Pemilu 2024 Curang? Masa Depan Demokrasi Indonesia Dipertanyakan

20 Juni 2024 12:05 WIB
Istimewa: Dionna Aurelia Winayu, Mahasiswi Universitas Islam Indonesia Yogyakarta.

SANGGAU, insidepontianak.com -- Pemilu 2024 telah usai, namun dampak yang ditimbulkan hingga saat ini masih terasa. Isu kecurangan pemilu ini menjadi sorotan yang mengundang berbagai reaksi dari berbagai pihak.

Pemilihan umum merupakan salah satu momen penting dalam kehidupan demokrasi suatu negara. Namun, sayangnya, tidak jarang kerusuhan dan konflik sering kali mewarnai pada saat pelaksanaan dimana dapat mengancam stabilitas politik dan keamanan nasional.

Ada berbagai faktor yang menyebabkan terjadinya kericuhan pada saat pemilu, seperti ketegangan politik antar partai, manipulasi suara, ketidakpuasan terhadap hasil pemilu, dan ketidakpercayaan terhadap lembaga pemilihan.

Sejak reformasi tahun 1998, fondasi demokrasi yang kuat telah di bangun oleh Indonesia dengan menggelar pelaksanaan pemilu secara berkala guna memilih presiden, anggota parlemen dan pemerintah daerah. 

Setiap proses dari pemilu di Indonesia juga merupakan tonggak penting ketika ingin menentukan arah politik serta sebagai gambaran dari keinginan rakyat yang terwakilkan.

Pada pemilu tahun 2024, Indonesia telah menghadapi tantangan besar dalam menjaga stabilitas politik dan keamanan nasional. 

Dengan munculnya  polarisasi politik yang kian meningkat, hingga fenomena kerusuhan dan konflik selama pemilu menjadi semakin besar. 

Terdapat kecurangan pemilu yang ditemukan telah terjadi pada masa kampanye pemilu serentak 2024, kecurangan ini menjadi topik hangat selama mendekati masa pemungutan suara pada 14 Februari 2024. Hal ini menunjukkan berbagai persoalan yang terjadi sejak masa pencalonan hingga kampanye. 

Melihat berbagai kontroversi, kejanggalan dan adanya indikasi kecurangan di setiap tahapan pemilu, pada masa tenang tiba, catatan pemantauan masyarakat sipil menemukan adanya dugaan penyalahgunaan fasilitas negara dan berbagai persoalan lain. (ICW, 2024).

Buntut dari fenomena kecurangan pemilu 2024 ini menimbulkan rusaknya kepercayaan terhadap proses dan institusi demokrasi. Seruan untuk reformasi pemilu dan menginginkan adanya transparansi telah dilakukan dimana harapannya tidak terjadi kejadian serupa di masa mendatang. 

Dengan melihat fenomena yang terjadi ini lalu timbul pertanyaan Bagaimana demokrasi Indonesia di masa depan?

Indonesia sebagai sebuah negara demokratis telah menjalani proses pemilihan umum yang telah dipersiapkan pada setiap periodenya. Pemilu 2024 ini menjadi sorotan utama dalam politik Indonesia. 

Meskipun pengumuman hasil resmi telah dikeluarkan, namun dinamikanya masih terus berjalan dan menimbulkan banyaknya kontroversi yang tidak hanya berakhir dengan penutupan kotak suara. 

Isu kecurangan yang seringkali sebagai bahan kapitalisasi oleh pihak yang kalah dan terlihat pada fenomena ini. Selain itu, manipulasi atas data pemilih juga menjadi perbincangan hangat dalam fenomena ini.

Tuduhan ini mencakup para pemilih yang tidak memiliki hak untuk memilih didaftarkan dalam daftar pemilih atau sebaliknya, pemilih-pemilih yang seharusnya memiliki hak pilih mereka diretas oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. 

Tragedi seperti ini tentunya dapat merusak integritas dari pemilu dan timbulnya keraguan atas hasil yang nantinya diperoleh.
 
Selain tuduhan-tuduhan tersebut, terdapat pula kekhawatiran mengenai ketidaknetralan aparat penegak hukum dalam menjalani proses pemilu. Contohnya saja pada saat pemilihan presiden dimana masyarakat Indonesia merasa banyak terjadi kejanggalan.

Menurut Prof. Valina banyak dari manuver yang tidak etis terjadi pada saat sebelum dilaksanakannya pemilu oleh elite politik.

Hal ini seperti munculnya isu bahwa pemilu akan ditunda, isu akan perpanjangan masa jabatan Presiden, isu satu putaran pilpres dan cawe-cawe presiden saat masa pencalonan pilpres yang menjadikan opini publik semakin menguat mengenai ketidakjujuran dan ketidakadilan akan timbul pada saat pemilu. 

