Tiga Srikandi, Tiga Kehidupan dan Tiga Karya: Berjibaku Mengejar Asa dan Impian
Berkendara sepanjang 27 KM dari pusat Kota Pontianak menuju Kabupaten Kubu Raya, Kalbar seperti tak terasa. Senyum merekah sejumlah perempuan desa menjadi obat lelah sepanjang perjalanan desa cukup jauh itu.
Saya berada di Balai Desa Sungai Ambangah. Desa Sungai Ambangah masuk Kecamatan Sungai Raya, Kabupaten Kubu Raya. Cukup pelosok untuk bisa dituju.
Desa Sungai Ambangah merupakan salah satu desa di Kecamatan Sungai Raya, Kabupaten Kubu Raya dengan luas wilayah 31.630 km².
Memiliki 5 dusun, 8 RW dan 34 RT. Jumlah penduduk mencapai 6.021 jiwa dengan 3.097 laki-laki dan 2.924 perempuan. Rata-rata penduduknya bekerja sebagai petani dan bercocok tanam.
Untuk menuju desa bisa menggunakan dua rute. Bisa rute air atau darat. Saya lebih memilih jalur darat, mengingat perkiraan awal kondisinya tidak jauh berbeda dengan kondisi di tengah kota.
Saya diundang menghadiri rapat harian para ‘emak’ alias ibu-ibu yang tergabung dalam pengurus dan alumni Akademi Paradigta PEKKA Kubu Raya, Kalbar.
Akademi Paradigta adalah sekolah atau tempat belajar perempuan, yang ditujukan bagi kader-kader desa, baik aktif maupun yang belum aktif terlibat di desa agar lebih mengenal desanya.
Penggagas Akademi Paradigta ini adalah organisasi Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA). Di mana PEKKA menampung para perempuan ini untuk diberi pendidikan tentang desa mereka.
Saat saya tiba, puluhan perempuan tengah mendengarkan arahan kepala desa setempat terkait data-data desa yang harus mereka himpun.
Faktanya, para lulusan Akademi Paradigta ini banyak diperbantukan oleh pemangku kebijakan untuk terlibat dalam berbagai program desa. Seperti sekarang ini.
Ini menjadi kebanggaan tersendiri bagi para lulusan. Bukan hanya mereka perempuan tapi karena kiprah dan komitmen mereka dalam terlibat membangun desa.
Akademi Paradigta bukan sekedar kumpulan perempuan tapi lebih dari kumpulan perempuan biasa. Mereka adalah penggerak perubahan tak kasat mata, mereka tak tinggi pendidikan tapi tinggi harapan dan kemauan.
Akademi Paradigta adalah tempat pelatihan dan pengembangan diri. Tempat semacam perkuliahan singkat yang memiliki aturan, modul belajar yang tertata dan terstruktur. Hampir sama dengan sekolah resmi lainnya.
Di sana saya bertemu dengan sosok idola perempuan kampung setempat. Namanya melegenda untuk desa itu karena mampu menembus sekat-sekat patriaki.
Tak lengkap kiranya bicara Akademi Paradigta dan PEKKA tanpa bicara sosok ini. Wanita tangguh yang tak kenal lelah dalam memperjuangkan akses sosial untuk perempuan didesanya.
Tak hanya akses sosial dalam hal pelayanan tapi bagaimana perempuan juga berkontribusi dalam pembangunan di wilayah terdekatnya.
Sosok ini tak hanya dikenal piawai dalam berorganisasi tapi siapa sangka ia hanya ibu rumah tangga biasa yang harus kehilangan suami sejak dini.
Dari Desa ke Ibukota
Ia adalah Ketua Federasi Serikat PEKKA Nasional asal Kalbar, Magdalena. Kiprahnya melebihi statusnya yang tak tamat sekolah menengah atas.
Ia bergabung di PEKKA 13 tahun silam. Tepatnya tahun 2007. Memberanikan diri mendaftar menjadi anggota baru.
