerat hukum. Yang tak lagi terlihat. Bahkan, oleh sang dewi pembawa pedang dan timbangan, Dewi Keadilan atau Dewi Themis. (Andi Ridwansyah). ***

Leave a comment