Apakah Berbuka Puasa dengan Makanan Manis Setara dengan Kesunnahan Kurma?

3 Maret 2024 09:29 WIB
Ilustrasi
PROBOLINGGO, Insidepontianak.com – Mengejarkan amalan sunnah di bulan Ramadhan sangat dianjurkan, terlebih lagi ketika berbuka puasa dengan makanan manis. Di tengah-tengah lingkungan masyarakat sering terdengar ucapan "berbukalah dengan yang manis-manis", buah bibir ini memang mendapatkan legitimasi dalil mengenai kesunnahan berbuka puasa dengan makanan manis. Sayangnya di Indonesia kurma bukanlah buah yang bisa dinikmati oleh semua kalangan. Lantas, berbuka dengan mencicipi makanan manis juga mendapatkan kesunnahan yang sama dengan menu kurma? Sebelumnya, dalil mengenai anjuran berbuka puasa dengan kurma sudah sering ditemui di banyak tempat. عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُفْطِرُ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ عَلَى رُطَبَاتٍ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ رُطَبَاتٌ فَتُمَيْرَاتٌ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تُمَيْرَاتٌ حَسَا حَسَوَاتٍ مِنْ مَاءٍ “Dari Anas bin Malik, ia berkata : Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berbuka puasa sebelum shalat dengan ruthab (kurma basah),  jika tidak ada ruthab, maka beliau berbuka dengan tamr (kurma kering), dan jika tidak ada tamr, beliau meminum seteguk air“ (Hr. Imam Tirmidzi) Dalam keterangan tersebut, Nabi mempunyai kebiasaan mengonsumsi kurma basah sebagai pembatalan puasa. Barulah kemudian beliau akan menunaikan ibadah shalat maghrib. Dalam kesempatan lain, ada juga Hadits Nabi yang menganjurkan hal yang sama: وَعَنْ سَلْمَانَ بْنِ عَامِرٍ اَلضَّبِّيِّ – رضي الله عنه – عَنِ اَلنَّبِيِّ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ: – إِذَا أَفْطَرَ أَحَدُكُمْ فَلْيُفْطِرْ عَلَى تَمْرٍ, فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَلْيُفْطِرْ عَلَى مَاءٍ, فَإِنَّهُ طَهُورٌ – رَوَاهُ اَلْخَمْسَةُ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ خُزَيْمَةَ وَابْنُ حِبَّانَ وَالْحَاكِمُ "Dari Salman bin ‘Amir Adh Dhobbi radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Jika salah seorang di antara kalian berbuka, maka berbukalah dengan tamr (kurma kering). Jika tidak dapati kurma, maka berbukalah dengan air karena air itu mensucikan.” (Hr. Ibnu Majah dan Imam Nisa'i) Sebagian ulama' kemudian berpendapat, bahwa kesunnahan berbuka puasa dengan makanan manis tidak hanya terbatas pada kurma saja. Sebab, fadhilah manis itu lah yang menjadi dasar kenapa dianjurkan mengonsumsi makanan manis. Menanggapi Hadits tersebut, seorang ulama' yang bernama Muhammad Abdur Rahman bin Abdur Rahim Al-Mubarakfuri berkomentar: إنما شرع الإفطار بالتمر لأنه حلو وكل حلو يقوي البصر الذي يضعف بالصوم وهذا أحسن ما قيل في المناسبة وقيل لأن الحلو يوافق الإيمان ويرق القلب وإذا كانت العلة كونه حلوا والحلو له ذلك التأثير فيلحق به الحلويات كلها قاله الشوكاني وغيره Artinya, “Disyariatkan buka puasa dengan kurma karena ia manis. Sesuatu yang manis dapat menguatkan penglihatan (mata) yang lemah karena puasa. Ini merupakan alasan (‘illat) yang paling baik. Adapula yang berpendapat bahwa sesuatu yang manis ini sesuai dengan iman dan melembutkan hati. Apabila ‘illat kesunahan buka puasa dengan kurma itu karena manisnya dan dapat memberikan dampak positif, maka hukum ini berlaku untuk semua (makanan dan minuman) yang manis. Demikian menurut pendapat As-Syaukani dan lainnya.”dikutip langsung oleh tim Insidepontianak dari kitab Tuhfatu al-Ahwadzī, Kamis (30/3). Berbeda dengannya, Syaikh Nawawi Al-Bantani malah mengurutkan berbagai jenis makanan manis yang paling utama ketika tidak menemukan kurma. و يقدم العسل على اللبن لانهم للحلو فى هذا المحل بعد فقد التمر و الماء و نحوهما مما ورد تفاؤلا بالحلاوة او لنفع البصر "Dan didahulukan madu atas susu, karena mereka (ulama') memandangnya dari segi manis pada konteks ini, setelah tidak dijumpainya kurma dan air. Adapun setelahnya (madu dan susu), maka makanan lain (minuman) yang mengandung manis untuk manfa'at penglihatan," dikutip dari Nihāyatu az-Zain. Berdasarkan kesimpulan, bila seseorang lebih condong kepasa pendapat Al-Mubarakfuri, maka berbuka puasa dengan makanan manis jenis lainnya sama dengan kesunnahan kurma. Berbeda dengannya, Syaikh Al-Bantani lebih menganjurkan madu kemudian susu. Bila tidak ditemukan dua hal itu, maka makanan manis jenis lainnya. *** Sumber: Tuhfatu al-Ahwadzī dan Nihāyatu az-Zain. (Penulis: Dzikrullah).

Leave a comment