Buku Politik Pertahanan

3 Maret 2024 09:29 WIB
Ilustrasi

Suatu Ikhtiar Membumikan Masalah Pertahanan Negara

Buku Politik Pertahanan merupakan kumpulan tulisan di berbagai media nasional. Penulisnya, Dahnil Anzar Simanjuntak, juru bicara Menteri Pertahanan RI, Prabowo Subianto.

Dahnil, sebelumny a merupakan dosen dan PNS di Kampus Sultan Ageng Tirtayasa, Banten. Dahnil pernah menjadi Ketua PP Pemuda Muhammadiyah, 2014-2019.

Buku Politik Pertahanan mengupas masalah pertahanan negara. Tidak sekadar masalah mengupas masalah terkait Alustsista, namun berbicara terkait berbagai hal yang berhubungan dengan pertahanan.

Seperti, pembangunan berwawasan pertahanan, pangan dan pertahanan negara, diplomasi pertahanan, film dan pertahanan budaya, AS versus China di Indo-Pasifik, dan Covid. Buku ini membahas perkembangan big data dan konsekwensinya bagi perkembangan dunia.

Pertahanan merupakan multifacet dan holistik. Kesejatian perangai pertahanan adalah kesemestaan. Semua sektor terkait dengan isu pertahanan. Mulai dari kebudayaan, ekonomi, diplomasi dan lainnya.

Doktrin pertahanan Indonesia adalah pertahanan rakyat semesta. Pertahahan bukan hanya tanggung jawab komponen utama, yakni Tentara Nasional Indonesian (TNI) dan masyarakat umum yang terpilih secara sukarela sebagai Komponen Cadangan (Komcad).

Menjadi Komcad tidak wajib. Harus daftar secara sukarela, serta diseleksi secara ketat dengan berbagai proses. Komcad tidak seperti wajib militer (Wamil), dan harus dilaksanakan semua orang.  

Pertahanan negara melibatkan semua komponen bangsa. Hal itu sesuai dengan Pasal 30 Ayat (2) UUD. Bahwa, masalah pertahanan negara, melibatkan seluruh warga negara, wilayah dan sumber daya nasional.

Masalah pertahanan negara, tidak sekedar bicara terkait perang secara fisik. Perang tidak hanya secara militer, tapi mencakup berbagai bidang. Misalnya, politik, ekonomi, budaya, media, siber dan lainnya.

Ada tiga ancaman yang mesti diantisipasi dalam sistem pertahanan negara. Yaitu, ancaman militer, non militer dan hibrida (militer dan non militer).

Perang non militer misalnya, lepasnya Timor Timur, 1999, dan Pulau Sipadan dan Ligitan, 2022. TNI tak pernah kalah dalam perang militer di Timor Timur. Tapi, TNI tak bisa memenangkan hati dan pikiran (winning the heart and mind of people) penduduk. Mereka tidak dibina, sehingga Timor Timur lepas dari Indonesia.

Dalam kasus Pulau Sipadan dan Ligitan, kehadiran negara menjadi penting sehingga wilayah itu lepas dari Indonesia. Mahkamah Internasional memenangkan Malaysia dengan dalil effective occupation (pendudukan efektif). Ada pembangunan dan pendampingan dilakukan Malaysia, terhadap warga di Pulau Sipadan dan Ligitan.

Perang non militer itu disebut sebagai peperangan generasi Keempat (4 GW). Digunakan untuk menghancurkan kemampuan bertempur musuh. Pemahaman perang generasi keempat, identik dengan perang semesta.

Diplomasi pertahanan dilakukan untuk mencapai national interest atau kepentingan nasional. Sebab, hal itu tidak bisa dipisahkan dari kekuatan nasional. Salah satunya adalah kemampuan militer. Kekuatan militer suatu negara, merupakan kekuatan aktual suatu negara. Hal itu juga diperlukan dalam diplomasi pergaulan tingkat internasional.

Misi diplomasi pertahanan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dalam kunjungannya ke berbagai negara, salah satunya adalah untuk penguatan Alutsista. Dalam pengadaan Alutsista dari dalam dan luar negeri, Prabowo Subianto memegang empat prinsip. Pertama, tepat guna. Kedua, geopolitik dan geostrategis. Ketiga, efisiensi anggaran. Keempat, alih teknologi dan offset.

Dalam urusan pengadaan Alutsista, ada istilah “Defent is not a cost. Defent is an investment.” Bahwa, anggaran pertahanan yang besar, bisa memicu pertumbuhan ekonomi.

Ada semangat kemandirin dalam pengadaan Alutsista di Indonesia. Pengalaman itu muncul ketika Amerika Serikat memboikot Alutsista yang dibeli dari Negeri Paman Sam tersebut. Akibatnya, Alutsista di Indonesia tidak bisa digunakan. Mangkrak.

