Juhermi Thahir: Pelestari Tari Seni Melayu Kalbar yang Tetap Eksis di Usia Senja

3 Maret 2024 09:29 WIB
Ilustrasi
Tanggal 22 November 2021 boleh jadi merupakan salah satu momen paling bersejarah dalam dunia kesenian di Kalimantan Barat. Bagaimana tidak? Pada hari itu sebuah pementasan dan diskusi daring menjadi saksi kembalinya sebuah kesenian tari yang sempat dianggap ‘punah’, Tari Jepin Gerangkang namanya. Terdengar asing? Mungkin sebagian dari kita merasa demikian ketika mendengar kata tersebut. Nama Jepin mungkin akrab di telinga, tapi nama ‘Jepin Gerangkang’ tak banyak dari masyarakat Kalbar yang tahu dan mengingatnya. Wajar saja, tari ini terakhir muncul pada tahun 80an. Seiring waktu, tarian itu perlahan menghilang dari masyarakat. Wujudnya tak pernah lagi tampak selama beberapa dekade, sebelum akhirnya beberapa penggiat seni mencoba merekonstruksi hingga munculnya kembali tari ini pada hari bersejarah tersebut. Lantas siapakah sosok dibalik momen bersejarah itu? Sosok yang dikenal sepuh ini mendedikasikan hidupnya untuk kesenian daerah tanpa kenal lelah. Tak ada yang meragukan kiprah dan minat besarnya untuk tarian lokal Melayu. Bukan Asli Kalimantan Barat Namanya Juhermi Thahir. Ia dikenal sebagai sosok penggiat tari tradisional Melayu Kalbar. Berjuang melestarikan budaya tari tradisional di usia senjanya, yang tak lagi muda. Juhermi Thahir lahir di daerah Terempa, Kepulauan Riau, pada 5 Juni 1959. Ia menghabiskan masa kanak-kanaknya di tanah kelahirannya tersebut. Lantas, hijrah ke Kota Pontianak pada tahun 1976. Pria yang akrab disapa Joe itu pindah ke kota seribu parit dengan maksud dan alasan yang mulia. Kala itu, ia masih duduk di kelas 2 SMP. [caption id="attachment_29116" align="alignnone" width="696"]Juhermi Thahir saat tampil di acara budaya/pribadi Juhermi Thahir saat tampil di acara budaya/pribadi[/caption] Ia ingin merasakan pendidikan di bangku SMA. Di kampung halamannya tak ada fasilitas sebagus di Kota Pontianak. “Hijrah untuk pendidikan karena batas pendidikan di kampung hanya SMP. Tak ada SMA. Kota Pontianak pun lebih dekat dengan Anambas,” ucapnya. Berbekal semangat untuk meraih pendidikan yang lebih baik, pindahlah Joe ke Kota Pontianak. Di kota ini, ia tak sendirian. Ada abang dan kakaknya yang telah lebih dahulu menetap di sana. Praktis, ia pun tak terlalu mengalami kesulitan dalam hal tempat tinggal. “Ada abang yang sudah selesai pendidikan di Universitas Tanjungpura. Kerja di sana, juga ada kakak yang kebetulan bertemu jodoh orang sana,” ujarnya. Di sana, ia pindah ke SMP Muhammadiyah dan selesai pada 1977. Ia sempat merasakan pendidikan di Sekolah Pendidikan Guru (SPG) selama dua tahun. Lalu pindah ke SMAN 2 Pontianak dan lulus pada tahun 1982. Mengenal Tari Sejak Dini Juhermi pertama kali bersentuhan dengan seni budaya pada saat di bangku kelas 5 SD. Tari pertama yang ia pelajari kala itu adalah Tari Serampang Dua Belas, sebuah tari yang berasal dari Sumatera Utara. Juhermi kala itu masih kanak-kanak. Bahkan belum memasuki usia baligh (usia dewasa). Tak begitu tertarik untuk belajar kesenian daerah. [caption id="attachment_29120" align="alignnone" width="309"]Juhermi Thahir saat mengajar tari/pribadi Juhermi Thahir saat mengajar tari/pribadi[/caption] Sama seperti anak-anak seusianya, ia lebih suka menghabiskan waktu dengan bermain, atau hal lain yang dianggapnya menyenangkan. Ia pun sempat beberapa kali tidak mengikuti pelajaran kesenian yang kala itu masuk ke dalam Muatan Lokal. Akibatnya, ia pernah mendapat hukuman ‘keras’ dari sang guru. Sejak itu ia mulai mempelajari kesenian tari yang kemudian menjadi panggilan jiwanya kelak. Berprestasi Sejak Muda Juhermi dikenal berprestasi dalam bidang kesenian tari sejak muda. Dengan keahlian seni tari yang ia peroleh di bangku SD sebelumnya, ia sudah menjadi pelatih tari ketika SMP, meski hanya teman-teman sebayanya yang menjadi muridnya. “Tahun 1977 sudah jadi pelatih tari, tapi masih melatih kawan-kawan saja,” ucapnya. Setahun tinggal di Pontianak, ia sudah meraih prestasi di bidang kesenian tari dengan menyabet Juara 2 lomba Tari Melayu Nasional se-Kalbar pada tahun 1977. Karena prestasinya itu, ia diajak oleh