Denny JA Tawarkan Cara Pandang Baru Hubungan Antarumat Beragama, Buku "Agama di Era Google" Dibedah di Pesantren Mahasiswa Universal Bandung
BANDUNG, insidepontianak.com - Denny JA menawarkan cara pandang baru dalam hubungan antarumat beragama.
Cara baru itu adalah, melihat ajaran agama sebagai warisan kultural milik umat manusia, dalam hubungan antarumat beragama.
Melalui cara pandang baru itu, diharapkan hubungan antarumat beragama menjadi lebih baik.
Dalam cara itu, lagu Ya Lal Wathon dan salawat bergema di Aula Pondok Pesantren Mahasiswa Universal, Bandung. Sebelumnya, para mahasantri (sebutan untuk para mahasiswa/i yang mondok di pesantren tersebut), dengan khidmat menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya.
Itu adalah rangkaian acara pembukaan untuk mengawali diskusi buku berjudul Era Ketika Agama Menjadi Warisan Kultural Milik Bersama: Sembilan Pemikiran Denny JA soal Agama di Era Google (2023) karya Ahmad Gaus AF, di aula Pesantren Universal, Jumat malam, 9 Juni 2023.
Muhamad Maksugi dari UIN Bandung yang mendampimgi Ahmad Gaus sebagai pembicara malam itu mengatakan bahwa mahasiswa adalah harapan bagi tumbuhnya lapisan generasi masa depan yang akan membawa atmosfer baru dalam kehidupan beragama.
Gagasan Denny JA dalam buku yang sedang didiskusikan ini dapat menjadi pegangan untuk membangun atmosfer tersebut. Sebab, ia menawarkan pandangan baru dalam melihat hubungan antaragama di Indonesia.
“Pemikiran Denny JA bahwa agama-agama adalah warisan kultural milik bersama umat manusia, memberi tawaran baru tentang bagaimana kita memperlakukan agama-agama yang lain di luar agama kita sendiri,” tegas Maqsugi yang mengaku sering membaca karya-karya Denny JA dalam bentuk puisi.
Anggota pembina dewan santri Universal yang juga pegiat sastra itu menjelaskan bahwa pandangan keagamaan Denny JA sejalan dengan misi Pesantren Universal yang menerapkan sistem pendidikan transformatif-emansipatoris berbasis empati, toleransi, semangat perubahan dan pemberdayaan yang berorientasi mewujudkan kemashlahatan universal.
Suasana diskusi yang dihadiri 200-an mahasantri itu tiba-tiba hening. Seorang perempuan naik ke atas panggung. Dan dengan suara bergetar ia melantunkan bait-bait puisi.
*Dengan pena, ditulis namanya di kertas
Belum lengkap tertulis, lalat mengerubung tulisan itu
Dengan kapur, ditulis namanya di batu
Belum lengkap tertulis, lalat kembali mengerubung tulisan itu.
Dengan ranting, ditulis namanya di pasir
Belum lengkap tertulis,lalat juga mengerubung tulisan itu."
Penggalan puisi berjudul "Cinta Tuhan Semata" itu adalah karya Denny JA, yang dibacakan oleh Azmi Zahraturrihani, mahasiswi Jurusan Tasawuf Psikoterapi, UIN Sunan Gunung Djati, Bandung, yang juga mahasantri di Pesantren Universal. Puisi itu berkisah tentang cinta tanpa pamrih ala sufi Rabiah Adawiyah kepada Tuhan.
Azmi tampaknya sengaja memilih puisi itu untuk mengimbangi topik diskusi yang cenderung ke arah tasawuf dan teologi.
Perspektif yang Mencerahkan
Dalam pemaparan bukunya Gaus mengatakan, rumusan Denny JA bahwa agama-agama adalah warisan kultural milik bersama umat manusia, bukan sekadar retorika keagamaan melainkan sebuah pencerahan yang benar-benar dibutuhkan saat ini.
Rumusan itu sangat kuat. Rumusan itu mengubah perspektif tentang hubungan antaragama yang selama ini cenderung dilihat dalam bingkai teologi atau keimanan.
"Rumusan itu mampu menerobos tembok pembatas antaragama yang sudah terbangun berabad-abad,” tegas penulis yang juga peneliti dari CSRC UIN Jakarta tersebut.
Sejarah agama, lanjutnya, didikte oleh teologi eksklusif yang menyingkirkan orang lain. Memandang yang lain sebagai musuh abadi yang harus dimusnahkan.
Maka, lahirlah teologi kebencian yang dipeluk bukan hanya oleh kaum ekstremis dan teroris melainkan juga oleh mereka yang mendukung dan mengamini secara diam-diam tindakan para teroris itu.