Kala itu, ia baru kehilangan sang suami. Usianya pun masih muda dengan tiga orang anak yang masih kecil-kecil. Di tengah kebingungannya itu ia bertemu dengan PEKKA.
Ternyata tak susah masuk ke PEKKA. Cukup memiliki semangat untuk meningkatkan kualitas diri, belajar dan mengamati lingkungan yang sarat akan diskusi dan pelatihan ini, maka tak butuh lama untuk berkembang dan menemukan jati diri.
Di sana, Magdalena ditempa tak hanya ilmu tatapi terlibat praktek dan aktif di sejumlah kegiatan PEKKA.
Meskipun berstatus janda ia tak minder, mengingat bukan hanya ia saja yang memiliki status serupa tapi banyak anggota PEKKA yang memiliki cerita hidup sendiri, termasuk dirinya.
Di PEKKA ia dan rekan-rekannya tidak hanya terlibat dalam persoalan perempuan saja tapi juga aktif bekerjasama dengan pemangku kebijakan di tingkat desa.
“Di sini juga kita bisa mengembangkan diri supaya mendapat ilmu, mengorganisir, kepemimpinan hingga pemberdayaan ekonomi,” ujar Magda.
Semua ia lakukan mulai dari bawah. Menjadi anggota, kemudian menjadi bendahara kelompok. Tak butuh waktu lama Magdalena menjabat sebagai ketua koperasi PEKKA Mandiri Kecamatan Sungai Raya di tahun 2008.
Tahun berikutnya, 2009, ia menjabat sebagai Ketua PEKKA tingkat kecamatan dan di tahun 2013 Magda pun didapuk menjadi Ketua PEKKA Kubu Raya.
Akhirnya, tahun 2016 ia dipercaya sebagai Ketua Nasional mewakili Kalbar untuk seluruh Indonesia.
“Ini saya dedikasikan untuk semua perempuan desa yang tidak berpendidikan tinggi tapi optimis dan pantang menyerah,” ucapnya.
Magdalena tak risih, meski di awal ia masuk dalam organisasi PEKKA pembagian waktu untuk bersama keluarga. Terutama anak-anaknya yang mulai berkurang.
Magdalena pun dikenal fokus dalam setiap program yang ia gawangi. Magdalena melibatkan penuh para perempuan di PEKKA untuk terlibat aktif mengelola program.
Perjuangan program di Kubu Raya atas jasanya. Baik program ekonomi, sosial hingga kesehatan. Dengan prioritas perempuan dan kalangan tak mampu.
Atas dedikasinya itu, Magdalena pun banyak mendapat rasa hormat dari anggota kelompok hingga banyak pihak. Magdalena menjadi sosok inspirasi perjuangan kaum di kawasannya saat ini.
Tak hanya keterlibatnya dalam berbagai program PEKKA tapi dedikasinya terhadap perempuan di desanya hingga mampu terlibat aktif menjadi pengurus nasional dalam merancang isu-isu strategis perempuan se-Indonesia.
Saat ini, Magdalena lebih banyak menghabiskan waktunya di Jakarta. Sebagai pengurus nasional yang membawahi anggota di 20 provinsi, dari 57 kabupaten se Indonesia, banyak hal sudah ia lalui. Dari hal senang hingga hal yang membuat sedih.
Senangnya kata wanita paruh baya ini ketika bertemu banyak orang, saling belajar tentang organisasi lain di luar PEKKA.
Sedihnya, ia tidak bisa mengurus ke tiga anak mereka dan tak bisa memantau aktivitas ketiga buah hatinya setiap hari.
Namun, ia sadar untuk mengelola organisasi secara serius banyak hal harus ia relakan dan belajar untuk bisa berkompromi. Antara karir dan keluarga.
Masih banyak kerja yang harus ia dan rekan-rekan PEKKA seluruh Indonesia lakukan. Terutama, lebih banyak para perempuan bergabung untuk aktif dalam berorganisasi.
Butuh keberanian untuk memulai sesuatu, begitu juga para perempuan yang ingin meningkatkan kualitas dan kemampuan.