Bidang Kesenian Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kalbar untuk mengikuti sebuah sanggar tari. Sanggar Bina Tari namanya. Di sanggar itu, ia berusaha memperoleh sertifikat yang dapat membuatnya diakui sebagai pelatih tari resmi. Dengan usaha dan keahliannya, Juhermi berhasil lulus dengan predikat nilai terbaik pada 1978. Ketika berseragam putih abu-abu, ia dan rekan-rekannya membuat sebuah sanggar tari di sekolahnya yang mereka beri nama Sanggar Tari Mekar pada 1979. Selama di sanggar ini, ia merasakan berbagai penghargaan dan kegiatan seperti mendapat predikat juara 1 se-Pontianak lomba tari Jepin dan Juara 1 Pekan Tari Rakyat se-Kalbar pada 1979. Jadi Pelatih, Meski Masih Bersekolah Miliki tanggung jawab bersekolah plus jadi pelatih resmi tari dalam waktu bersamaan, mungkin tak banyak yang dapat melakukannya. Namun, inilah yang Juhermi lakukan di masa sekolah. Ini juga membuatnya jadi tak biasa. Tanggung jawabnya sebagai pelatih tak lantas menyulitkannya dalam menempuh pendidikan. Malah, aktivitasnya dalam bidang tari justru memudahkannya dalam beberapa hal. Selama terlibat dalam seni tari, ia justru dimudahkan dalam urusan biaya pendidikan. Ia tak perlu pusing memikirkan biaya sekolah. Sejak SMP hingga lulus SMA, ia selalu bersekolah dengan gratis. [caption id="attachment_29119" align="alignnone" width="696"]Juhermi Thahir saat mengajar tari/pribadi Juhermi Thahir saat mengajar tari/pribadi[/caption] Bahkan, di SMA sering diberi uang oleh kepala sekolah. Dengan catatan, harus membuat kegiatan ekstrakurikuler bermanfaat bagi sekolah. “Dari SMP sudah sekolah gratis. Di SMA 2 digratiskan oleh kepala sekolah, kadang malah dapat duit. di Sekolah Pendidikan Guru (SPG) dapat beasiswa,” ujarnya. Pengalaman dan prestasinya yang tidak biasa di bidang kesenian tari meski usianya masih belia membuatnya terlibat lebih dalam di bidang ini. Usai mendapat sertifikat resmi, ia praktis ditawari untuk menjadi pelatih di Sanggar Bina Tari naungan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan. Ia pun masih jadi siswa SPG Pontianak kala itu. “habis dapat sertifikat, langsung dikontrak jadi tenaga instruktur tari di sanggar bina tari. Lumayan,” katanya. Beruntungnya di tahun 1980, Taman Budaya Pontianak baru saja selesai di bangun. Juhermi yang masih melatih di Sanggar Bina Tari langsung ditarik menjadi instruktur tari Melayu Kalbar di Taman Budaya. Ini ayah tiga anak ini jadi salah satu instruktur tari pertama di pusat kebudayaan Kota Pontianak itu. Itu saat duduk i bangku SMAN 2 Pontianak. Di sana, ia sempat mengikuti Pekan Tari Rakyat 1 se-Kalimantan 1981 di Samarinda sebagai Penata Tari Tim Kesenian Kalbar. Bangganya ia dan tim Kalbar mendapat Predikat Juara Umum. Gagal Terbang ke Eropa Kecintaannya pada dunia seni tari tradisi telah mengantarkannya ke berbagai tempat. Menjadi pelatih dan tenaga pendidik di berbagai tempat. Begitu pula berkunjung ke berbagai daerah untuk mengikuti lomba berkaitan seni tari. Suka duka telah ia jalani selama berkecimpung di bidang ini. Jika mau dikategorikan suka atau duka, mungkin Juhermi sudah trauma, tidak mau lagi berkesenian. Namun, kalau boleh bercerita, ada satu dari sekian pengalaman pahit yang masih diingatnya. Pengalamannya gagal berkunjung ke Eropa. Pada 2014, Juhermi pernah tergabung dalam sebuah Tim yang akan pergi ke eropa. Kala itu ia menjadi seorang tenaga pendidik di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), mengajar Seni Tari Melayu Dasar. Juhermi beserta rekan-rekan tim ditunjuk menjadi perwakilan Universitas Tanjungpura yang telah terpilih untuk mengikuti program Muhibah Seni, sebuah program dari Dikti. Tim ini secara khusus mengemban misi untuk memperkenalkan budaya Indonesia ke dunia Internasional, yang kali ini akan berkunjung ke Prancis dan Jerman. Setelah 9 bulan merancang apa-apa saja yang akan ditampilkan di benua biru sana. Mereka siap berangkat. Pada pagi di hari keberangkatan, Juhermi dan lainnya diundang oleh Rektor. Tujuannya untuk audiensi sebelum berangkat. “hari H-1 pas paginya saya masih diundang oleh rektor, ada audiensi. Di sana pak rektor menyampaikan wejangan-wejangan, serta apa saja yang perlu