Satarudin: Banteng Petarung dari Timur Pontianak
Satar sempat sehari mengurung diri di kamar usai Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kota Pontianak 2018. Dia kalah. Gagal jadi Wali Kota Pontianak. Nekat keluar dari zona nyaman, ternyata tak selalu membawa senang. Tapi dia ingat, jalannya masih panjang. Takdirnya harus diraih.
Saya menemuinya Kamis (4/6/2020) lalu, setelah janji di hari Rabu batal karena rapat mendadak. Usai kalah suara dari Wali Kota terpilih, Edi Rusdi Kamtono, Satar kembali duduk sebagai Ketua DPRD Pontianak, hasil Pemilu Legislatif (Pileg) 2019. Tak heran jika dia sesibuk itu sekarang, tak menganggur seperti setahun sebelumnya.
“Sorry Wan, ade rapat. Besok di kantor jam 10 ye,” tulis Bang Satar–sapaan akrabnya–di pesan WhatsApp kepada saya, Kamis kemarin.
Satar menjabat Ketua DPRD Kota Pontianak sejak 2014, atau periode kedua setelah duduk sebagai wakil rakyat. Namun di Februari 2018, dia mengundurkan diri karena maju sebagai calon Wali Kota Pontianak, berpasangan dengan Alpian Aminardi. Keputusan yang dianggap berani. Tidak sedikit yang meremehkan niatnya tersebut.
“Dari zona nyaman ke zona yang tidak nyaman itu memang susah, kalau tidak siap pasti stres,” ceritanya.
Saat itu, Edi Kamtono yang menjabat sebagai Wakil Wali Kota Pontianak, dianggap paling berpeluang. Terlebih bersama Wali Kota Sutarmidji, pembangunan kota tengah baik-baiknya. Ratusan penghargaan diraih. Padahal, ada peran penyeimbang Ketua DPRD di sana. Sesuatu yang kurang dilihat masyarakat.
Namun, anak pasangan Senol Ali dan Aminah ini punya keyakinan. Takdir diciptakan. Apalagi masyarakat dan sejumlah rekan, menemuinya langsung dan memintanya maju jadi suksesor Sutarmidji. Setelah Sutar, Satar. Dia hitung-hitungan. Sejak kecil sudah biasa hidup susah, istrinya, Eni Suyanti pun mau diajak berjuang. Jika kalah, kehidupan terdahulu sudah jadi guru.
“Kita harus berani melawan arus, berani mencoba sesuatu walaupun tidak nyaman. Jadi, bukan hanya tahu berhasil. Tapi juga tahu gagal itu bagaimana,” katanya.
Keputusan dibuat. Tekadnya bulat. Tanggal 9 Maret 2017, 4.000 relawan #KamekSatar berkumpul di Pontianak Convention Center (PCC) mendeklarasikan dukungan. Gerak di akar rumput makin kuat. Satar pun mundur dari DPRD Pontinak, Februari 2018. Fokusnya di pencalonan. Dia habis-habisan. Usaha dan ikhtiar jalan.
Sayang, garis tangannya di 27 Juni 2018, belum kursi Wali Kota. Bersama Alpian Aminardi, mereka hanya meraup 59.064 suara atau berada di posisi kedua. Di posisi ketiga, pasangan Harry Ardyanto-Yandi dengan 54.294 suara. Pemenangnya, Edi Kamtono-Bahasan dengan 200.840 suara.
[caption id="attachment_8197" align="alignnone" width="659"] Ketua DPRD Kota Pontianak, Satarudin.[/caption]
Satar gagal setelah sejak 2009, tak pernah turun dari kursi anggota legislatif.
“Saya memang tahu risikonya. Saya harus turun dari Ketua DPRD. Tapi, kegagalan itu ibarat pelengkap hidup. Berhasil sudah, gagal sudah, jadi tahu semua rasanya,” katanya.
Lahir dari Akar Rumput
Satar muda besar di pasar. Pernah jadi kuli panggul, buruh bangunan, tukang las, bahkan merantau ke Sanggau sebagai pemecah batu.
