Antologi Penyair Dua Negara dan Plasa Kebebasan Pers Chile
Selama ini belum banyak program residensi yang langsung menggarap kolaborasi karya antar negara. Baik itu sebagai bentuk diplomasi kebudayaan, maupun upaya memperluas jejaring melalui karya kolaboratif.
Di dunia yang tengah dilanda gelombang perubahan, tentulah dibutuhkan refleksi bersama bertema kemanusiaan tentang perubahan-perubahan yang terjadi saat ini.
Gagasan inilah yang saya lontarkan dalam rangkaian pertemuan dan diskusi dengan penulis dan sastrawan Chile, yaitu Elizabeth Manosalva, Leonara Diaz, Jorge Albornoz, Ullyses Mora dan Carolina Carvacho Fernández. Mereka merupakan anggota Asosiasi Penulis Chili (Asociacion Escritores Chile).
Agenda pertemuan membahas program kolaborasi dan rencana publikasi hasil kerjasama. Agenda residensi lainnya, mempelajari museum-museum di Santiago dan sekitarnya, serta studi banding ke Pusat Kebudayaan Gabriela Mistral, peraih nobel bidang sastra.
Pertemuan pertama dengan para penulis Chile berlangsung di sebuah cafe di kawasan Providencia, sebuah daerah mirip Menteng di Jakarta yang dipenuhi perkantoran, kafe-kafe, toko buku, taman yang dihiasi puluhan karya seni patung dan karya instalasi. Juga gedung-gedung tinggi termasuk mall.
Menurut Ramiro Catalan, seorang warga kota Santiago, taman itu sekaligus menjadi semacam museum seni di tempat terbuka. Ada sekitar lebih dari 15 karya seni patung dan instalasi yang menghiasi taman itu.
“This is like kind of open space art museum, a lot of people spend time together there,” tutur Ramiro.
Dukungan Duta Besar Indonesia untuk Chile
Upaya mewujudkan karya kolaborasi penyair Indonesia dan Chile, mendapat dukungan penuh dari Duta Besar Indonesia untuk Chile, Mohammad Anshor. Salah satu bentuk dukungan itu, memfasilitasi pertemuan kedua dengan para penulis Chile di Wisma Indonesia. Dalam dinner meeting itu, Mohammad Anshor memberikan sambutan dan apresiasi pada para penulis yang telah antusias berpartisipasi.
“Chilean and Indonesian poets need to have creative encounters and productive collaboration to explore different problems, experiences, perspectives and insights related to common issues faced the people in both countries,” ujar Mohammad Anshor pada para penulis malam itu.
Koordinasi dengan para penulis Chile yang beberapa tinggal di luar kota Santiago, antara lain Jorge Albornos dan Elisabeth Manosalva, juga mendapat bantuan dari lokal staf Kedutaan Besar Indonesia untuk Chile.
Hasil diskusi pertemuan kedua telah mengerucut menjadi sebuah frame work yang disepakati para penulis. Tema utama, deadline penulisan dan penerjemahan, sampai rencana launching buku antologi penyair di dua negara, berhasil disepakati dan dirumuskan oleh para penyair setelah berdiskusi seru.
“The main theme for the poems is reflection about humanity in term of social, political, economy and cultural relations among people, among nations. What kind of relations we should create for our future to strengten our existence as human being and to build peace and harmony while humanity seems threaten by artificial intellegent, information technology and bio technology.”
Demikian antara lain hasil perumusan tema yang menurut Mohammad Anshor, juga tepat mengingat berbagai keterbatasan yang ada.
Plasa Kebebasan Pers Santiago
Di tengah proses rangkaian diskusi, saya dan Afnan Malay mendapatkan berbagai informasi dari para penulis Chile tentang berbagai aspek kehidupan, karakter, situasi politik terkini dan juga tempat-tempat menarik di kota Santiago yang penting untuk dikunjungi.
Salah satunya, Plasa Kebebasan Pers di pusat kota Santiago. Tempat ini aslinya bernama Plaza Baquedano. Kemudian dinamakan Plaza de la Dignidad atau Plaza Kebebasan Pers, karena terbunuhnya seorang reporter bernama Fransisca Sandoval. Jurnalis itu ditembak di bagian kepala, saat meliput aksi massa pada hari buruh internasional.
Pembunuhan dramatik itu tentu saja memicu kemarahan publik, terutama di kalangan mahasiswa jurnalistik dari berbagai kampus di Santiago dan kota-kota lain di Chile. Fransisca sempat dilarikan ke rumah sakit dan berada dalam kondisi kritis selama 12 hari, sebelum meninggal dunia.
Publik yang berduka dan marah, kemudian memperingati kematiannya di Plasa Kebebasan Pers dengan membawa bunga dan menyalakan lilin setiap tanggal 13 Mei. Dalam kejadian itu, selain Fransisca, banyak jurnalis lain terluka oleh kesewenang-wenangan aparat keamanan, namun tidak sampai meninggal dunia.
Saya dan Afan Malay, ditemani mahasiswa asal Indonesia yang kuliah di Santiago jurusan arsitektur, Annesi Nur Madina, mengunjungi Plasa Kebebasan Pers pada sebuah siang yang panas. Beberapa anak muda, mungkin mahasiswa, nampak duduk di bangku-bangku taman kecil di plasa kebebasan pers.
Tempat itu teduh dan sejuk. Beberapa pohon besar, tumbuh menaungi taman. Sebuah air mancur berukuran sedang, menjadi tempat bermain anak-anak kecil siang itu.
Di depan gedung utama, sebuah banner pameran foto yang baru saja usai, masih terpasang di dekat pintu masuk. Di seberang gedung, terdapat sebuah kedai kopi kecil. “Di sebelah kedai itu adalah kantor serikat buruh,” tutur Annesi.
Sambil duduk-duduk di taman Plasa Kebebasan Pers, saya terkenang semua pengalaman saya sebagai jurnalis yang mulai berkiprah di era rezim Orde Baru. Saya merasakan, bagaimana kebebasan pers sangat dikekang dan menjadi suatu kemewahan bagi para jurnalis generasi 1980an sampai 1990an.
Saat itu, banyak jurnalis kemudian menjadi sastrawan dan penyair, sebagai solusi untuk mensiasati rezim yang memberangus kebebasan pers. Saya termasuk yang memilih jalan itu.
Dan kini, sekian belas tahun kemudian, di Plasa Kebebasan Pers ini, saya bersyukur akan bisa berkolaborasi mewujudkan sebuah antologi puisi bersama para penyair Chile.***
Penulis: FX Rudy Gunawan
Penulis : admin
Editor :
Leave a comment