diperhatikan di sana,” ujar Juhermi. Ketika malam harinya, Juhermi masih dihubungi oleh panitia dari pihak Untan. Katanya harus ke kampus untuk berkemas. Setelah selesai sholat magrib, ia langsung berangkat. Sekitar jam 9 malam tim panitia dari Untan datang menghampirinya. Namun mereka datang bukan untuk memberikan informasi mengenai pengemasan barang ataupun informasi teknis lainnya. Mereka membawa berita bahwa Juhermi tak dapat ikut terbang ke Eropa. “Datanglah tim dari untan sekitar jam 9, ngasih tau kalau saya tidak bisa ikut. Visanya tidak keluar katanya,” lanjutnya. Mendengar berita itu membuat Juhermi terkejut. Perasaan sedih dan kecewa muncul pada dirinya. Siapa yang tidak kecewa jika mengalami hal seperti itu. Tapi hal itu tidak membuat Juhermi patah semangat. “Ada satu semboyan saya, jangan dipikirkan, yang terjadi biarlah terjadi,” ujarnya. Seni Tari adalah Panggilan Jiwa “Seni itu ibarat benda mati, kitalah yang menghidupinya,” ucapnya. Bagi Juhermi, seni tari adalah panggilan jiwa. Seni tari merupakan panggilan hati, yang menganggap –juga berkeinginan—bahwa seni tari itu asik. Fisiknya mungkin telah menua, tapi semangatnya boleh diadu. Adalah tugas dan peran orang-orang sepertinya untuk tetap menghidupkan seni tari tradisi. Meskipun usianya telah lebih dari setengah abad, namun ia tetap mencoba melestarikan dan menghidupkan kembali tari-tari tradisi, khususnya tari tradisi melayu. “Ada kekhawatiran bahwa jika kita tidak berbuat. Kalau orang seperti saya ini tidak mau menghidupkannya maka seni itu akan punah,” ujarnya. Juhermi memfokuskan diri pada tari tradisi, tidak pada tari kreasi. Alasannya sederhana, ia menyukainya karena banyak mengandung pesan. Banyak filosofi yang dapat menjadi contoh dalam tari tradisi yang dapat diterapkan sehari-hari. Karenanya, berusaha mengemas kembali tari-tari tradisi yang telah ada agar menjadi semakin menarik. Agar semakin disukai masyarakat. Termasuk di dalamnya mengambil peran dalam menghidupkan kembali tari Jepin Gerangkang. [caption id="attachment_29117" align="alignnone" width="696"]Juhermi Thahir saat bersama keluarga besarnya/pribadi Juhermi Thahir saat bersama keluarga besarnya/pribadi[/caption] “Contoh ada satu tari jepin gerangkang tadi, sekarang saya angkat kembali, kita kembangan di sanggar-sanggar supaya dia tetap ada. Keasliannya tetap kita pegang tapi kemasannya kita tata ulang dengan tidak merubah keasliannya terutama dari segi penampilan,” lanjutnya. Meski tidak ada kemewahan yang ia terima selama menempuh bidang ini, Juhermi tetap membagikan ilmunya ke berbagai sanggar seni. Harapannya seni tari yang ia bagikan dapat terus ditampilkan. Merupakan sebuah kebanggaan dan kebahagiaan tak ternilai jika itu dapat terjadi. “Itulah kebahagiaan yang kita rasakan ketika merekonstruksi tari-tari yang hampir punah bisa kembali maka kepuasan yang tidak dapat dibaayar dengan apapun,” terangnya. Jangan Terlalu Hanyut Globalisasi “Siapa bilang generasi muda tidak berminat pada seni budaya?” ucapnya. Sebuah kalimat yang ia lontarkan setelah meneguk sebuah kopi hitam dari gelasnya. Tentu Juhermi bicara begitu bukan tanpa dasar. Ia adalah mantan dosen yang mengajar di program studi (prodi) kesenian. Sudah enam tahun ia menjadi saksi betapa banyak generasi muda yang mendaftar ke tempat ia mengajar, namun hanya segelintir orang yang dapat diajarnya. “Saya sakti bukti nyata setiap tahun yang seleksi ribuan orang tapi yang diterima hanya segitu. Minatnya banyak tapi wadahnya yang kurang, memang bisa di sanggar tapi kalau wadahnya fakultas kan mereka punya tujuan, punya semangat untuk mendapatkan pengakuan. Bahwa mereka seniman yang sudah sarjana,” ujarnya. Juhermi berpesan kepada generasi muda agar tidak terlalu terpengaruh globalisasi. Selama diberikan arahan dan informasi yang baik, ia berpendapat generasi muda juga dapat mencintai budaya-budaya asli Indonesia. “Harapan kepada generasi muda, mereka tidak juga terlalu hanyut dengan globalisasi selama mereka diberikan arahan yang baik, informasi yang benar seputar budaya itu. Kuncinya disekolah sejak dini. Diterapkan disekolah maka mereka akan mencintai budaya sendiri,” tutupnya.***    

Leave a comment