Pulau Gelam Ditambang, Penyu Menghilang (Bagian 1)
September 2022, Yayasan Webe Konservasi Ketapang menemukan cangkang telur penyu yang rusak tak jauh dari bekas galian berbentuk lubang di Pulau Gelam, Desa Kendawangan Kiri, Kecamatan Kendawangan, Ketapang, Kalbar. Walau jumlahnya tak banyak, namun Webe meyakini itu adalah sisa dari serpihan telur penyu yang gagal menetas.
WATI SUSILAWATI
Temuan cangkang telur penyu di pasir Pulau Gelam membuktikan keberadaan penyu makin sulit berkembang biak. Apalagi keberadaan alat berat untuk kegiatan penambangan hingga logam sisa galian tambang membuat penyu sulit naik ke daratan pulau.
Pada Tahun 2021 terbit izin tambang di Pulau Gelam. Diberikannya izin bisa membuat kelestarian pulau itu terancam. “Bukan bisa, tapi sudah. Buktinya itu tadi temuan cangkang telur penyu di Pasir Pulau Gelam,” kata Ketua Yayasan Webe Ketapang Setra Kusumardana.
Pulau Gelam termasuk pulau kecil dengan luas 28.000 M2 atau 28 Km2. Pulau Gelam merupakan bagian zona Kawasan konservasi Kendawangan, Kabupaten Ketapang sesuai Rencana Pengelolaan dan Zonasi (RPZ) Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Taman Pulau Kecil Kendawangan Kabupaten Ketapang tahun 2019 dan diterbitkan tahun 2020.
Pulau Gelam dalam data kependudukan setempat sudah tidak ditinggali. Penduduk sebelumnya pindah ke pulau lain, seperti Pulau Cempedak, Pulau Gambar hingga Pulau Bawal. Tak jauh jaraknya antara satu pulau ke pulau lain.
Sejumlah pulau di konservasi Kendawangan jadi tempat habitat penyu. Termasuk Pulau Gelam dan Pulau Cempedak. Di sana selain penyu juga jadi rumah hidup bagi dugong, padang lamun hingga bentangan mangrove di kawasan pesisir pulau tersebut.
Karena itu, kawasan konservasi Kendawangan dikukuhkan sebagai satu dari lima kawasan konservasi yang ada di Kalbar sejak tahun 2020 lalu. Kawasan konservasi lainnya adalah Taman Pulau Kecil Pulau Randayan (Bengkayang), Taman Pesisir Paloh (Sambas), Taman Pesisir Kubu Raya hingga Kawasan Konservasi Perairan Kubu Raya dan Kayong Utara. Mencakup mencakup Pulau Gelam.
Penetapan itu tertuang dalam Keputusan Gubernur Kalimantan Barat No. 193/DKP/2017 tentang Pencadangan Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil di Provinsi Kalimantan Barat.
Kemudian dikuatkan dengan terbitnya Peraturan Daerah No. 1 Tahun 2019 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Provinsi Kalimantan Barat 2018-2038.
Keberadaan dua perusahaan tambang PT Sigma Silica Jayaraya dan PT Inti Tama Mandiri membuat penyu dan habitatnya makin terancam. Reptil dilindungi ini ‘terjepit’ antara keinginan tetap bertahan di sana atau harus pindah. Memilih mengalah dan tergusur oleh kepentingan pemilik modal.
Penyu dan Nasib Nelayan
Pulau Gelam diketahuai adalah bagian dari gugusan pulau-pulau kecil di Kecamatan Kendawangan. Kecamatan itu terdiri 32 pulau, 4 diantaranya berpenghuni dan 28 lainnya tidak berpenghuni. Jaraknya tak jauh dari Pulau Gelam.
Di sana, kami bertemu dengan sejumlah penduduk yang berprofesi sebagai nelayan. Menariknya, banyak dari mereka dulunya pemburu penyu. Namun, setelah penyu dilarang diburu mereka pun menjadi nelayan penangkap ikan.
