Syarif Amin: Generasi NU di Kandang NasDem

3 Maret 2024 09:29 WIB
Ilustrasi

Syarif Amin Muhammad sempat dua kali gagal duduk di parlemen. Namun, mantan sales obat ini tak patah arang. Ketertarikannya di politik terus diasah. Kini, siapa sangka, dia adalah Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kalbar, periode 2019-2024.

Syarif Amin jadi wakil rakyat sejak tahun 2014. Namanya pun makin dikenal masyarakat. Pria yang karib disapa Bang Amin, ramah dan santun. Postur tubuh tinggi tegap. Rupanya, hal tersebut mewakili cita-cita semasa kecil; menjadi tentara.

Namun, cita-cita itu diurungkan. Sang ibu tak merestui langkahnya. Ibunya khawatir, Amin dikirim ke Timor-timor.

“Awalnya saya pengen jadi tentara, karena ibu tak setuju takut dikirim ke Timor-timor. Jadi, saya tak ikut tes,” cerita Syarif Amin Muhammad kepada Insidepontianak.com, belum lama ini.

Semasa kuliah, Amin tertarik dengan dunia politik. Amin lulusan D-III Akuntansi di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Pontianak, tahun 1999. Namun, tekadnya kuat. Walau tak berlatar belakang pendidikan politik, ia ambil bagian. Baginya, politik terbuka untuk siapa saja.

Apalagi, iklim demokrasi sedang hangat-hangatnya pascareformasi. Kepribadian yang mudah bergaul, membuatnya dekat dengan sejumlah politisi Kalbar. Padahal, keluarganya tak punya darah politik. Ayahnya, Syarif Muhammad, pedagang dan tokoh Nahdatul Ulama (NU) yang dihormati masyarakat Ujung Pandang, Pontianak. Begitu juga ibunya, Robiah, hanya ibu rumah tangga.

Namun, dunia politik seakan begitu dekat dengannya. Apalagi, jelang pesta demokrasi, banyak politisi yang bertamu, demi restu dan dukungan sang ayah. Dari sana, ia belajar politik praktis.

Sampai akhirnya tahun 2000, Amin terjun ke politik.

“Saya berpikir, kenapa hanya jadi pendorong mobil, tapi tidak bisa menjadi pengawal. Saya merasa punya pendidikan, meski hanya D-III Akutansi,” kata pria kelahiran Tambelangan, 16 Desember 1975.

Awal Karier

Perjalanan Syarif Amin dimulai dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Pilihan itu tak sembarang. Sejak kecil, anak keenam dari delapan bersaudara ini, memang dididik dalam keluarga agamis dari kalangan NU. Kondisi itu membentuk sikap Amin, baik dalam pergaulan maupun politik.

Di PKB, Amin dipercaya memegang sejumlah jabatan. Mulai dari anggota Dewan Syuro PKB Kabupaten Pontianak (sekarang Mempawah), hingga Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) PKB Kubu Raya.

Empat tahun berkader di PKB, Amin semakin matang. Pada usia 29 tahun, ia memutuskan maju pemilihan legislatif (Pileg) tahun 2004 di Kabupaten Mempawah. Amin ingin jadi bagian dari perjuangan masyarakat. Ada ketidakpuasan terhadap kinerja wakil rakyat yang saat itu bertugas.

Sebagai tokoh muda, langkahnya mendapatkan dorongan masyarakat. Meski Pileg 2004 menjadi pengalaman pertama, capaiannya luar biasa. Amin jadi caleg dengan suara terbanyak, 3.800 suara.

Namun, tak selalu cerita sukses dalam hidup. Dapat suara tertinggi, Amin terpaksa menelan pil pahit. Harapannya duduk di parlemen gagal. PKB hanya punya jatah satu wakil, diambil berdasarkan nomor urut.

“Suara saya 3.800, terbanyak seluruh Kabupaten Pontianak. Cuma, saya nomor urut dua. Jadi, saya tak dapat,” ceritanya.

Walau gagal, Amin tak  patah arang. Jalan masih panjang. Sempat kecewa, namun langkahnya kembali di tahun 2009. Pencalonan kedua penuh rintangan. Ia tak lagi memiliki partai politik. Gonjang-ganjing internal PKB akibat perselisihan Gusdur dan Muhaimin Iskandar, membuatnya tereliminasi dari kursi Ketua DPC Kubu Raya.

Ia lantas bergabung dengan partai Islam lain, Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia (PPNUI). Partai yang dibentuk tahun 2003, jadi pengusungnya. Hasilnya, 1.857 suara didapat. Namun, tak cukup mengantarkannya jadi wakil rakyat.

“Saya calon dari dapil Kecamatan Kakap dengan suara terbanyak untuk pribadi. Namun, karena partainya partai kecil, akhirnya saya tidak duduk,” ceritanya.

NasDem Penyelamat

Dua kali gagal Pileg, Syarif Amin sempat menjauh dari politik. Kegagalan dirasa sebagai pertanda. Dia pun berusaha menikmati beragam pekerjaannya, mulai dari sales obat di Kimia Farma, hingga jadi pengusaha properti.

Jelang Pileg 2014, sosoknya dilirik Partai Nasional Demokrat (NasDem). Partai yang berdiri 26 Juli 2011, mencari kandidat calon anggota dewan. Syarif Amin masuk radar.

Syarif Abdullah Alkadrie, seniornya sewaktu berkarier di PKB mengajaknya bergabung. Amin memiliki kedekatan dengan Syarif Abdullah, yang kini mengemban amanah sebagai Ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) NasDem Kalbar, dan Wakil Ketua Komisi V DPR RI. Tapi, ajakan itu tak langsung diamini. Dia trauma, sekaligus sedang senang menjalani profesinya.