Bukan hanya untuk pribadi tapi lebih dari itu kepuasan dan pembuktian bahwa perempuan mampu berdikari dan bermanfaat. Itu yang dibuktikan Magdalena.
Ke depannya akan banyak sosok-sosok lain seperti dirinya yang mampu menginspirasi banyak perempuan.
‘Pertarungan’ Perempuan di Daerah Misi
Bangui, Afrika Tengah 2021
Deru mobil memecah keheningan malam. Suara bising menyeruak dalam sunyi. Jalanan sempit tampak lengang. Padang ilalang tumbuh subur di kiri kanan jalan yang berkelok. Kontras dengan pekat malam hari itu. Sepi, tandus dan lapang. Seperti tak berpenghuni.
Tiba-tiba.
“Arrêter,” teriak seorang pria dalam bahasa Prancis. Artinya berhenti. Senjata laras panjangnya mengacung ke arah depan. Lampu sorot di bawah dada pria itu menyilaukan mata.
Suasana tegang.
Dari arah depan, sejumlah pria berseragam keluar dari tank panser. Di lambung tank tampak tulisan UN besar berwarna hitam. Mereka juga siaga dengan AK-47 mengarah ke asal suara.
“Arrêter,” sekali lagi terdengar. Kali ini, tak hanya satu senjata tapi belasan senjata mengarah ke pasukan yang diketahui berasal dari pasukan perdamaian di bawah United Nations (UN).
Tampak perempuan ramping di sisi tank. Namanya Iptu Inayatun Nurhasanah. Dengan posisi siaga, lantas berbisik ringan di telinga pria besar di sebelahnya.
“Mereka meminta berhenti komandan,” kata wanita itu.
“Tahan,” jawab sang komandan.
Tak lama, terjadi negosiasi. Cukup alot. Usut punya usut, para pencegat merupakan tentara Bangui yang berpatroli malam itu.
Kesalahpahaman diselesaikan. Pasukan UN yang kala itu tengah mengawal utusan PBB melanjutkan perjalanan.
Kajadian ini bukan baru pertama. Inayatun menganggap hal biasa dalam tugas sebagai pasukan perdamaian di bawah kontingen Garuda di daerah misi.
Inayatun Nurhasanah adalah salah satu dari enam perempuan yang mengemban tugas polisi perdamaian di Afrika Tengah. Tepatnya Bangui.
Bangui adalah wilayah federal (atau komuni) satu-satunya di Republik Afrika Tengah dan merupakan ibu kota sekaligus kota terbesar di Republik Afrika Tengah. Penduduknya berjumlah 531.783 jiwa di tahun 2003.
Kota ini didirikan pada tahun 1889. Penduduk utama Republik Afrika Tengah sebagian tinggal di bagian barat negara itu, tepatnya di Bangui. Kota ini merupakan pusat ekonomi Republik Afrika Tengah. Memiliki luas wilayah 67 km2.
Sejak 4 September 2020 lalu, Ina dan 140 polisi seluruh Polda se-Indonesia terjun dalam misi perdamaian UN atau PBB.
Mereka di bawah naungan Formed Police Unit (FPU) UNAMID. FPU adalah Satuan Tugas Garuda Bhayangkara membawa misi perdamaian PBB. Di tahun 2020, FPU ditugaskan di daerah Bangui, Centre Afrika atau Afrika Tengah.
Ia perempuan satu-satunya dari Polda Kalbar yang lolos dalam misi perdamaian tahun itu. Kak Ina biasa ia disapa.
Salah satu mimpi Iptu Inayatun Nurhasanah adalah bertugas bersama PBB. Kini mimpinya terwujud, saat ia resmi menjadi salah satu polisi perdamaian dunia. Ist
Sosoknya tinggi. Ramping. Sekitar 172 cm. Tegap. Postur tangguh. Siapa yang menyangka Ina ternyata seorang Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) di Polresta Pontianak.
Ia seorang Perwira polisi. Iptu pangkatnya.