Faktanya, baik Pulau Cempedak dan Pulau Gelam menurut laporan Yayasan Webe jadi tempat singgah penyu untuk bertelur dan mencari makan. Ini diperkuat oleh keterangan warga setempat.
Jenis penyu hijau (chelonia mydas) dan penyu sisik (Eretmochelys imbricate) kerap ditemukan di pulau-pulau dengan pasir putih di Kalbar. Penyu hijau tercatat menjadi penghuni tetap sejak lama, terutama untuk bertelur di pulau itu.
Tidak ada data resmi Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kalbar berapa jumlah pasti populasi penyu hijau dan penyu sisik di Pulau Gelam. Namun dari keterangan nelayan, penyu bisa ditemui di sekitaran pulau-pulau kecil perairan Kendawangan. Seperti Pulau Gelam, Pulau Cempedak, Gambar, Pulau Bawal hingga Pulau Penabung.
Tim liputan bertemu Salmin. Pria 41 ini merupakan penduduk Pulau Cempedak. Ia mencari ikan di sekitaran Pulau Gelam.
Pulau Gelam menjadi salah satu area pencarian ikan favorit Salmin dan nelayan lain. Potensi besar lobster, rajungan (sejenis kepiting air laut) hingga ikan popular (baronang, bawal, dll) gampang ditemukan dengan jumlah besar.
Sementara untuk penyu masih bisa ditemukan di perairan Kendawangan. Penyu terbanyak menurut Salmin ada di Pulau Cempedek. Untuk Pulau Gelam, penyu hanya bisa ditemukan diperairannya saja.
Tak hanya penyu, dugong juga hidup disekitaran Pulau Gelam. Namun, tak banyak memang penyu ‘mendarat’ di Pulau Gelam dalam beberapa tahun ini. Apalagi kata nelayan sejak adat alat-alat tambang, penyu tak pernah terlihat sama sekali.
Bisa dikatakan penyu-penyu makin sulit ditemukan di Pulau Gelam. Bahkan, dulunya sering naik ke daratan pulau, kini hampir tak ada penyu membuat sarang di pulau tersebut.
Tim juga menjumpai Arsyad (47). Arsyad dulu pemburu penyu. Area pencariannya hampir di seluruh perairan Indonesia. Saat itu, belum ada regulasi pelarangan penangkapan penyu. Perairan Ketapang salah satu area penyu biasanya berkumpul. Terutama di sekitaran pulau-pulau kecil, Pulau Gelam salah satunya.
Ia sangat tahu di mana dan jalur mana biasanya penyu Pulau Gelam berada. Sebelum perusahaan masuk, penyu kerap lalu lalang dan naik ke Pulau Gelam dan sekitarnya. Jika ditanya apakah ada sarang penyu di Pulau Gelam, Arsyad dengan tegas menjawab tidak ada lagi.
Ia sangat tahu kondisi di sana. Jika ia melaut, ia bersama anak istrinya menginap di Pulau Gelam. Menghabiskan waktu berhari-hari di pulau itu. Ia ‘menunggu’ ikan berkumpul di malam hari.
Pulau Gelam dan sekitarnya masih menjadi tumpuan warga pulau sekitar, seperti Pulau Cempedak dan Pulau Bawal yang berprofesi sebagai nelayan. Salmin maupun Arsyad resah saat tambang dikabarkan akan segera melakukan eksploitasi masif..
Mereka tahu bahwa aktivitas tambang sarat akan bahayan limbah yang bisa mencemari laut. Kekhawatiran Arsyad dan Salmin cukup beralasan. Mereka adalah nelayan yang menggantungkan nasib hidupnya di perairan Kendawangan untuk menyambung hidup usai tak lagi menjadi pemburu penyu. Mereka beranggapan jika tambang melakukan ekploitasi di Pulau Gelam, area mata pencarian akan tergerus.
“Habis sudah,” ucap mereka.