Menurut Gaus, teologi kebencian tertanam sangat dalam di lubuk hati para pemeluk agama ketika berhadapan dengan pemeluk agama lain. Kekerasan atas nama agama, termasuk perang dan terorisme, adalah perwujudan sejati dari teologi kebencian ini.
Maka kaum sekular dan ateis menuduh agama bertanggung jawab atas berbagai kekerasan berdarah di muka bumi.
Untuk keluar dari jebakan teologi kebencian ini, lanjutnya, tidak mudah karena jeratnya sudah terpasang di mana-mana: keluarga, lingkungan, tempat ibadah, sekolah, dll. Itu pula yang memicu konflik dan permusuhan atas nama agama.
Padahal agama-agama secara inhern dalam dirinya mengandung ajaran kasih sayang dan perdamaian. Seharusnya itu menjadi argumen untuk keluar dari jebakan teologi kebencian.
Maka, rumusan Denny JA bahwa agama-agama adalah warisan kultural milik bersama umat manusia, sangat penting karena menjadi argumen untuk keluar dari jebakan teologi kebencian tersebut.
"Sekaligus menjadi seruan kepada setiap pemeluk agama untuk memandang agama dan tradisi keimanan yang lain sebagai miliknya juga. Sebab sejarah agama dibentuk oleh kita bersama, manusia dan peradabannya,” pungkas Gaus.
Acara yang dimulai pukul 20.00 WIB itu berakhir pada pukul 23.30 WIB. Banyak pertanyaan dan komentar dari para peserta sehingga acara berlangsung lebih dari 3 jam.
Sembilan Pemikiran Denny JA
Buku “Era Ketika Agama Menjadi Warisan Kultural Milik Bersama: Sembilan Pemikiran Denny JA Soal Agama di Era Google., diterbitkan oleh Cerah Budaya Indonesia (CBI), Maret 2023.
Di dalamnya terdapat sembilan bab yang masing-masing membahas mengenai aspek-aspek pemikiran Denny JA seputar femomena agama mutakhir dan spiritualitas, yakni: Bab 1, Iman Berbasis Riset. Bab 2, Manusia: Dengan atau Tanpa Agama. Bab 3, Kitab Suci di Abad 21. Bab 4, Moderasi Beragama dan Kesetaraan Warga. Bab 5, Hijrah Menuju Demokrasi. Bab 6, Perebutan Tafsir Agama. Bab 7, Menggandeng Sains dan Jalaluddin Rumi. Bab 8, Spiritualitas Baru Abad 21, dan Bab 9, Agama: Warisan Kultural Milik Bersama Umat Manusia.
Gaus juga meringkas pemikiran Denny JA seputar agama di era Google dalam sembilan butir sbb:
1. Pentingnya pendekatan kuantitatif untuk membuat perbandingan soal peran agama di masyarakat.
2. Para arkeolog berjasa mengkonstruksi ulang kisah agama.
3. Setelah Nabi tiada, tiada pula tafsir tunggal agama. Yang tersisa adalah perebutan tafsir. Penting kita memilih tafsir yang sesuai dengan prinsip HAM.
4. Muslim Eropa memgembangkan tafsir Islamnya sendiri yang sesuai dengan kultur Eropa. Kita pun di Indonesia tak perlu terikat dengan tafsir kultur Timur Tengah.
5. Bagi yang tak meyakini agama, agama dapat dinikmati sebagai sastra. Apa yang terjadi pada kitab suci La Galigo dapat juga terjadi pada agama lain.
6. Pentingnya mencari intisari semua agama berdasarkan the science of happiness dan neuro science. Denny JA mengembangkan spirituality of happiness.
7. Mendekati agama sebagai kekayaan kultural milik bersama. Merayakan hari besar agama lain sebagai social gathering lintas agama.
8. LGBT sebagai isu HAM masa kini. Pentingnya mengembangkan tafsir agama yang tidak mendiskriminasi kaum LGBT.
9. Perlunya menggandeng Science dan Jalaluddin Rumi.
Itulah ringkasan sembilan pemikiran Denny JA dari sembilan esai dalam buku yang ditulis oleh Ahmad Gaus. Namun menurutnya, ia tidak mengklaim bahwa sembilan butir itu mewakili seluruh pemikiran Denny JA yang tersebar dalam ratusan karyanya.
Buku ini hanya diniatkan untuk menyorot aspek-aspek pemikiran Denny JA yang terpenting, yang terkait dengan agama dan spiritualitas.
Dan, ujar Gaus lagi, di antara pemikiran Denny JA yang terpenting dan sangat dibutuhkan saat ini ialah pandangannya bahwa agama perlu didekati sebagai kekayaan kultural milik bersama umat manusia.
Pandangan semacam ini menjadi modal sosial dan modal kultural untuk membangun masyarakat yang damai dan toleran.***
Penulis : admin
Editor :
Penulis : admin
Editor :
Tags :
Berita Populer
9
Leave a comment