Sumpit dan Suku Dayak

3 Maret 2024 09:28 WIB
Ilustrasi
Pada sebuah tanah lapang, enam orang berdiri dengan berbaris. Mereka memasukkan anak sumpit, mengangkat dan meniupnya. Papan kotak berlapis gabus jadi sasaran. Anak sumpit menancap. Sebagian lagi tak kena sasaran. “Orang Dayak ada kebanggaan, tiap keluarga ada satu sumpit,” kata Anthony Banyan dari Malaysia. Ia berasal dari subsuku Dayak Iban yang tinggal di Sarawak, Malaysia. Selain menyimpan sumpit, keluarga Dayak sangat bangga bila juga menyimpan perisai atau mandau.  Setiap keluarga membuat sumpit bagi anggota keluarga lelaki mereka. Christianus Samanyuk, anggota sanggar Ipuh Damak mengatakan, bagi masyarakat Dayak, sumpit sarana penunjang kebutuhan hidup hewani, mempertahankan diri dari ancaman musuh dan simbol peraga adat. “Zaman dulu sumpit pelengkap mas kawin atau denda adat,” kata Samanyuk. Ia guru SD 42 Kota Pontianak. Mengajar Bahasa Indonesia dan Agama. Ia mengajar ektrakulikuler ketrampilan dan karate. Selain mengajar, Christianus anggota Forum Relawan Kemanusiaan Pontianak (FRKP). Sanggar Ipuh Damak aktif dalam bidang seni dan olahraga. Ipuh adalah nama pohon. Getahnya bening. Racun sumpit diambil dari pohon ipuh. Sumpit sebagai peraga adat mulai hilang. Sumpit sulit didapat karena banyak dijual ke negeri Jiran, Malaysia. Lingkungan hutan Kalimantan dengan hutan lebat dan pohon tinggi, membuat orang Dayak harus menyesuaikan dengan lingkungannya. Binatang harus disumpit agar terjatuh. Dalam kondisi perang, sumpit sangat ditakuti karena sifatnya tak bersuara. Saat musuh dalam jarak tembak, sumpit jadi senjata andalan. Sumpit sanggup mencapai jarak sekitar 30 meter. Sumpit senjata paling ditakuti karena racun di ujung anak sumpitnya atau ipuh. [caption id="attachment_7792" align="alignnone" width="644"]Sumpit Seorang lelaki Dayak meniupkan sumpit dalam sebuah pagelaran menyumpit (Muhlis Suhaeri).[/caption] Proses Membuat Sumpit Sumpit terdiri dari beberapa bagian. Batang sumpit atau laras. Anak sumpit atau damek. Tempat sumpit atau demek. Pada bagian ujung sumpit ada mata tombak. Fungsinya, kalau sasaran sudah terkena sumpit, akan dirujak atau ditikam. Mata tombak pada ujung sumpit, biasa disebut lonjo atau sangkoh. Pada subsuku Dayak Tamambaloh di Kapuas Hulu, bentuk lojoh seperti daun. Bagian tengah agak lebar. “Kalau Dayak Iban bagian tengah tak terlalu lebar,” kata Panglima Jimbau di Lanjak, Kapuas Hulu. Sumpit terbuat dari kayu belian atau ulin, mabang, tapang, lebatan, nibung dan bambu kuning. Paling banyak dari kayu ulin dan tapang. Sumpit dari kayu nibung dipergunakan bagi orang yang tidak mempan senjata tajam dan punya ilmu kebal. Sumpit terbuat dari kayu mabang atau kayu lempung. Seperti, kayu jelutung. Sumpitnya lebih ringan. Setelah itu dilapisi dengan cat. Sekarang ini, orang membuat sumpit dari kayu lempung. Misalnya kayu jelutung. Kayu dibelah. Bagian dalam diberi pipa aluminium selebar 5-8 mm. Panjang sumpit antara dua hingga tiga meter. Semakin panjang laras semakin jauh jarak tembak. Sumpit juga terbuat dari paha tulang rusa. Model sumpit ini cara pakainya disantar atau ditepuk pakai tangan. Mereka