Merajok bahasanya. Dua kali suara terbanyak, tapi tak duduk,” katanya tertawa.

Namun, dorongan sahabat terus berdatangan. Selain Syarif Abdullah, Darwis rekannya yang kini menjabat Wakil DPRD Kabupaten Mempawah, juga memotivasi. Amin diminta mencoba, sekali lagi.

Akhirnya Amin luluh. Dia mantap bergabung dan mencalonkan diri sebagai caleg provinsi dari daerah pemilihan Kalbar II, meliputi Kabupaten Kubu Raya dan Mempawah. Tak disangka, lewat NasDem keinginan menjadi wakil rakyat terwujud.

“Alhamdulillah, saya suara terbanyak saat itu, untuk Partai Nasdem Provinsi dari dapil II dan saya duduk,” ujarnya.

Perjuangkan Aspirasi Masyarakat

Mengemban amanah sebagai Wakil Ketua DPRD Provinsi Kalimantan Barat, Syarif Amin menyadari beban yang dipikulnya kian berat. Apalagi harus menjalankan tugas di tengah opini liar, bahwa politik sesuatu yang jahat.

“Sebagian masyarakat berpikir politik itu jahat. Saya yakin seyakin-yakinnya pemikiran itu salah. Tergantung oknumnya, tergantung orangnya,” tegasnya.

Sebagai wakil rakyat, Amin berkomitmen memperjuangkan aspirasi masyarakat. Keterbatasan yang dimiliki akan dipakai hingga batas paling akhir. Walau tak bisa memuaskan semua orang.

“Tapi, secara pribadi saya berusaha, semaksimal mungkin, semampu saya memperjuangkan aspirasi masyarakat,” ujar Ketua DPC NasDem Kubu Raya ini.

Baginya, politik adalah wadah perjuangan. Lahir dari keluarga agamis membuatnya berprinsip jelas, apa yang boleh, dan apa yang tidak. Pesan mendiang ayahnya selalu diingat; bekerja maksimal untuk masyarakat.

Pesan itu dijabarkan dalam tiga hal. Pertama, jika sebagai anggota DPRD dia diam, maka akan berdampak buruk pada masyarakat, dan berdosa pada Allah. Kedua, sebagai anggota DPRD, berjuang untuk masyarakat sesuai kemampuan. Jika tak dapat dukungan, hingga namanya tidak baik di masyarakat, di mata Allah, insyaallah tak berdosa.

Terakhir, berbuat dan berhasil memperjuangkan aspirasi masyarakat, di mata Allah tak berdosa dan dapat pahala. Tapi di mata masyarakat belum tentu juga maksimal. Sebab, tak semua menilai baik yang dilakukan, meskipun ada yang menerima dengan baik.

“Intinya almarhum Abah saya menyampaikan, setidaknya kita nomor dua. Kita perjuangkan,” katanya.

Pemimpin Muda

Syarif Amin berusia 45 tahun, ketika menjabat Wakil Ketua DPRD Kalbar. Dia masih bercita-cita jadi kepala daerah. Karier tertinggi dalam politik lokal.

Di DPRD Kalbar periode 2019-2024, Amin mendampingi Ketua DPRD M. Kebing, Wakil Ketua I Prabasa Anantatur, dan Wakil Ketua III Suriansyah. Ketiganya berusia di atas Amin. Satu yang mencolok, ruangannya kerap jadi lokasi kumpul diskusi wakil rakyat lain.

“Karena saya unsur pimpinan paling muda, mungkin mereka merasa nyaman. Di ruangan ini tempat berkumpulnya kawan-kawan,” ceritanya.

Dalam tindak tanduknya, Amin terbilang vokal menyuarakan aspirasi masyarakat. Bahkan, saat tampil di media, mengkritisi kebijakan pemerintah dan masalah sosial. Amin berpandangan, dunia politik saat ini, adalah masanya anak muda. Yang harus melek politik dan berkontribusi, untuk Kalbar lebih baik.

“Kita sama-sama berjuang. Kita sudah jenuh zaman Orde Baru kekayaan kita habis,” kata Ketua PSSI Kubu Raya ini.

Ia menilai, Kalbar masih memiliki pekerjaan rumah dalam hal keberagaman. Sekat perbedaan SARA, kerap jadi ‘mainan’ dalam pesta demokrasi. Dia sendiri enggan jadi bagian praktik culas tersebut.

“Saya akan rahmatan lil alamin. Sebagai pemimpin, saya akan mengayomi semua suku dan agama,” terangnya.

Lahir dan besar dari kalangan Nahdatul Ulama, membuatnya terbiasa menghargai perbedaan. Nilai-nilai tersebut semakin mantap, kala Syarif Amin bergabung di NasDem. Dia bercerita, NU dan NasDem yang nasionalis dan religius sejalan. Bahkan kini, banyak orang NU yang bergabung ke partai NasDem.

“Semua suku dan agama ada. Kami di NasDem sangat plural,” katanya.

Syarif Amin adalah produk, bagaimana karakter diri, kultur keluarga dan sosial, berkelindan dan saling memilin dalam politik. Meski identitas dan kelompok, menjadi unsur utama dalam konstelasi dan politik lokal, ia lebih memilih jalan terang. Bahwa, kebhinekaan lebih utama sebagai jalan perjuangan.(Andi Ridwansyah)

Leave a comment