PSN Rempang Eco City: Mengabaikan Hak Masyarakat Adat (Bagian I)
Proyek Strategis Nasional atau PSN Rempang Eco City membuat ribuan masyarakat di pulau ini terpinggirkan. Mereka tergusur dari tanah kelahiran. Investasi ini telah mengabaikan hak masyarakat adat warga setempat.
Berbagai proyek strategis nasional seyogianya tidak menggusur keberadaan masyarakat adat dan komunitas lokal sebagai penjaga lahan dan lingkungan.
Namun sayang, tak jarang eksekusi PSM minim melibatkan masyarakat dalam berbagai diskusi dan pengambilan keputusan.
Akiharnya, perjuangan untuk mempertahankan wilayah adat dan penghidupan, justru mengancam keselamatan masyarakat.
Data laporan Global Witness (2023) mencatat, terhitung dari tahun 2012 hingga tahun 2022, terdapat setidaknya 1.910 pejuang lingkungan dan keadilan iklim yang 'terbunuh' di seluruh dunia.
Selama tahun 2022, setidaknya terjadi 16 kasus pembunuhan terjadi di kawasan Asia dan 3 di antaranya berasal dari Indonesia.
Mereka terbunuh karena berusaha mempertahankan wilayahnya dari alih fungsi lahan untuk keperluan industri.
Konflik masyarakat adat Rempang versus negara dan investor yang saat ini sedang berlangsung pun berpotensi menambah panjang daftar korban pejuang lingkungan.
Konflik ini dipicu oleh eksekusi Rencana Proyek Rempang Eco-City sebagai salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN) yang ditetapkan melalui Permenko Bidang Perekonomian RI No.7 Tahun 2023 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Koordinator RI No.7 Tahun 2021 tentang Perubahan Daftar Proyek Strategis Nasional.
Sebanyak 7.500 orang penduduk Rempang, termasuk masyarakat adat tempatan dari 16 kampung melayu tua yang dihuni oleh suku melayu, suku orang laut, dan suku orang darat dipaksa untuk meninggalkan tempat tinggal mereka yang sudah sejak lama dihuni dari zaman leluhur.
Bahkan proses pemindahan diberi waktu sangat cepat. Sampai dengan akhir September 2023, mereka harus pindah ke tempat relokasi sementara yaitu rusun-rusun, sedangkan rumah yang dijanjikan sebagai pengganti belum rampung.
Konflik Rempang mengakibatkan luka yang sangat besar bagi masyarakat di sana, khususnya masyarakat adat tempatan yang sudah tinggal di sana sejak tahun 1834. Tindakan intimidasi dan kekerasan yang dilakukan oleh aparat juga menimbulkan trauma mendalam pada anak-anak.
"Kami menyoroti tindakan pemerintah tanggal 12 September, di mana aparat merelokasi secara paksa empat kampung di Pulau Rempang yaitu Kampung Sembulang, Tanjung Banun, Dapur Enam, dan Pasir Panjang. Sedikitnya, relokasi tahap pertama tersebut akan memindahkan 700 keluarga yang bermukim di empat kampung yang luasnya 2.000 hektar,” jelas Ferry Widodo, Manajer Pengakuan Wilayah Kelola Rakyat, Divisi Wilayah Kelola Rakyat, WALHI.
PSN Rempang Eco-City seolah mengabaikan hak-hak yang dimiliki oleh masyarakat adat tempatan, dengan tidak adanya pengakuan atas keberadaan mereka yang sudah lama mendiami wilayah tersebut.
Sebagai masyarakat adat yang sudah mendirikan kampung di Pulau Rempang, sebetulnya penghidupan dan hak mereka sudah dijamin dalam SK Wali Kota Batam Nomor: KPTS 105/HK/III/2004 dan dalam Perda Nomor 2 Tahun 2004 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Batam pada pasal 21 ayat 4.
Ferry menegaskan bahwa masyarakat adat tempatan yang terdampak proyek ini akan mengalami kerugian seperti kehilangan sejarah kehidupan, ikatan sosial sesama warga, ikatan ekonomi termasuk hilangnya mata pencaharian mereka sebagai nelayan dan peladang yang telah berlangsung secara turun temurun.
“Saya melihat fenomena kejahatan kemanusiaan terjadi kepada masyarakat adat dengan adanya tindak kekerasan dan pemaksaan untuk direlokasi," kata Ferry.
Menurutnya, pengguauran ini berpotensi menghilangkan identitas masyarakat adat tempatan itu sendiri. Sudah pasti relokasi tersebut tidak cocok.
Ferry pun menyebut, pemerintah terlalu memaksa memindahkan masyarakat Rempang dari tanah kelahiran ke rusun-rusun lingkup perkotaan.
Karena itu, saat ini muncul solidaritas dari suku melayu lainnya dari Riau, Sumatera, dan Kalimantan untuk membela hak masyarakat adat tempatan.
"Sudah seharusnya dukungan dari masyarakat adat lainnya ini menjadi pertimbangan dari pemerintah terhadap keberlanjutan proyek Eco-City,” lanjut Ferry.
Ferry menjelaskan, masyarakat adat tempatan memiliki nilai sejarah yang kaya, sistem sosial dalam menjaga alam tetap lestari, serta sudah sejak dulu berkontribusi dalam menjaga ekosistem pantai.
“PSN malah melegalkan upaya perusakan lingkungan melalui pembangunan industri kaca yang akan merusak ekosistem kelautan,” kata Ferry.
Catatan WALHI menemukan kekeliruan prosedur dalam kasus Rempang sebagai Hak Pengelolaan Lahan (HPL) Badan Pengusahaan (BP) Batam.
Karena sampai saat ini Pulau Rempang masih menjadi kawasan konservasi pada SK.179/IV-KKBHL/2013 tanggal 21 Juli 2013, selain itu SK ini kemudian diperkuat oleh Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan Dan Konservasi Alam SK.76/IV-KKBLH/2015 Tentang Nomor Register Kawasan Suaka Alam, Kawasan Pelestarian Alam Dan Taman Buru yang menyatakan bahwa Pulau Rempang masih teregister sebagai kawasan Taman Buru oleh Ditjen Konservasi Sumber Daya Alam Ekosistem (KSDAE) di bawah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Selain itu, Dokumen Gubernur Kepulauan Riau, Peraturan Daerah Provinsi Kepulauan Riau No. 1 Tahun 2017 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Kepulauan Riau tahun 2017-2037 pada pasal 41g menyatakan bahwa Rempang merupakan hutan lindung.
Lalu, secara tiba-tiba terbitlah HPL atas wilayah tersebut kepada PT Makmur Elok Graha (MEG) bulan Juli 2023. Masih menjadi pertanyaan, mengapa pemerintah memberikan HPL atas kawasan hutan?
“Artinya, pemerintah telah menyalahi kebijakan yang mereka atur sendiri,” tegas Ferry. (ril/walhi/bersambung)***
Penulis : admin
Editor :
Leave a comment