yang punya ilmu tenaga dalam yang sanggup melakukannya. Membuat sumpit butuh waktu berfariasi. Dulu, membuat sumpit butuh waktu bulanan bahkan tahunan. Sekarang dalam waktu seminggu sumpit sudah jadi. Ada beberapa cara membuat sumpit. Pertama, sistem air terjun. Kedua, pakai tapak tangan. Ketiga, bor incar. Teknik pertama dengan menaruh kayu yang tengahnya sudah diberi bor di bawah air mengalir. Kincir air menggerakkan mata bor sehingga maju mundur sumpitnya. Untuk melubangi pakai anak bor khusus yang dibuat sendiri. Teknik kedua melubangi kayu dengan bor menggunakan tangan. Teknik ketiga menggunakan bor. Anak sumpit terbuat dari lidi enau, bambu tumiang dan nibung. Panjang anak sumpit sekitar 15 cm. Bagian anak sumpit diberi lilitan kapas 5 cm pada bagian ujung. Tujuannya, agar anak sumpit dapat melaju dengan seimbang. Kalau kapas di bagian ujung sekali, malah membuat damek larinya tak lurus. Ekor damak dibuat dari beberapa bahan. Misalnya dari kapas, batang tebu telur, bembang sejenis tanaman liar, dan ekor burung tungkari atau sejenis burung pelatuk. Bulu disusun seperti shutle cock pada olahraga badminton. Untuk olahraga, orang memberli anak panah sudah jadi.  Terbuat dari fiber dan gabus. Harganya RM 10 atau sekitar Rp 175 ribu. Ada 10 damak. Racun Pada Sumpit Hal paling ditakuti pada sumpit adalah racunnya. Zaman penjajahan Belanda dan Jepang, banyak serdadu penjajah tewas karena sumpit. Racun terbuat dari pohon ipuh. Ini sejenis pohon nangka bergetah bening. Getah diambil menggunakan kapas dari kayu randu. Kalau tangan luka bisa berbahaya. Getah dicampur cairan kulit dan darah kodok beracun atau rega. Sintetek merupakan jenis kodok hutan yang diambil bagian empedunya. Racun sumpit juga dibuat dari air baro’ atau caiaran tubuh mayat. Cairan dari mayat ditampung dalam wadah, dan digunakan sebagai racun. Sebelum agama berkembang dan kepercayaan animisme masih kuat, orang Dayak tak mengubur jenasah. Mayat disandung atau ditaruh dalam peti atau tempat pembakaran mayat, panutuan. Campuran racun pada sebagian besar suksuku Dayak, sama bahannya. Cuma, namanya saja berbeda. Sebelum menggunakan sumpit, anak sumpit direndam dalam campuran racun. “Ipuh tradisional efeknya dalam hitungan detik,” kata Samanyuk. Sekarang ini, orang menggunakan ubi dicampur air kelapa. Damak semakin lama direndam ke ipuh semakin beracun. Tiap binatang ada dosisnya. Karena itu, pemburu membawa tiga hingga empat tempat ipuh. Rusa dosisnya tinggi. Campurannya lebih banyak. Tupai sedikit campurannya. Bagian binatang buruan yang terkena ipuh dibuang. Lalu, daging dipotong dicuci dengan asam payah. Orang yang terkena sumpit rasanya seperti digigit ular. Dada, leher dan kepala merupakan bagian sasaran sumpit. Karenanya, zaman masih sering terjadi peperangan dan mengayau, orang pakai baju rompi dari kulit kayu dan binatang. Mitos Sekitar Sumpit Senjata tradisional tak lepas mitos dan misteri. Begitu pun sumpit. Mitos mengenai sumpit bisa didengar ceritanya dari mitos bernama Kamang Paranso. Ia bungsu dari tujuh bersaudara. Ayahnya Kamang Layo, manusia setengah dewa. Senjata andalannya sumpit. Setiap orang Dayak yang