Ayahnya, Senol Ali, satpam di salah satu perusahaan cabang Bumi Raya Utama Group–satu di antara sejumlah perusahaan kayu era Orde Baru. Menyambung hidup dengan jadi penjual kelapa parut ketika pensiun. Saban hari menyusuri gang, mengantar pesanan orang.
Satarudin lahir di Pontianak, 9 Maret 1978. Masa kecilnya habis di kampung halaman, Tanjung Hulu, Pontianak Timur. Bungsu lima bersaudara ini besar di gang tepi sungai. Sedari kecil, terbiasa mandiri, dan bermain dengan ‘nyali’. Berenang di Kapuas, lompat dari Jembatan Landak, makanan sehari-hari.
“Sekarang disuruh terjun mana berani, dulu ndak mikir ada buaya sebagainya. Kita dibentuk alam dan lingkungan,” kata Satar.
Dulu, orang tua biarkan anaknya mandiri. Ngaji dan salat. Ngaji bawa minyak tanah, isikan guru ngaji air satu drum. Saat ini tidak ada lagi seperti itu. Sekarang tinggal main handphone semua, kenangnya sambil tertawa.
Satar pun tak menutupi, sempat terlibat perkelahian antargeng ketika remaja. Sering jadi ‘aktivis kampong’ jika ada hal yang dirasa tak tepat. Tapi ketika masalah itu selesai, semua kembali seperti biasa. Maka tak heran, sampai sekarang, masih ada yang menyebutnya preman.
“Saya bandel di sekolah, karena sering jadi kepala pukul zaman SMP, sekarang tidak. Kadang jarang pulang, makanya ada bahasa ‘gali gongli’, anak asuhan rembulan, karena tidur sama teman-teman langsung diatapi malam,” katanya.
‘Gali Gongli’ merupakan salah satu lagu karya musisi legenda Indonesia, Iwan Fals. Bercerita soal remaja belasan tahun yang hidup di jalan. Lagu yang mungkin mencerminkan sebagian Satar. Lulus SDN 04 dan SMPN 16 (sekarang 14) Pontianak Timur, dan tak lanjut jenjang SMA. Besar di jalan dan pasar. Tempat belajar arti kesetiakawanan.
Di pasar, kawan dibentuk dari kesamaan nasib. Memperjuangkan hidup dan mimpi. Tak rugi berkawan dengan orang pasar, karena perkawanan senasib akan rela sepenanggungan dan saling membela.
“Perkawanan yang sportif tanpa basa basi. Kau kuat, aku kuat. Kau tumbang, aku ikut tumbang,” katanya.
Dari sana, dia kenal Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan. Awalnya, tukang teriak ketika kampanye dan pemasang umbul-umbul. Angkut bambu dan menyusuri sudut kota pasang bendera moncong putih. Pascareformasi, dia didaulat sebagai pengurus ranting PDI-P Tanjung Hulu.
Jadi anggota partai, Satar menerapkan apa yang dipelajarinya di pasar. Kesetiakawanan dan tolong-menolong. Saling mendukung dan menyokong. Kepribadiannya yang mudah bergaul, membuat komunikasinya nyambung. Dia diterima semua lapisan masyarakat.
Paket C (setara lulus SMA) pun diambil, sesuatu yang tak pernah ditutupi. Dia punya mimpi untuk bermanfaat lebih besar. Tahun 2008, dia kuliah malam di Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura Pontianak.
“Dulu lihat pejabat itu gagah benar. Tapi pintu pagar tutup terus, susah ditemui. Kadang pagar lebih tinggi, ada anjing pula di dalam pagarnya. Anjing sudah gonggong dulu, sebelum kita ketuk. Jadi, saya tidak mau ulang seperti itu,” katanya.
Dia punya pengalaman menunggu seorang pejabat berjam-jam di luar pagar rumah. Kenangan yang jadi pelecut. Hingga tahun 2009, bapak tiga anak ini dipercaya jadi Ketua Pimpinan Anak Cabang (PAC) PDI-Perjuangan Pontianak Timur. Dia pun mencalonkan diri dalam pemilu legislatif di tahun yang sama. Cibiran orang berdatangan.