Bagi Ina, bukan masalah perempuan terlibat dalam urusan perdamaian dunia. Perempuan bisa ikut andil dalam urusan kemanusiaan. Tangguh menjadi kuncinya, jika ingin masuk dalam jajaran polisi perdamaian. Tak masalah jika itu perempuan.
“Kuncinya niat, dan tangguh. Bukan tangguh badan kekar tapi disiplin, komitmen dan pantang menyerah,” kata Ina di sela wawancaranya usai pulang menunaikan misi PBB.
Selama 1 tahun 7 hari, ia bertugas sebagai polisi perdamaian dunia dengan bendera pasukan Garuda. Banyak cerita dan kisah di benua hitam itu. Ina menyukai tantangan.
Baginya, tak masalah bertugas jauh dari keluarga dan tanah air. Selama ia bisa belajar, dan mendapat restu orang tercinta, pastinya ia akan pergi.
Tak hanya belajar mengenai polisi di daerah misi, kepergiannya terlibat dalam misi PBB, sekaligus mencari pengalaman baru dan mimpi besarnya.
Selain sebagai penjaga perdamaian, Ina juga ditunjuk sebagai vokal point SEA. SEA adalah Sexual Exploitation And Abuse. Berada di bawah FPU PBB.
Tugasnya, mengingatkan dan mensosialisasikan resiko bagi petugas perdamaian, tak terlibat pelecehan. Terutama di pasukan Garuda.
Sebanyak 140 polisi perdamaian asal Indonesia yang ditugaskan itu bukan tanpa kualifikasi. Mereka adalah polisi terlatih dan punya spesialisasi masing-masing.
Untuk lolos seleksi, butuh tahapan ketat dan latihan sulit. Ina menjadi salah satu bagian dari tim Garuda tersebut.
Ina bercerita tak mudah baginya saat mendaftar menjadi bagian dari pasukan Garuda. Apalagi perempuan. Namun, ia punya tekad dan optimisme tinggi hingga akhirnya ia lolos.
"Setelah lolos, latihan ekstra berat kami lakukan. Begitu juga saat pra deployment (pelatihan penguatan materi dan hal teknis). Persiapan cukup lama, hingga kami berangkat ke daerah misi,” paparnya.
Para polisi perdamaian ini bahu membahu selama misi. Ina dan mereka adalah tim. Satu kesatuan. Kekompakan menjadi pelajaran, jika ingin sukses dalam misi.
Sosialisasi dengan para penjaga keamanan negara lain kerap dilakukan Ina dan tim. Tukar pendapat, ilmu dan melihat sejauh mana negara lain dalam misi mereka.
Tugas rutin Ina dan tim adalah piket patroli. Setiap camp yang terdiri dari belasan negara, punya jadwal patroli keliling kawasan yang diatur FPU.
Tak hanya itu, para polisi perdamaian ini juga harus mengawal dan menjaga para tamu PBB yang datang ke daerah misi. Mengingat daerah Afrika rawan konflik, baik perampokan dan konfrontasi penduduk hingga tentara setempat. Tak terkecuali, pasukan Garuda.
Sekali lagi, Ina sangat terinspirasi para polisi perdamaian dunia. Sangat tertantang. Bahkan, ia kerap terlibat patroli bersama tim.
Tak ada yang menyangka, Ina bisa mencapai mimpinya. Ia yang dulu ragu-ragu malah bisa menginspirasi banyak perempuan.
Ina bukan wajah baru di kepolisan. Terutama di Kota Pontianak. Wanita kelahiran Purwokerto, Jawa Tengah 2 Juni 1976, berkecimpung dalam penyidikan banyak kasus dari pencabulan hingga pebunuhan.
Terbaru, Ia ditempatkan di unit PPA Polresta Kota Pontianak. Bukan karena ia perempuan, tapi Ina dikenal lebih jeli dan teliti dalam menyelesaikan persoalan perempuan dan anak yang perlu penanganan ekstra.