membaca tariuh, nama Kamang Paranso selalu dipanggil. Tariuh adalah pemanggilan arwah melalui mantra, lagu atau tarian. Roh para arwah diharapkan dapat memberi kekuatan bagi pemanggilnya. Kamang Paranso bungsu dari tujuh bersaudara. Suatu hari, ketujuh bersaudara itu mencoba kesaktian. Saudara pertama memenggal kepalanya sendiri. Kepala jatuh dan menggelinding. Dengan kesaktiannya, kepala itu kembali lagi ke badan. Saudara kedua, ketiga, keempat, kelima dan keenam melakukan hal sama. Sukses. Giliran Kamang Paranso, kepala itu menggelinding dan jatuh dalam suatu lubang yang sangat dalam. Kepala tak bisa kembali lagi. Akhirnya, daripada tak berkepala, anjing pemburu milik saudara pertama dipotong dan disatukan ke tubuh Kamang Paranso. Jadilah Kamang Paranso manusi berkepala anjing hitam. Mitos sumpit lainnya dimulai saat cari bahan. Mencari bahan dilakukan pada bulan atau hari baik. Orang Dayak selalu mencari pertanda dari alam, binatang, mimpi dan lainnya. Pertanda alam misalnya tidak boleh pada bulan purnama. Sebab, akan membuat sumpit mudah dimakan lapuk. Pertanda binatang misalnya, burung keto, sejenis burung berkicau. Kalau ada suara itu, apalagi suaranya ramai dan tidak teratur, maka tidak boleh cari bahan. Hal itu pertanda tak baik. Setiap bunyi burung keto merupakan pertanda. Pertanda baik, suara lembut dan ada ritmenya. Pertanda buruk, suara riuh dan panik. Bagi para empu, membuat sumpit ada puasanya. Puasanya tak boleh berkata senonoh, sumpah serapah dan lainnya. Pantang makan dan minum berlebihan. Tak boleh makanan pantang. Misalnya, pakis, rebung, kundur, asam kandis, nangka and lainnya. Hewan pantangan misalnya, rusa, pelanduk, ular sawah, trenggiling, anjing, ikan tak bersisik, misalnya lele dan belut. Puasa pantang pada masa tertentu, saat buat senjata. Ada puasa tiga, tujuh atau 40 hari. Sumpit boleh dibuat siapa saja. Setidaknya sudah dewasa dan memenuhi usia kerja. Serta, menyatu dengan alam. Sebab, pembuatan sumpit serta anak sumpit berisiko. Usia dewasa menurut orang Dayak Kanayatn, sudah babalakn atau disunat. Kalau zaman dulu pernah kayau kepala orang, meski masih belasan tahun. Perempuan juga boleh membuat sumpit. Perempuan langka membuat sumpit, tapi diperbolehkan. Perempuan kalau dapat haid, tak boleh membuat senjata. Sumpit ada unsur magis. Sumpit tidak boleh diletakkan di bawah. Kuatir dilangkahi. Terutama oleh peremuan. “Karisma senjata itu akan hilang,” kata Samanyuk. Sumpit disauk atau dimandikan. Pada masa tertentu, bila pemilik senjata merasa ada firasat tak baik dalam mimpi, keluarga sering sakit-sakitan, maka orang itu melakukan ritual. Bisa dilakukan sendiri atau orang lain. Istilahnya, panyingahatn atau panyangatn. Mereka dianggap mampu melakukan ritual. Memberikan doa, ‘makanan’ atau merawat benda-benda sakral dan keramat. Termasuk gong, tempayan tua, pahar atau tempat meletakkan hasil kayau. Memandikan sumpit, harus menggelar ritual adat. Ada mantra, beras kuning, darah ayam jantan warna merah. Bagi generasi Dayak sekarang, sumpit tak sekedar kebanggaan. Ada nilai tradisi dan religi yang coba ditanamkan.*** Penulis: Muhlis Suhaeri

Leave a comment