“Ludah muke aku kalau Satar jadi dewan.”
“Potong jari aku kalau Satar duduk.”
“Sunat dua kali aku kalau Satar menang.”
“Siape mau pilih Satar tu, orang miskin.”
“Jangan pilih Satar, die tu preman. Anak buah preman, semue suke kelahi.”
Kalimat-kalimat meremehkan itu jadi sarapan dan motivasi. Keluarga besarnya, tak sedikit yang berpandangan sama. Namun, takdirnya didapat. Satar meraih 1.397 suara dan berhak duduk sebagai wakil rakyat.
“Ketidakpercayaan dan mungkin hinaan orang, harus dijadikan semangat. Kita jangan lemah. Alasan terpilih, mungkin karena faktor banyak teman, kedekatan dengan orang-orang. Mungkin karena sering tolong orang, sampai sekarang tetap begitu. Itu kata orang,” katanya tersenyum.
[caption id="attachment_8198" align="alignnone" width="671"] Ketua DPRD Kota Pontianak, Satarudin.[/caption]
Satar bertemu masyarakat tidak dengan modal janji. Dia membangun ikatan emosional sejak lama. Sesuatu yang dia percaya, tidak bisa dinilai dengan uang. Sampai sekarang dia melakukannya. Termasuk soal pelecutnya ingin berguna untuk orang banyak; rumahnya di Komplek Bahari Elok, Jalan Ya’ M Sabran, Tanjung Hulu, Pontianak Timur, dibangun tanpa pagar. Rumah dengan dominasi merah itu tak pernah sepi. Siapa saja boleh datang. Dapurnya berada di luar. Keluarganya makan apa yang orang lain makan.
“Saya anggap semua orang itu keluarga,” kata Satar.
Makanya, di rumah selalu ramai. Dari kiai sampai penjahat, semua diterima karena semua di mata Allah sama, cuma perbuatan beda. Tapi, tiap bertemu penjahat, ia beri pemahaman. Banyak juga yang akhirnya sadar, sering main ke rumah ia luruskan, pelan-pelan.
“Orang buat jahat itu kan karena ada niat. Kita kasih pancingan kan lama-lama berhenti. Itu yang membuat saya tidak ada jarak dengan orang, walau dengan status Ketua DPRD,” kisahnya.
Sebenarnya, cemooh orang soal Satar yang miskin itu benar. Di tiga tahun pertama jadi dewan, dia masih tinggal di kontrakan di Gang Baiduri, Jalan Ya’m Sabran, Tanjung Hulu. Kemudian pelan-pelan bangun rumah di alamat sekarang. Masih di Tanjung hulu, tempat tembuni dipendam.
Titik Terendah
“Kekalahan (Pilkada) kemarin mengubah pola pikir saya. Satar yang dulu tidak sama dengan Satar sekarang. Mungkin ada sisi-sisi gelap yang muncul dari diri saya sekarang, karena saya melihat kadang orang berkawan tidak tulus,” katanya ketika ditanya, hal paling membekas dalam hidupnya.
Pilkada 2018 mengubah hidup Satar. Kesetiakawanan selama ini jadi hal paling berharga dalam hidupnya. Sayangnya, politik tidak demikian. Padahal, dia yakin, dalam perebutan kekuasaan sekali pun, ada nilai moral yang dijunjung.
“Sekarang saya jaga jarak, tidak terlalu gimana (ketika berkawan). Karena saat saya jatuh, tidak ada mereka itu, yang pernah dibantu, menolong saya. Ribuan tepuk tangan ketika berhasil tidak ada artinya, dibanding satu uluran tangan saat jatuh. Contohnya Sutarmidji itu,” sebutnya.
Satar loyal dengan partai. Sejak bergabung tahun 1999, dia aktif mengampanyekan siapa saja calon yang diusung dan didukung partai. Mulai dari Wali Kota, hingga Presiden. Sutarmidji salah satunya. Tak heran pula, banyak politisi dikenal, hingga dia tumbuh seperti sekarang: duduk di legislatif tahun 2009, jadi Ketua DPRD Pontianak periode 2014-2019 dan 2019-2024 cum Ketua DPRD termuda (39 tahun) se Kalbar ketika pertama kali menjabat pimpinan dewan, dan dipercaya jadi Ketua DPC PDI-Perjuangan Pontianak sejak 2015 hingga sekarang.
