Usia Gereja Merah Kota Probolinggo Hampir Dua Abad, Monumen Sejarah Ummat Kristiani yang Tetap Kokoh Berdiri

3 Maret 2024 09:29 WIB
Ilustrasi
PROBOLINGGO, insidepontianak.com – Gereja Merah merupakan tempat ibadah dan monumen sejarah Kota Probolinggo yang kini masih eksis dan berfungsi bagi umat kristiani. Gereja Merah yang berada di Kota Probolinggo sendiri memang memiliki warna yang berbeda dari gereja lainnya. Catnya mencolok dan cantik, paduan dinding merah dan atap genteng cokalat mengkilap jadi pusat perhatian. Kini, Gereja Merah yang berada di Kota Probolinggo ini menjadi salah satu tempat ibadah yang paling tertua. Sebab, usianya hampir menginjak dua abad semenjak dibangung pertama kali. Karena dirintis oleh pemerintahan kolonial Belanda, arsitektur bagian dalam atau luarnya mengambil tema Eropa. Meski mengalami beberapa kali renivasi, keautentikannya masih tetap terjaga. Sebenarnya terdapat tiga hal yang membuat gereka ini ramai dikunjungi oleh kalangan banyak, tidak pandang bulu jenis agama yang dianut. Pertama, karena warnanya sangat mencolok dan cantik sehingga menjadi spot yang instagramabel. Kedua, arsitek gereja yang bergaya khas benua Eropa. Terakhir, karena mengandung sejarah yang sangat mendalam. Bila kembali ke masa pra kemerdekaan Indonesia, Gereja Merah dibangung tepat apda tahun 1862 Masehi. Kala itu, pemerintah kolonial Belanda menguasai seantero Nusantara, termasuk Kota Probolinggo. Adapun faktor pembangunannya karena untuk memfasilitasi kegiatan spritual ummat kristiani di masa itu. Mereka tergolong dari rakyat Indonesia yang mengalami hukuman buangan, atau asli warga lokal. Di masa itu, terdapat program kolonial berupa taman paksa (Cultur Stesel). Masyarakat asli Probolinggo ataupun tahanan buangan dari Timur Indonesia menjadi tenaga kerja di perkebunan tebu. Mengingat kebanyakan orang Timur Indonesia beragama kristen, barulah tercetus proyek pembangunan sebuah gereja dengan bentuk yang sederhana. Adapun bahan konstruksi bangunannya terbuat dari baja dan besi. Teknologi yang digunakan berupa sistem knock down, sehingga gereja dapat dibongkar dan dipasang kembali dalam waktu singkat. Sistem knock down ini sendiri pada abad ke-19 M dipelopori oleh Negara Jerman. Tak ayal, Belanda juga ikut mengikutinya demi biaya lebih murah namun bangunannya tetap kokoh. Prosesnya sendiri terjadi di bawah pemerintahan Meijer Bupati pertama Kota Probolinggo. Lahannya cukup luas, yakni berdiri di atas hamparan tanah 500 meter persegi. [caption id="attachment_28177" align="alignnone" width="720"]Ruang inti dan furniture interior Gereja Merah. (Foto: Dewanta Pramayoga / Google Map) Ruang inti dan furniture interior Gereja Merah. (Foto: Dewanta Pramayoga / Google Map)[/caption] Pada masa pemerintahan Belanda, praktek ritual keagamaan biasanya dilakukan dengan dua bahasa yang berbeda. Bagi masyarakat pribumi, mereka hanya ikut berucap saat bahasa Melayu dan diam ketika bahasa Belanda menggema. Memasuki pertengahan Perang Dunia II, tentara sekutu yang di dalamnya terdapat Belanda mengalami kekalahan. Sehingga mereka menarik mundur pasukan, serta pemernitahan jajahan tidal stabil. Masa transisi kolonialisme di Indonesia kini beralih ke tangan tentara Jepang. Di masa itu, Gereja Merah tidak beroperasi sebagaimana mestinya melainkan dijadikan gudang persenjataan oleh pasukan Nippon. Barulah ketika Indonesia meraih tiket kemerdekaan secara mandiri, gereja umat kristiani Protestan ini pun kembali ke jati dirinya sebagai tempat ibadah. Adapun lokasinya berada di Jl. Suroyo No. 32 di tengah Kota Probolinggo. Gereja Merah juga mempunyai nama resmi, yaitu Gereja Protestan di Bagian Barat (GPIB) Immanuel. (Dzikrullah) ***
Penulis : admin
Editor :

Leave a comment