Ruang Terbuka Hijau, Model Manusiawi Pembangunan Kota

25 Mei 2024 14:47 WIB
Dua anak remaja asyik bermain basket di Taman Catur Kota Pontianak. (Dok IP)

Setiap akhir pekan, ada yang khas dengan aktivitas warga di Kota Pontianak. Mereka memenuhi taman kota. Berolahraga atau sekedar jalan santai. Tak heran bila, Taman Alun Kapuas, Taman Digulis, Taman Rektorat Untan, Taman Catur, Taman Akcaya, dan lainnya. Warga memenuhi taman kota.

Taman kota atau ruang terbuka hijau menjadi ruang sosialisasi bagi penghuni kota. Ada interaksi terjalin dalam kehidupan sosial di perkotaan.

Karenanya, menjadi sangat penting, pemerintah mesti menyisihkan ruang terbuka hijau bagi kehidupan warganya.

Menurut UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, mensyaratkan perencanaan tata ruang wilayah kota, harus memuat rencana penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau.

Luas wilayah terbuka hijau, minimal sebesar 30 persen dari luas wilayah kota. Alokasinya, 10 persen untuk ruang terbuka hijau privat, dan 20 persen untuk publik.

Ruang terbuka hijau privat bisa berupa halaman bangunan. Misalnya, halaman rumah, kantor, sekolah, tempat ibadah, rumah sakit, hotel, stasiun, bandara, kawasan industri, dan pertanian kota.

Ruang terbuka hijau publik, biasanya berupa taman. Misalnya, taman rekeasi, lapangan olahraga, kota, dan pemakaman umum.

Ada jalur hijau (sempadan jalan, sungai, rel kereta api, saluran udara tegangan tinggi (Sutet). Juga terdiri dari hutan kota. Yaitu, hutan kota konservasi, wisata, industri).

Fungsi ruang terbuka hijau sangat bermanfaat bagi warga kota. Adanya ruang terbuka hjiau, membuat lingkungan kota yang mereka tinggali, menjadi lebih adem dan sejuk.

Apalagi Kota Pontianak yang terkenal dengan julukan “Kota Khatulistiwa”. Tepat berada di garis Khatulistiwa, membuat suasana kota selalu terasa panas bedengkang. Terik menyengat. Kehadiran taman kota, tentu saja turut membuat suasana kota menjadi lebih teduh.

Tak hanya menjadi ruang interaksi warga, taman kota turut menyerap polusi udara dari knalpot kendaraan, menyerap air hujan, dan fungsi pengendali lingkungan lainnya.

Munculnya kesadaran membuat kota nyaman ditinggali, ditengah gempuran gelombang urbanisasi, tak lepas dari perhatian para pihak.   

Eko Budiharjo dalam bukunya, Reformasi Perkotaanmenulis, gerakan Kota Hijau sejalan dengan gerakan Urbanisme Baru (New Urbanism) yang dirintis pada awal 1980-an oleh perencana kota dan arsitek seperti Andres Duany dan Elizabeth Plate-Zyberg.

Ada beberapa konsep kunci dianjurkan, untuk menangkal merebaknya kecenderungan urbanisasi.

Pertama, tata guna lahan kota yang menghargai alam, menjaga badan air, topografi, dan ruang terbuka.

Kedua, orientasi pada pejalan kaki (pedestrian) dengan pola lingkungan swasembada. Sehingga warga kota bisa berbelanja, berekreasi, bersekolah, bersosialisasi cukup dengan berjalan kaki saja.

Ketiga, pendayagunaan sistem transportasi umum terpadu, dilandasi prinsip Transit Oriented Development, dengan menempatkan kawasan pemukiman, perkantoran dan perdagangan, dekat dengan stasiun atau simpul jasa transportasi.

Keempat, memanfaatkan berbagai metode untuk memperlambat laju kendaraan, agar jalan raya menjadi lebih aman dan nyaman (traffic calming).

Kelima, intensifikasi penggunaan lahan agar kota menjadi lebih kompak, dengan prinsip-prinsip jamak polisentris atau multi center.

Satu hal mesti dipahami bersama, bahwa kunci dari semua pembangunan kota adalah, keterlibatan semua pihak. Saling terlibat dan berperan.