Tambang dan Habitat Penyu
Tahun 2021, dua perusahaan tersebut memperoleh izin ekplorasi pasir kuarsa secara resmi dari pemerintah pusat.
Jika tak ada kendala, dua perusahaan itu kabarnya segera meningkatkan kegiatan tambangnya menjadi eksploitasi lebih lanjut. Meski banyak penolakan, hingga ancaman lingkungan dan sosial yang ditimbulkan maupun yang bisa terjadi. Laporan warga pun menyebut aktivitas tambang masih berlangsung hingga saat ini.
Di satu sisi, Pulau Gelam merupakan tempat hidup satwa dan habitat yang dilindungi, salah satunya penyu hijau dan sisik. Ini sesuai Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Ada juga Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Tumbuhan dan Satwa Liar. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor : P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/ 12/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa Yang Dilindungi.
Demikian juga dengan Surat Edaran Kementerian Kelautan dan Perikanan Nomor: SE.526 Tahun 2015 mengatur tentang Pelaksanaan Perlindungan Penyu, Telur, Bagian Tubuh dan/atau Produk Turunannya.
Berbagai pihak menyuarakan protes karena khawatir tindakan pengerukan berlebihan akan membuat habitat dan ekosistem yang ada di Pulau Gelam hancur. Banyak pihak pun menyayangkan lolosnya izin tambang oleh pusat tanpa kajian mendalam.
Jika penambangan tidak di stop dan terus berlanjut beroperasi, Pulau Gelam dan penghuninya akan tinggal nama.
Banyak upaya dilakukan untuk melindungi ekologi dan habitat di Pulau Gelam. Dari mulai aduan, petisi hingga laporan ke Polda Kalbar untuk membuat tambang tidak lagi beroperasi.
“Ini upaya masyarakat dan yayasan untuk menghentikan tambang itu,” ucap Setra.
Dalam faktanya, habitat penyu makin tahun makin menipis. Ini berakibat jumlah reptile ini makin berkurang. Penyu hijau misalnya. Dalam penelitian Wawan Kurniawan, Erianto, Iswan Dewantara yang diterbitkan di Jurnal Hutan Lestari (2020) menyebutkan populasi penyu hijau terus menurun .
Salah satu penyebabnya adalah banyaknya vegetasi yang rusak sehingga penyu enggan mau mendarat untuk bertelur. Padahal, area hidup penyu ini harus stabil.
Dalam penelitian itu mencatat habitat peneluran penyu hijau tidak boleh rusak, baik fisik dan morfologi penyusun pantainya. Ekosistem pantai tempat peneluran penyu harus terjaga karena secara tidak langsung akan berpengaruh pada proses perkembangbiakan penyu.
Bisa dibayangkan jika habitat mereka rusak oleh eksploitasi tambang, maka proses pembuahan dan bertelur akan sulit. Kebingungan ini yang akan menimpa psikologis penyu hijau saat hendak bertelur dan menciptakan generasi tukik untuk keberlangsungan ekosistem alam.
Kepunahan Mengintai
Yayasan Webe Ketapang mencatat pergerakan migrasi penyu dari sekitar pulau-pulau kecil di kawasan konservasi Kendawangan cukup massif mengingat kondisi alam yang masih stabil.
Namun, kondisi ini akan berubah seiring adanya aktivitas komersil yang merusak. Webe mencontohkan, kepunahan penyu di Pulau Bawal. Dulu, Pulau Bawal jadi pusat penyu diantara pulau-pulau di Kawasan konservasi. Namun, sejak masuk perusahaan sawit dan invasi besar-besaran, keberadaan penyu di sana tinggal nama.
Webe khawatir hal sama juga akan berlaku di Pulau Gelam. Pulau Gelam kaya akan pasir kuarsa. Izin dua perusahaan untuk bisa melakukan kegiatan tambang akan merugikan habitat yang hidup di sana.
Untuk mengungkap sejauh mana ancaman keberadaan tambang, saya menemui Dosen Ilmu Kelautan Ketua Jurusan Kajian Hosenografi Pesisir MIPA Universitas Tanjungpura, Arie Antasari Kushadiwijayanto.
