Teraju Indonesia Kritik Negara yang Klaim Hutan Milik Rakyat, Tapi Buka Ruang untuk Tambang dan Sawit

18 Desember 2025 17:01 WIB
Direktur Eksekutif Teraju Indonesia, Agus Sutomo/ist

KUBU RAYA, insidepontianak.com – Direktur Eksekutif Teraju Indonesia, Agus Sutomo, membongkar paradoks kebijakan kehutanan pemerintah yang di satu sisi mengklaim akan mengembalikan hutan kepada rakyat, namun di sisi lain justru membuka ruang luas bagi industri ekstraktif di kawasan hutan, seperti tambang dan kelapa sawit.

Menurutnya, narasi pemerintah tentang pemberian hutan kepada masyarakat adat sesungguhnya keliru sejak awal.

Sebab, hutan itu bukan milik negara yang hendak dibagi-bagikan, melainkan wilayah hidup masyarakat yang lebih dulu dirampas lewat penetapan sepihak kawasan hutan.

“Jangan dibalik logikanya. Itu bukan mau dikasihkan ke rakyat. Itu memang hak rakyat," Bung Tomo akrab disapa, Kamis (18/12/2025).

Ia merujuk, pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35/PUU-X/2012 yang menegaskan bahwa hutan adat bukan bagian dari hutan negara. Namun, dalam praktiknya, putusan tersebut belum sungguh-sungguh dijalankan.

Bung Tomo menilai, tuduhan bahwa masyarakat adat menjadi perusak hutan merupakan bentuk pengalihan tanggung jawab negara. 

Ketika wilayah adat ditetapkan sebagai kawasan hutan, negara justru menghilang dari kewajiban pembinaan, akses ekonomi, dan pemenuhan hak dasar.

“Orang berladang itu cukup untuk makan. Tapi ketika anak mau sekolah, butuh uang. Negara nggak hadir," ujarnya.

Ia menegaskan, sawit bagi masyarakat adat sering kali bukan bentuk keserakahan, melainkan strategi bertahan hidup akibat sistem yang menutup akses kesejahteraan.

"Akhirnya mereka jual tanah atau masuk ke sawit. Itu bukan pilihan bebas, itu keterpaksaan,” tambahnya.

Di samping itu, ia menyorot, bahwa kerusakan tata ruang nasional yang semakin parah pasca sentralisasi kewenangan dan lahirnya kebijakan turunan Undang-Undang Cipta Kerja. 

Desa dan masyarakat adat kehilangan ruang untuk menentukan zona hidup, zona lindung, hingga wilayah sakral mereka.

“Hutan keramat, hutan lindung adat, sekarang bisa kalah oleh izin. Semua harus nunggu persetujuan negara,” tuturnya.

Ironisnya, pembatasan ketat justru berlaku untuk masyarakat, sementara industri ekstraktif bebas masuk kawasan hutan.

Ia menyebut, pemerintah secara tidak langsung mengajarkan masyarakat untuk menganggap hutan sebagai komoditas. 

Hal itu terjadi ketika negara melepaskan kawasan hutan menjadi APL atau tetap mengizinkan tambang dan HTI beroperasi di dalam kawasan hutan.

“Pertambangan boleh di kawasan hutan. HTI boleh. Lalu masyarakat dibilang perusak kalau memanfaatkan hutannya sendiri. Itu logika yang timpang,” kesalnya.

Selain itu, Bung Tomo menyinggung, izin kawasan hutan produksi di Daerah Aliran Sungai (DAS) Kapuas yang diberikan kepada perusahaan pertambangan. 

Ia mempertanyakan, tanggung jawab negara jika kerusakan lingkungan terjadi.

“Kalau DAS Kapuas rusak, gambut rusak, siapa yang tanggung jawab? Perbaikan itu harus dari hulu, bukan janji di atas kertas,” pungkasnya. (Greg)


Penulis : Gregorius
Editor : -

Leave a comment

ok

Berita Populer

Seputar Kalbar