“Saya naik terus, di Pilkada saya gagal, keluar dari zona nyaman sampai akhirnya saya nganggur,” katanya.
Pilkada titik nadir terendah jatuhnya Satar. Ia sempat satu hari mengurusng diri. Tapi lepas itu sudah, anggap itu gambling. Ibarat dulu main judi, kalau tidak dapat, ya, sudah.
Kegagalan tak diratapi. Dia yakin, semua sudah ketetapan Tuhan. Usaha dan ikhtiar sudah jalan. Istrinya menenangkan. Satar pun memilih keluar kamar. Mencari kesibukan, menghabiskan waktu dengan keluarga, dan kembali membangun jaringan.
Kegagalan dianggap sebagai keberhasilan tertunda saja. Ujungnya, ia berhasil lagi sebagai Ketua DRPD Pontianak. Ia kerja keras, disiplin dan menjaga silaturahmi. Itu yang dilakukan.
“Kalau kami di PDI, memang digembleng untuk tahan banting. Namanya juga banteng. Biar gepeng biar banteng. Mau situasi apa pun, tetap banteng,” tuturnya.
Kalah di Pilkada Pontianak 2018, Satar kembali maju di Pileg 2019. Hampir dua tahun dia menganggur, sebelum akhirnya membawa PDI-Perjuangan sebagai pemenang Pileg di Kota Khatulistiwa dengan 43.921 suara. Satar sendiri meraup 2.873 suara di daerah pemilihan Pontianak Timur. Partai pun mendaulatnya jadi pimpinan dewan.
“Mungkin, bisa jadi saya terpilih lagi, karena dianggap mampu memimpin lembaga ini oleh partai. Walau sudah berhenti hampir dua tahun,” katanya.
Uniknya, sejak Pileg dimulai, bapak tiga anak ini yakin akan kembali duduk di parleman. Dia tidak turun kampanye di Pontianak Timur, baliho pun tidak terpasang.
“Orang juga heran saya tidak ada turun, karena saya yakin, suara saya melekat karena membangun ikatan emosional tadi. Tapi saya keliling di semua kecamatan untuk kampanyekan PDI-Perjuangan dan calon Presiden Jokowi. Hasilnya PDI-Perjuangan menang di Pontianak,” katanya.
Padahal saat itu, PDI-Perjuangan mendapat serangan dari berbagai sisi. Muncul gerakan dengan membawa isu Suku, Ras, Agama, dan Antargolongan (SARA) untuk menenggelamkan partai tersebut. Terlebih Pileg bersamaan dengan Pilpres yang mempolarisasi masyarakat jadi dua kubu, Jokowi dan Prabowo. Cebong dan Kampret. Isu SARA di Pilpres 2015 pun terulang.
“Saat itu serangan datang dari bermacam arah yang ingin menenggelamkan PDI-Perjuangan. Tapi terbukti PDI menang se Indonesia,” katanya.
Di Kalbar, pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin unggul dengan perolehan 1.709.896 suara dari pesaingnya Prabowo-Sandiaga Uno yang mendapat 1.263.757 suara.
Sekarang tidak laku jualan agama. Masyarakat sudah pintar. Itu hanya dagangan segelintir orang yang memanfaatkan situasi, saat Pileg dan Pilpres. Tapi, ia turun lapangan berikan pemahaman.
“Akhirnya, terbukti PDI-P jadi partai pemenang, karena kita gerak simultan dan gotong-royong,” sebutnya.
Kini, Satar ingin menikmati masa jabatan Ketua DPRD Pontianak. Pilkada kedepan, belum terpikirkan. Tugasnya sekarang membaktikan langkah untuk kemajuan kota. Bersinergi dengan bekas kompetitornya di pemilihan kepala daerah lalu. Sosok Edi Kamtono sudah dikenal lama. Apalagi Wali Kota Pontianak ini merupakan pensiunan Pegawai Negeri Sipil, dan sempat menjabat kepala dinas.