Ina banyak belajar dari sana. Melihat kasus yang dipicu masalah sepele. Tapi, imbasnya besar. Itu makin membuat miris penanganan persoalan perempuan dan anak di Kota Pontianak.
Ia ditunjuk sebagai Kepala Unit (Kanit) PPA Kapolresta Kota Pontianak. Dari situ, ia makin banyak berkutat dalam kasus perempuan dan anak.
Dari kasus pelecehan, pencabulan, prostitusi hingga pembunuhan yang melibatkan dua kasus ini.
Tugasnya tak semata-mata mendampingi para korban, tapi mengawal hingga persoalan itu tuntas. Mendapatkan pendampingan dan bimbingan, agar trauma kasus bisa dikikis. Terutama, jika melibatkan anak di bawah umur.
Sebagai penyidik perempuan, Ina tak menghindari jika banyak kasus melibatkan hati. Sebagai seorang ibu, ia paham betul bagaimana kasus yang melibatkan anak, merusak mental jika tak ditangani secara benar.
Nama Ina makin dikenal publik. Kasus kekerasan pelajar Audrey penyebabnya. Kasus itu membuat Ina dan rekan-rekannya tak tidur dan pusing. Kasus itu sempat booming di awal 2019.
Bukan kasus berat tapi viralnya ke mana-mana. Bagi Ina, itu bukan kasus tersulit dan terparah yang ia tangani. Bahkan, ia pernah menangani kasus terberat dalam hidupnya. Kasus pembunuhan dua anak oleh orangtuanya.
Bagi Ina, menjadi Polwan adalah jembatan meraih cita-cita dan mimpi besarnya. Mengabdi untuk negara.
Dengan segala kemampuan dan keterbatasannya sejauh ini. Dari mulai bukan siapa-siapa, hanya polisi biasa hingga bisa dipercaya mengemban misi ke PBB. Ini akan jadi torehan kisah Inayatun Nurhasanah selama karirnya.
Begitu juga menjadi penyidik kasus perempuan dan anak. Ini misi besarnya. Memberikan rasa aman dan nyaman bagi korban.
Ina sadar, menjadi pendengar dan mengawal kasus hingga tuntas akan menjawab rasa keadilan mereka.
Ini bukan mimpi, tapi ini perjuangan Ina berikutnya. Kasus masih terus ada, begitu juga Ina pun harus terus ada untuk mereka. Perempuan dan anak.
Sang Profesor Air
Entah apa yang dipikirkan gadis kecil yang tengah meringkuk di sudut rumah balai kayu itu. Ia tak terlalu paham, apa yang dibicarakan orang sekitarnya.
Hanya dua kata yang ia ingat, kata ‘pergi’ dan ‘paman’
Usinya baru 11 tahun kala itu. Apa arti dua kata itu, ia tak paham.
Ia baru mulai mengerti kepingan kejadian itu, ketika sang ayah, Aswad Salam dan ibunya, Z. Aswad menitikan air mata. Mata keduanya memerah. Raut sedih kentara di wajah lelah mereka.
Ingatan gadis kecil yang kini genap berusia 50 tahun itu, mulai menyatu. Mulai paham dan menyadari, itu raut perpisahan.
Henny Herawati nama gadis kecil itu. Membumbung pilu dan meratap sedih, saat tangan kecilnya mengecup ringan tangan-tangan kecoklatan, kedua orangtuanya.
Henny tak berdaya merengkuh kedua orang yang ia kasihi dalam hidupnya. Usianya masih sangat belia untuk paham, kepergiannya semata-mata demi dirinya.
Demi masa depan lebih baik. Meski tak ada yang tahu masa depan, tapi kedua orangtua Henny, sepertinya bisa menerka apa yang terbaik untuk anak mereka.
Henny kecil pun dibawa ke Kabupaten Sintang. Ia dititipkan di rumah sang paman yang sudah mapan. Di sana, ia memulai hidup. Jauh dari orangtua, hanya ditemani dua saudaranya.
Tak heran, tangguh dan pekerja keras bukan barang baru bagi Henny, dan dua kakaknya.