Fenomena yang terjadi pada saat proses pencalonan Presiden dan Wakil Presiden dimana keputusan MK atas persyaratan untuk capres dan cawapres adalah dengan minimal batas usia  40 tahun. (FISIP UI, 2024).

Keputusan yang dikeluarkan oleh MK menimbulkan kemarahan publik, lalu muncul lah seruan Mahkamah Etik MK. Dalam hal ini pula seorang MK tersebut diyakini merupakan saudara dari seorang Presiden Joko Widodo yang mana setelah Keputusan tersebut Gibran Rakabuming selaku anak dari seorang Presiden Joko Widodo mencalonkan diri sebagai Cawapres dari Prabowo Subianto. 

Lalu kericuhan juga terjadi pada tahap penghitungan suara, dimana terdapat versi manual, quick count dan Sirekap KPU.

Keadaan tersebut semakin mendorong rasa ketidakpercayaan dari masyarakat mengenai fairness dan accuracy ketika proses penghitungan suara. 

Banyak dari mereka yang mengatakan bahwa “data dan informasi yang tidak akurat ini menunjukkan tata Kelola yang kurang profesional saat pemilu”.

Dengan berbagai kejanggalan yang terjadi tidak hanya dari satu paslon, pasalnya terdapat temuan yang mengabarkan bahwa pasangan Anies Baswedan dan Amin juga diduga melakukan kecurangan pemilu. 

Walaupun belum ada bukti secara resmi yang terlihat, dugaan yang ada juga menimbulkan gelombang diskusi yang luas di masyarakat.

Anies juga mengambil langkah bahwa sepakat untuk mengajukan hak angket guna mengusut lebih lanjut atas dugaan kecurangan, dengan itu menunjukkan seriusnya isu ini di mata pihak yang bersangkutan. Komitmen dalam menjaga integritas proses demokrasi di Indonesia juga terlihat. 

Sementara itu, PDIP juga menjadi pemain penting dalam dinamika pasca-Pemilu 2024.

Pihak PDIP dimana oleh tim Pasangan Ganjar Pranowo dan Mahfud MD secara resmi menurunkan surat kepada KPU dengan menolak adanya penggunaan aplikasi Sirekap ketika proses penghitungan suara. Partai ini menunjukkan keseriusan terhadap adanya transparansi dan akuntabilitas dalam proses perhitungan suara. 

Penolakan ini mempunyai alasan yaitu mulai dari kerentanan terjadinya manipulasi hingga kekhawatiran akan ketidakmampuan dari sistem dalam memastikan keabsahan hasil.

Tidak dapat kita pungkiri adanya isu kecurangan dalam pemilu ini selalu jadi titik sensitif pada proses pemilihan di Indonesia. Hal ini bukan hanya menunjukkan kekhawatiran terhadap integritas demokrasi. 

Namun juga menggambarkan kompleksitas politik dan dinamika persaingan antar partai.

Dalam fenomena ini pihak yang kalah cenderung mengungkapkan narasi kecurangan yang dirasa sebagai alasan dari kekalahan, di sisi lain, pihak menang tentunya berusaha untuk mempertahankan legitimasi dimana pihak Prabowo Gibran yang telah dirasa melakukan kecurangan berkata bahwa tunjukkan bukti secara fakta bukan hanya narasi, dan menegaskan bahwa proses pemilu telah berlangsung secara fair. (Rofiq Hidayat, 2024).

Kontroversi yang terjadi mengenai kecurangan dalam Pemilu 2024 ini tentunya menimbulkan dampak yang tidak hanya berdampak pada hasil langsung dari pemilu, tetapi juga mempunyai konsekuensi untuk jangka panjang terhadap demokrasi Indonesia secara keseluruhan. 

Salah satu dampak yang paling nyata adalah dapat kita lihat pastinya kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga demokrasi dan proses politik secara umum yang mulai menurun.

Ketika masyarakat telah hilang kepercayaan atas integritas pemilu yang dijalani, mereka cenderung meragukan legitimasi yang dijalani pemerintahan.
Hal ini dapat mengarah pada polarisasi yang lebih besar dalam masyarakat serta ketidakstabilan politik yang berkelanjutan.

Kepentingan guna memperbaiki dan memulihkan integritas pemilu menjadi semakin mendesak demi menjaga stabilitas demokrasi.

Melihat fenomena yang terjadi dapat kita lihat melalui pandangan dari Robert Dahl, menurutnya idealnya kekuasaan politik dalam masyarakat yang demokratis dapat terdistribusi dengan rata antar seluruh anggota masyarakat. 

Dengan begitu, proses politik akan berkembang dengan adanya partisipasi dari  masyarakat. (FISIP UI, 2024). 