“Saya anggap biasa kalau dua kompetitor bersaing. Kalau ada yang masih baper (bawa perasaan) Pilkada, artinya belum move on. Artinya, tidak bisa jadi panutan,” katanya.
Edi Kamtono bagi Satar kini bukan lawan. Akan tetapi mitra membangun kota. Dia memastikan, apa pun kebijakan yang menguntungkan masyarakat, DPRD tak akan menghambat.
“Kalau saya belum move on, saya menghambat, mau jadi apa Kota Pontianak ini? Wali Kota dengan Ketua DPRD perang terus, kan tidak bagus? Biasa dalam kompetisi ada yang menang dan kalah. Jangan dendam, kadang ada yang begitu,” katanya.
Sebagaimana tujuannya di awal, membantu orang apalagi dalam lingkup Kota Pontianak, tak mungkin dilakukan jika mengedepankan ego. Apa yang ingin dilakukannya ketika mendaftar posisi calon wali kota, ada bermanfaat bagi orang, bukan sekadar duduk di kursi kepala daerah.
“Tujuan saya dari awal memang ingin bantu orang. Kita sempurna kalau sudah bermanfaat untuk orang. Kalau punya jabatan tapi tidak bermanfaat untuk orang, itu tidak ada gunanya,” katanya.
Pengalaman besar di pasar menjadikan Satar paham keluhan masyarakat. Namun dalam geraknya, romantisme wong cilik tidak selalu jadi patokan. Begitupun ketika berhadapan dengan orang-orang berpengaruh. Mendengar dari dua sisi, melihat kondisi asli, selalu jadi penilaian sebelum ambil keputusan. Dia berusaha adil sejak dalam pikiran. Terlebih jika datang laporan asal bapak senang, dia paling anti.
“Pemimpin dalam mengambil keputusan jangan dipengaruhi oleh siapa pun. Kalau terpengaruh, itu sudah tidak murni. Kita boleh menerima masukan, tapi keputusan akhir tetap ada di kita. Jangan sampai ada intervensi siapa pun. Dan jika sudah ambil keputusan, jangan pernah diubah, walau pun badai menghantam. Kita harus berani,” katanya.
“Kritik silakan, membangun. Tapi kalau memfitnah, menjurus ke urusan pribadi itu bukan kritik. Kalau ada saran, tentu kita tampung,” sambungnya.
Sikap pemimpin itu dipelajarinya langsung dan tidak langsung. Sosok politisi PDI-Perjuangan asal Kalbar, seperti Lazarus dan Cornelis jadi gurunya dalam politik, kepemimpinan, dan komunikasi. Satar juga rutin membaca buku-buku pemikir, seperti Niccolo Machiavelli, Jenghis Khan, Adolf Hitler, Aristoteles, Plato, termasuk Sukarno dan Gus Dur.
“Saya ambil yang penting dan relevan untuk saat ini. Selain itu kalau baca harus tuntas dan ada guru. Dalam politik pun, kita harus sabar dan dapat ujian. Dari ujian itu kita evaluasi diri dan dapat pengalaman,” katanya.
Satar merasa beruntung bisa menerapkan apa yang dipelajarinya dari kehidupan, untuk kemaslahatan orang banyak. Dua kali jadi Ketua DPRD, dia pun bertemu dengan dua Wali Kota berbeda. Sutarmidji dan Edi Kamtono, yang memiliki pola kepemimpinan masing-masing.
Kini Satar masih terus belajar. Dari pasar, dia belajar memperjuangkan mimpi dan persahabatan. Dari politik, dia belajar menguasai ego dan menjadikannya ladang pengabdian. Akan tetapi Satar tetaplah anak gang tepi sungai yang digembleng PDI-Perjuangan; banteng pelawan arus, jadi garis tangan tak terelakkan.(Kristiawan Balasa)***
Penulis : admin
Editor :
Penulis : admin
Editor :
Leave a comment