Pengalaman diembargo melahirkan UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan. Melalui UU tersebut, TNI/Polri, Kementerian/Lembaga pemerintah wajib menggunakan produk dalam negeri. Pemerintah juga bertindak sebagai pelanggan, sponsor, dan regulator atau pembuat aturan.

Data dan AI

Dalam masalah pertahanan negara, hal yang tak bisa dianggap remeh adalah munculnya teknologi, setelah ditemukannya internet. Digitalisasi data tak hanya menghasilkan big data. Juga masalah susulan lain. Misalnya, banjir informasi dan hoaks, atau peretasan data.   

Sebagai contoh, data Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) mencatat, selama tahun 2018, Indonesia mengalami 232,45 juta serangan siber. Berdasarkan penelitina Forst&Sullivan yang diprakarsai Microsoft pada 2018, kejahatan siber di Indonesia dapat merugikan negara sebesar 34,2 miliar dollar AS, atau Rp478,8 triliun.

Digitalisasi menghasilkan big data. Namun, di sisi lain, melahirkan kolonialisme baru melalui penguasaan algoritma big data. Lalu, apa itu big data? Big data merupakan perkawinnan revolusi teknologi dalam biologi (biotek) dengan revolusi teknologi dalam pengolahan informasi (infotek). Untuk mengendalikan suatu negara, tidak perlu mengirim tentara.

Mengutip Noah Harari, data menggeser tanah dan mesin sebagai aset paling penting. Politik bakal menjadi perjuangan untuk mengontrol aliran data. Pelopor pengumpulan data, seperti Google, Facebook, Baidu dan Tencent (China) sudah mulai penguasaan mendapatkan data. Data tidak hanya diberikan kepada pengiklan. Bahkan, kita adalah produk mereka.   

Saat ini, semakin berkembangnya Artificial Inteleggent (AI) atau kecerdasan buatan, semakin menciptakan kekayaan luar biasa pada beberapa pusat teknoogi tinggi. Namun, di sisi lain, banyak negara semakin bangkrut, dan menjadi koloni data serta diekspolitasi.

Buku Politik Pertahanan juga membahas masalah Covid di Indonesia. Munculnya Covid yang menghancurkan berbagai sendi kehidupan warga, bangsa dan negara, tentu saja turut menjadi masalah semua pihak, dan berpengaruh terhadap masalah pertahanan dan keamanan.

Buku Politik Pertahanan bagus untuk melihat, sejauhmana masalah pertahanan bangsa, tidak sekedar hanya terkait urusan Alutsista. Seperti kita lihat dalam debat kandidat Presiden beberapa waktu lalu. Tidak sekedar mengenai jumlah pesawat, usia peralatan, serta dana yang mesti digelontorkan dalam masalah pertahanan dan keamanan.  

Dahnil bisa membumikan masalah pertahanan dan keamanan dengan bahasa yang sederhana. Bahwa, masalah pangan, ekonomi yang tercukupi, kehadiran negara di masyarakat, budaya dan kesenian, dan lainnya, merupakan hal yang tak lepas dari masalah pertahanan.

Hal itu tentu saja penting. Bahwa, ketika warga negara memahami masalah pertahanan, mereka dengan sukarela bakal terlibat mempertahankan negara. Seperti, tercermin dalam slogan dan semangat pertahanan rakyat semesta.

Buku ini juga bagus, menyoroti perkembangan baru terkait kecerdasan buatan. Yang dampaknya bisa sangat merugikan bagi suatu negara. Bahkan, inilah kolonialisme baru. Kondisi itu tentu saja tidak bermaksud menakut-nakuti. Tapi, itulah realitas yang sebenarnya terjadi.

Meski menjadi juru bicara Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, Dahnil secara lugas berani menyoroti tidak hadirnya negara dalam pembangunan. Serta, mengkaitkannya dengan contoh kasus lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan.

Juga, ketidakmampuan militer mengambil hati rakyat, dalam peristiwa lepasnya Timor Timur. Dua fakta itu, mungkin saja, tidak bakal muncul bila juru bicara Prabowo Subianto adalah seorang militer.

Buku Politik Pertahanan kaya dengan referensi dan dukungan data. Sebagai dosen dan Doktor bidang Ekonomi, Dahnil tentu saja terbiasa dengan membaca dan melakukan riset. Dua hal itu tentu saja memperkaya tulisannya.

Bila ada hal yang mesti dikoreksi dalam buku ini, adanya beberapa data dan tulisan muncul dalam beberapa topik atau tulisan. Tapi, hal itu bisa dipahami. Sebab, setiap tulisan di buku ini, adalah tulisan dengan tema tersendiri, sehingga sebuah data bisa dimasukkan ke dalam tulisan dengan tema berbeda.(Muhlis Suhaeri)   

Leave a comment