Henny Herawati lahir di Nanga Silat, Putussibau, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalbar, 31 Januari 1972.
Ia masih mengingat jelas kata kedua orangtuanya. Kata-kata itu seperti mantra. Jadi obat penawar rindu, saat tak bisa bertemu orang-orang tersayang di kampung.
Saat bertemu dan bercerita, profesor yang dikenal ahli soal air ini, mengaku seperti kembali ke masa lalu. Ia sama dengan anak kecil kebanyakan.
Masa kecil ia habiskan bersama keluarga besarnya. Tumbuh dengan enam saudara. Henny anak ketiga. Anak tengah. Orang bilang, anak tengah adalah anak harapan. Suatu saat, bisa jadi kebanggaan.
Terbukti, 38 tahun kemudian, tepatnya tahun 2021, ia diangkat sebagai Guru Besar Fakultas Teknik, Universitas Tanjungpura, Pontianak.
Ia menjadi kebanggaan orang tua. Tak hanya jadi kebanggaan, juga harapan keluarga untuk pengabdian yang tak pernah pupus.
Jika ditanya siapa yang paling berperan dalam hidupnya, pasti Henny akan menjawab ayah dan ibunya. Terutama sosok ayah. Tak hanya jadi inspirasinya dalam untaian semangat dan keseharian.
Sosok ayah adalah pintu masuk Henny mengenal dunia teknik sipil. Hingga bisa menjadi guru besar Teknik Sipil, Bidang Ilmu Teknik Sumber Daya Air.
Ada tangan dingin ayah, dalam setiap jejak karier Henny Herawati.
Jika ditilik lebih jauh, Teknik Sipil bukan cita-cita awal. Ia mencintai alam. Tak heran, jika cita-cita awalnya berhubungan dengan pertanian.
Namun, sekali lagi, sosok ayah berperan di sini. Melihat Henny meneruskan impian tak kesampaian sang ayah di Teknik Sipil.
Pukulan berat bagi Henny karena sang ayah tak lagi bisa menemani. Tak bisa melihatnya meraih mimpi. Tak bisa berbagi duka ketika tak ada yang mengerti akan kesusahannya.
Untungnya, Henny punya banyak kegiatan di kampus. Ia aktif di berbagai kegiatan kampus. Dari kegiatan satu hingga kegiatan yang lain. Tak kenal lelah.
Hingga akhirnya, di tahun 1995 Ia lulus sebagai lulusan termuda, 23 tahun. Ia memiliki Indek Prestasi (IP) kategori baik di masanya.
Sejumlah beasiswa prestasi pun sempat diraih. Paling menarik adalah soal skripsi S1 Henny. Judulnya, ‘Drainase Kota Mempawah’.
Tak sembarangan ia memilih judul. Ada banyak cerita dan pesan dalam judul skripsinya. Dari situ, ia mulai mencintai apa saja ilmu yang berbau air. Dari mulai drainase, irigasi, hidrologi, bangunan air dan lainnya. Sesuatu yang terkait soal air, ia pelajari dan babat habis.
Ketekunannya mempelajari air dilihat sang dosen. Lantas, dosen menyuruh Henny menjadi asisten laboratorium dan asisten dosen. Ia pun diminta mengajar. Berbekal surat dari dekan, Henny mulai kelas pertamanya sebagai dosen. Baru, pada Agustus 1995, ia lulus jadi PNS dosen.
Ia mengajar di Jurusan Teknik Sipil bidang Ilmu Air. Kecintaannya untuk belajar soal air, semakin menjadi. Tak sembarangan bisa mempelajari ilmu air. Bisa dibilang, ilmu air cukup sulit.
Tak banyak orang tertarik. Namun, bukan Henny namanya, jika tak tertantang untuk belajar tentang ilmu air.
Ketika prajab tahun 1996, ia pun magang di Institut Teknologi Bandung (ITB). Kampus terkenal jika bicara teknologi.