Perlu juga dalam negara kita ini membangun sarana untuk diskusi yang inklusif dan terbuka. Dengan adanya transparansi serta demokrasi piranti yang menguat dengan perlahan dapat mengurangi kecurangan yang terjadi, sehingga akan mendorong ke arah demokrasi berkualitas.

Prof. Valina juga pada suatu seminar menyatakan langkah-langkah yang dapat diambil untuk masa depan Indonesia. Yaitu dengan perbaikan kerangka hukum pada pemilu termasuk teknis dan sistem, sistem rekrutmen yang diperbaiki dalam penyelenggara pemilu, lalu tata Kelola dalam pemilu dapat menomor satukan democratic values dan moral values. (FISIP UI, 2024).

Sementara dalam sisi politik makro, perbaikan masih harus digerakkan, terutama penguatan etika politik dan reformasi atas partai politik, penguatan terhadap Masyarakat sipil dengan cara Pendidikan demokrasi dan politik yang diperkuat, terakhir perbaikan dari akses-akses terhadap sumber daya ekonomi dan politik.


Kesimpulan analisis:

Sebagai sebuah negara demokratis, tentunya proses pemilihan telah dijalani oleh Indonesia. Namun, kepercayaan dari masyarakat kian menurun dikarenakan berbagai isu-isu kecurangan yang dilakukan oleh para elite politik. 

Penting bagi kita untuk peduli akan hal ini agar terus mengusung proses pemilu yang transparan dan adil agar tercipta demokrasi yang sehat.

Di Tengah semua kecurigaan dan kontroversi ini, penting bagi seluruh pihak agar tetap mengedepankan prinsip-prinsip demokrasi yang kuat. Kita juga dapat menjalankan langkah-langkah bijak baik dilakukan oleh pihak yang dirasa rugi maupun pihak yang untung. 

Tidak lupa diiringi dengan prosedur hukum yang telah berlaku dan tetap memprioritaskan kepentingan bersama. 

Dalam fenomena ini bukan tentang siapa kalah atau menang, namun mengenai kepercayaan publik atas proses keberlangsungan politik Indonesia.

Oleh karena itu, penting bagi KPU, Lembaga penegak hukum dan lembaga terkait lainnya, agar dapat menjalankan tugas secara profesional dan independensi. 

Dapat konsisten terhadap komitmen dalam menyelidiki atas berbagai dugaan kecurangan dengan cermat dan teliti tanpa di iming-imingi intervensi politik yang kotor. 

Dalam hal ini keikutsertaan Masyarakat juga penting dalam mengawal proses pemilu, dapat menjadi kunci guna memastikan akuntabilitas dan transparansi benar-benar dilakukan.

Hanya dengan demikian, Masyarakat dapat memastikan tetap dapat berjalan dengan baiknya proses demokrasi di negeri ini dan membuahkan hasil representatif bagi bagi seluruh rakyat Indonesia. 

Menggugat adanya kelakuan kecurangan dalam pemilu pada berbagai saluran seperti, MK, Bawaslu hingga hak angket DPR tentunya tidak dilarang. Namun, berlarut-larut dalam fenomena ini dan masih tidak dapat mengakui akan kemenangan yang diperoleh lawan, justru membahayakan bagi masa depan demokrasi. 

Demokrasi ini sendiri dapat diambil oleh militer diakibatkan oleh sengketa pemilu yang terlalu lama, seperti yang terjadi pada Turki, Myanmar, Pakistan, Thailand dan Mesir. (Susanto, 2024).

Proses yang dijalani tidak instan ketika ingin membangun demokrasi ekuivalen diiringi bersama membangun peradaban dan kemanusiaan. 

Hal ini disebabkan oleh faktor masalah kemanusiaan akan terus muncul, maka perlu akan adanya sikap bijak, santai tidak turut dalam emosi dan tidak mengumbar kebencian. 

Sikap-sikap berlebihan, mengecam kredibilitas oleh Lembaga-lembaga terkait dan mengatasnamakan demokrasi malah dapat mematikan demokrasi itu sendiri.

Dari pada berlarut-larut dalam sengketa pemilu ini, lebih baik kita membiasakan dalam kehidupan sehari-hari dengan pola hidup demokratis. Baik di kumpulan warga, di rumah, di kantor dan dimanapun kita berada. 

Dapat dimulai melalui hal kecil dan dilakukan oleh diri sendiri hingga berlanjut pada konteks yang meluas. Pola-pola hidup seperti transparansi, tidak memonopoli kebenaran, perbedaan yang dihargai dan akuntabel dapat kita biasakan sebagai masyarakat yang bijak.

Penulis: Dionna Aurelia Winayu/Mahasiswa Universitas Islam Indonesia Yogyakarta


Penulis : Dionna Aurelia Winayu/Mahasiswa Universitas Islam Indonesia Yogyakarta
Editor : Dina Prihatini Wardoyo

Leave a comment

jom

Berita Populer

Seputar Kalbar