Semua pihak harus terlibat, terutama mendesakkan pentingnya ruang terbuka hijau, bagi kota tempat mereka tinggal. Hal itu bisa dimulai dari musyawarah rencana pembangunan (Musrembang).

Semua penghuni kota, tentu saja ingin merasa tinggal nyaman di kotanya. Berinteraksi dengan sesama penghuni kota.

Atau, berjalan dengan santai menyusuri taman atau jalan perkotaan. Semua itu menjadi sesuatu yang penting bagi warga kota. Ketika bertemu banyak orang dalam suasana santai, warga kota menjadi ramah dan bersahabat.

Karena itu, keberadaan taman kota, trotoar jalan, beserta ruang terbuka hijau jadi satu kesatuan.

Ketika warga berjalan menyusuri jalanan kota atau taman, warga kota menjadi lebih memahami realitas di dalam kota, dan tempat tinggal mereka. Taman menjadi ruang khalayak bagi publik.

Marco Kusumawijaya dalam bukunya, Kota Rumah Kita menuliskan, ruang khalayak adalah tempat kita bertemu dengan orang asing secara beradab. Ada dua jenis manusia asing.

Pertama, orang luar yang diketahui bukan “kami”. Kedua, orang yang tidak diketahui, entah siapa dan dari mana.

Karena itu, ruang khalayak yang sungguh-sungguh fisik tak tergantikan. Ruang ini memungkinkan warga mewujudkan dirinya dari waktu ke waktu, menjadi tubuh yang bagian-bagiannya saling kenal dan berhubungan.

Pada saat yang sama, ia juga melatih kepekaan masyarakat dalam menghargai keasingan dan kemajemukan. Yang tak tergantikan sebagai sumber inspirasi dan kekayaan masyarakat sehat.

Meski begitu, ruang terbuka atau taman kota, tak sepenuhnya dapat berfungsi dengan baik. Atau, menjadi ruang terbuka, dan menggugah kesadaran dan keterbukaan mereka, sebagai warga kota.

Cara mengukur keberhasilan ruang terbuka kota sangat sederhana. Yaitu, seberapa banyak dan kerap masyarakat menggunakannya.

Terutama adalah anak-anak, sebagai kelompok yang paling sering menggunakannya. Mereka harus dapat dengan aman mencapai taman-taman di dekat, atau dalam lingkungan pemukiman mereka.

Suatu sistem ruang terbuka hijau, seharusnya saling menghubungkan bagian-bagian kota, sebagai suatu kesatuan.

Ruang terbuka hijau harus dapat menjadikan ruang terbuka yang berkesinambungan, serta mudah dicapai khalayak.

Tak heran bila, orang Jepang tidak butuh rumah yang besar. Seluruh kota jadi rumah bagi mereka, dengan ruang-ruang publik yang ramah, dan secara menyambung dapat dimasuki, tulis Marco.

Penghuni dan para pemakai fasilitas kota, perlu menunjukkan bahwa mereka ingin ruang terbuka kota.

Lalu, memanfaatkannya dengan baik. Serta, secara berbondong-bondong menuntut kembali ruang-ruang terbuka tersebut. Menuntut akses yang nyaman dan aman, serta fasilitas berkualitas.

Merealisasikan gagasan Kota Hijau, perlu juga memahami konsep Pertumbuhan Cerdas, agar kota dapat berkelanjutan.

Konsep itu dipelopori antara lain oleh Portney, dalam bukunya, "Taking Sustainability Seriously”, bahwa, pembangunan kota seharusnya memperbaiki mutu hidup warga atas nama peradaban umat manusia. Keterkaitan yang kental antara warga dan kotanya, bisa diibaratkan seperti kerang dan cangkang.

Hubungan itu mesti saling meneguhkan. Kuat namun lentur. Ada interaksi antara sesama penghuni warga kota. Penghuni kota dan tata pemerintahan. Serta, penghuni kota dengan alam yang menjadi tempat tinggal mereka.

Lalu, bagaimana dengan taman kota era pemerintahan Wali Kota Edi Rusdi Kamtono saat ini? Ya, Anda silakan isi waktu dengan jalan-jalan dan olahraga pagi di taman kota tersebut. Yang bakal Anda saksikan, pasti wajah-wajah yang sumringah dan tawa lepas.***


Penulis : Muhlis Suhaeri (CEO Insidepontianak.com)
Editor : Abdul Halikurrahman

Leave a comment