ITB juga terkenal dengan melahirkan banyak pakar dan ahli di berbagai bidang. Selama satu tahun, ia magang di ITB. Ia pilih mata kuliah Irigasi.
Sebagai pendatang, ia tak menyia-nyiakan kesempatan emas itu. Pikirnya, kapan lagi bisa menimba ilmu dan diajar dosen-dosen berpengalaman.
-
Uniknya, sang dosen pembimbing kala itu, mengajaknya terlibat dalam berbagai kegiatan. Salah satu yang tak pernah ia lupakan, bahkan jadi pengalaman berharga, ketika sang dosen memintanya terlibat dalam proses penyemaian. Untuk pembuatan hujan buatan. Bukan penyemaian di atas tanah, tapi di atas awan. Menggunakan pesawat khusus.
Bak mendapat durian runtuh, tanpa pikir panjang ia menerima tawaran sang dosen. Ia pun terbang menembus awan, untuk menebar NaCl (garam dapur) dalam bubuk untuk modifikasi cuaca.
Pengalaman itu tak hanya membekas di hati. Tapi mengajarkan tentang tujuan menjadi dosen. Seperti, upaya penyemaian untuk memancing hujan, demi kesejahteraan manusia.
Ia berpikir, ia juga bisa bermanfaat dengan ilmunya. Berbagi, keberlangsungan hidup permukaan dengan air sebagai base-nya.
Ia makin terpacu untuk makin mengenal berbagai ilmu terapan soal air.
Tahun 1997, ia tanpa ragu mengambil S2 di kampus tempat ia magang dulu. Di ITB, ia makin melebarkan sayap dengan berbagai pengalaman. Hingga akhirnya, ia harus menyelesaikan studi akhir. Mengerjakan tesis.
Mungkin benar kata pepatah ‘Keberuntungan akan selalu hadir, seperti takdir yang selalu menyapa’. Kembali, ia bertemu dosen pembimbing yang memintanya, mengambil tesis soal pertanian.
Kebetulan, sang dosen punya perkebunan Melon di Kota Solo. Jadilah tesis dengan judul ‘Tata Air untuk Tanaman Melon’.
Ini seperti mimpi yang jadi kenyataan. Dulu ia sangat ingin masuk jurusan pertanian.
Siapa sangka, tesis-nya sekarang berhubungan dengan impian terpendamnya. Tak bisa menutupi rasa bahagia, Henny bertekad akan makin banyak belajar.
Mulailah pengerjaan tesis dilakukan. Henny harus bolak balik Bandung-Solo. Ternyata, tak mudah menghitung kadar air yang dibutuhkan untuk tanaman Melon.
Ia makin tercengang, ketika banyak hal tak terduga terjadi. Terutama soal detail dalam merawat tanaman Melon, seperti merawat bayi.
Tapi, itu adalah pengalaman tak terhingga bagi gadis muda itu. Ia banyak belajar dari tanaman Melon.
Seperti hidup, butuh proses dan tahapan untuk bisa jadi memuaskan. Sama juga dengan tanaman Melon, butuh proses untuk bisa jadi buah manis dan renyah.
Akhirnya, ia lulus S2 dengan nilai cukup memuaskan. Ia kembali ke Pontianak, dan mengabdi lagi sebagai pengajar. Kaya pengalaman, teori, ilmu hingga praktik lapangan, membuat Henny makin percaya diri berbagi, apa yang sudah ia dapat.
Seperti tak habis untuk mengasah ilmu, tahun 2012, ia mengambil kuliah S3 di Universitas Diponegoro (Undip) Semarang. Selama lima tahun ia berkutat menyoal air juga.
Disertasi berjudul 'Pengaruh Perubahan Regime Aliran dan Kenaikan Permukaan Laut terhadap Hidrotopografi pada Irigasi Pasang Surut' jadi tahapan akhir, sebelum akhirnya bergelar doktor.
Kuliah kali ini, Henny lebih mapan dan stabil. Ada suami dan tiga gadis kecil yang dukung kariernya.