Ia menegaskan, kegiatan seperti pertambangan rentan merusak kondisi lingkungan, tak terkecuali perairan dan ekologinya.
Kata dia, kawasan perairan Kendawangan Ketapang mirip dengan kawasan lain di Kalbar seperti Kota Pontianak, Mempawah, Sambas masih baik mengingat aktivitas dan jumlah penduduk tidak terlalu banyak seperti kondisi di Pulau Jawa.
Sementara jika ditarik lebih spesifik untuk Pulau Gelam tak jauh berbeda jika itu berkutat terhadap aktivitas warga setempat. Namun, akan berbeda jika ada kegiatan komersil, seperti pertambangan dan sawit.
Arie menuturkan, kondisi terganggu hingga bisa berbahaya jika ada kegiatan yang mengganggu aktivitas ekologi, apalagi di zona inti maupun perairan sekitar.
“Karena belum ada penelitian di sana, kita tidak tahu dampaknya. Pelepasan zat-zat radioaktif seperti apa. Tapi, diri banyak kasus yang ada tentu akan berbahaya jika ada sedimen yang dihasilkan akibat kegiatan pertambangan maupun sawit,” terang dia.
Meski hal itu pun harus dilihat cara yang dilakukan perusahaan saat melakukan aktivitas kerja atau jika itu kasus tambang. Paling dikhawatirkan dari tambang adalah materi limbahnya.
“Adanya pelepasan sedimen ke laut dari pengolahan, logam-logam berat yang melebihi ambang batas dan itu jelas membahayakan ekosistem di sana jika masif aktivitas tambangnya,” terang dosen aktif ini.
Untuk tahu lebih jelas kondisi ekologi Pulau Gelam terbaru, perlu penelitian lebih lanjut. Kelemahannya saat ini adalah penelitian tentang kawasan Konservasi Kendawangan, terutama Pulau Gelam yang kontroversi belum dilakukan.
“Kondisi yang paling terasa jika sedimen berbahaya masuk ke laut dan mengotori kawasan di sana, yang paling terasa adalah lingkungan ekosistem dan bahkan menyebabkan kematian terumbu karang, padang lamun hingga hewan yang ada di sana meski tergantung banyak atau tidaknya, terutama di Pulau Gelam itu,” paparnya.
Dampak lain eksploitasi tambang terhadap kawasan konservasi adalah keseimbangan yang ada. Daya dukung lingkungan akan turun, penghasilan masyarakan terdampak karena ada sebagian masyarakat menggantungkan penghasilan mereka.
Dalam pola penelitian, kondisi biofisik dan biota dan perubahan lingkungan yang terjadi di Pulau Gelam akan menjadi prioritas. Kondisi awal sebelum dan sesudahnya pun harus jelas dalam laporan penelitian.
Ketika kawasan konservasi sudah ditetapkan, maka seharusnya tidak diperbolehkan ada kegiatan komersialitas yang bisa merusak ekosistem kawasan, seperti tambang yang sekarang menguasai Pulau Gelam.
Arie pun menekankan isu Pulau Gelam ini harus dikawal baik-baik karena ‘ngeri’ jika aktivitas massif tambang. Tak hanya penyu dan dugong yang akan hilang tapi seluruh ekosistem semua akan punah.
Ia tidak bisa membayangkan seperti apa kerusakan lingkungan yang bisa diakibatkan tambang di Pulau Gelam.
Investigasi ini merupakan hasil kolaborasi Pontianak Post, Iniborneo.com, Suara.com, RRI Pontianak, Insidepontianak.com, Mongabay Indonesia dan Projeck Multatuli yang didukung oleh Jurnalis Perempuan Khatulistiwa, Yayasan WeBe, Hijau Lestari Negeriku, dan Garda Animalia melalui Bela Satwa Project
Penulis : admin
Editor :
Leave a comment