Selain mengajar di Universitas Tanjungpura, Henny banyak terlibat di sejumlah organisasi dan proyek vital di Kalbar. Salah satunya, jadi bagian dari Himpunan Ahli Teknik Hidraulik Indonesia (HATHI) Kalbar.
Ia kerap tampil di berbagai seminar lokal, nasional hingga internasional. Spesialisasinya tentang air.
Apa pun jika berkaitan dengan bidang ini, Henny ahlinya. Ia banyak dilibatkan dalam pertemuan dan rumusan penting di Kalbar.
Tak heran, banyak kolega menyebutnya Sang Profesor Air. Ahli air yang banyak berkontribusi dalam tata air.
Baginya, itu adalah bentuk dedikasi dan pengabdian dari ilmunya. Selagi bisa bermanfaat, ia akan senang hati terlibat memberikan ide serta masukan.
Ia tak punya goals muluk dalam kariernya. Ia banyak ditanya soal pencapaian terbesarnya apa. Dengan senyum hangat, ia menjawab, "Selama bermanfaat, saya lakukan."
Ia memiliki prinsip, melakukan semua pekerjaan dengan sungguh-sungguh.
Ia percaya, jika melakukan dengan sebaik-baiknya, bisa berguna.
"Insyaallah, apa yang kamu kerjakan pada akhirnya bisa berguna. Tak hanya untuk sendiri, tapi juga orang lain,” katanya dengan mata berkaca-kaca.
Ia mencintai profesinya itu. Ia percaya, ilmu yang ia miliki bisa membantu kehidupan lebih baik. Terutama, bagaimana menjaga alam dengan keseimbangan di dalamnya.
Di Kalbar, situasi permukaan perlu penanganan serius. Jika tidak, ekosistem yang ada akan makin rusak. Infrastruktur tak harus mengganggu proses alaminya alam.
“Air itu dalam filosofinya adalah sumber kehidupan. Kalimantan kaya akan sumber air, tapi bagaimana kualitasnya. Kenapa berkurang? Karena tak ada keseimbangan di dalamnya. Ini yang harus kita lakukan bersama, agar kondisi Kalbar bisa lebih baik,” paparnya.
Gelar professor tak membuat Henny jumawa. Baginya, gelar profesor adalah bonus, dari dedikasi dalam bidangnya. Sekaligus amanah yang harus ia emban. Tanggung jawab itu berat bagi Henny.
Apresiasi guru besar ini patut kita acungi jempol. Terutama soal pengabdian.
Baginya, pengabdian akhir yang ingin dilakukan, sangat sederhana. Ia ingin pulang ke kampung halaman. Ingin mengabdi. Ia ingin membangun pusat pendidikan di sana.
Henny yakin, pusat pendidikan akan mampu melahirkan generasi maju untuk daerah asalnya itu.
Meski kampung, pikiran tak harus kampungan. Itu kata yang selalu ia tanamkan kepada setiap mahasiswa dari daerah. Yang menimba ilmu ke kota.
Ia ingat pesan ayah dan ibunya, selalu menekankan pentingnya pendidikan dan ahlak. Bukan uang yang bisa mengubah masa depan. Tapi ilmu dan semangat yang mampu membimbing seseorang jadi berguna. Tak hanya bergelar. Tapi juga berkarakter.
Baginya, tak cukup gelar untuk membuat sukses. Tapi bagaimana, dengan gelar itu, mampu membahagiakan orang sekitar. Mampu membawa perubahan. Tak untuk sendiri, tapi untuk generasi berikut. Pastinya, untuk kehidupan lebih baik.
Itulah tadi tiga cerita perempuan hebat dengan berbagai profesi dilihat dari perspektif berbeda. Mereka adalah pejuang dan pendobrak perubahan di era modern ini.
Magdalena, Inayatun Nurhasanah dan Henny Herawati adalah tiga srikandi hidup masa kini. Dengan semangat kehidupan di tiap nafas untuk setiap karya hidup mereka. ***
Penulis : admin
Editor :
Leave a comment