Muhammad Mochlis: Sang Petarung dari Kota Juang
Hidup ibarat sebuah layar lebar. Ia menyediakan cerita dan panggung bagi pemain dan penonton. Semua bisa belajar dari cerita dan kisah yang ditampilkan. Ada banyak kisah pilihan dan peluang dalam hidup. Bagi yang tak memiliki pilihan dalam hidup, tak ada kata lain, selain berjuang dan mewujudkan mimpi.
Seorang lelaki berjalan menuju swalayan terkenal di Pontianak. Orang berlalu lalang membeli berbagai kebutuhan pokok. Namun, lelaki itu tak hendak membeli sesuatu. Ia hanya beristirahat sebentar. Suasana adem ruangan belanja ber-AC, cukup untuk melepaskan lelah dan penat. Sudah seharian, ia berjalan mengelilingi Kota Pontianak. Mencari nasabah untuk perusahaan asuransi tempatnya bekerja.
Ia menjadi tenaga pemasaran atau marketing. Tidak ada gaji bulanan. Uang didapat, kalau ia bisa mendapatkan nasabah. Kantor perusahaan asuransi berada di Jalan Sidas. Ia tinggal di seputar Jalan Bukit Barisan, Sungai Jawi, Pontianak kota.
Saban hari, ia berjalan kaki menuju kantor. Begitu pun ketika mencari nasabah. Tak heran bila tapak kaki sepatunya, selalu kalah oleh aspal. Aus dan tipis. Bila sudah demikian, ia harus segera mengganti tapak sepatunya. Sudah beberapa kali tapak sepatu diganti.
Apa boleh buat, uang tak cukup untuk mencari sepatu baru.
Keluarga Besar
Muhammad Mochlis lahir tahun 1975 di Kota Baru, Kabupaten Melawi. Ia sulung dari sepuluh bersaudara. Hidup dengan jumlah keluarga besar, tak memberinya banyak pilihan. Ia harus bekerja membantu keluarga. Sembari sekolah, ia menambang. Istilah untuk mendayung sampan dan menyeberangkan orang melewati sungai. Uang hasil menambang dikumpulkan.
Orang tua lelakinya bernama Abasuni. Ibu bernama Jamnah. Ayahnya, orang yang disiplin dan keras dalam berbagai tindakan. Mochlis merasakan sekali, sikap orang tuanya. Apalagi menjelang maghrib. Sebelum adzan berkumandang, dia harus segera balik ke rumah. Bila tidak, orang tua menjemputnya dengan memegang rotan sebesar ibu jari. Rotan itu biasa digunakan untuk memukul kasur yang dijemur.
Muhammad Mochlis membeli mobil pertama kali ketika sudah berhasil menyelesaikan kontraktor pengadaan buku di sekolah.(Ist)
Mau tak maulah, dia harus berjalan mengikuti langkah sang ayah dengan muka cemberut dan kesal. Sembari sesekali melihat ke belakang, melihat teman-temannya yang masih asyik bermain.
Masa kecil di Melawi menorehkan banyak kenangan. Ia selalu bermain bareng teman. Main kelereng. Mandi di sungai. Berantem dengan teman, dan kenakalan khas anak kecil lainnya. Tapi, ia selalu menonjol dari temannya semenjak SD.
Ketika masuk SMP, sikap dan keisengannya masih sering terjadi. Namun, sikap dan tingkahnya itu, membuat ia lebih dikenal dari murid lainnya. Tak heran bila, kelas dua SMP, ia diminta menjadi ketua kelas oleh gurunya.
Selesai sekolah, ia selalu membantu urusan keluarga. Sebagai anak paling besar, dia harus menjaga adik-adiknya yang sebagian besar perempuan. Terkadang, ia merasa iri dengan kawan lainnya. Mereka bisa bermain dengan bebas. Namun, kondisi itu menempa dirinya. Sejak kecil, ia telah terbiasa bergaul dengan banyak orang. Melindungi keluarga dan adik-adiknya. Menerapkan disiplin dan kerja keras, terutama terkait dengan prinsip dan aturan.
Tapi, ia tak mau terlalu berharap dari keluarga. Ia paham sekali kondisi ekonomi keluarga. Orang tua tidak bisa sepenuhnya mendukung cita-cita dan keinginannya. Ia pun sadar, kalau memaksakan diri untuk kuliah, adik-adiknya tak bakal bisa sekolah atau kuliah.
Selesai sekolah menengah atas, ia nekat merantau ke Pontianak. Tape Compo hasil menambang dijualnya. Laku Rp 75 ribu. Berbekal dua celana, dua baju dan dua celana dalam, ia berangkat ke Pontianak.
Merantau ke Pontianak
Tahun 1994, ia memulai lembaran baru di Kota Khatulistiwa, Pontianak. Rumah kerabat jadi tujuan. Ia menumpang di rumah Uwak. Di rumah itu, ada anak Uwak atau pamannya. Tinggal bareng keluarga Uwak, ada batasnya. Ketika sudah tinggal berbulan-bulan, sang paman memintanya pindah.
“Saya tak bayar sewa, maka disuruh pindah,” katanya.
Tak memiliki uang, ia terpaksa menumpang di rumah kawan. Pekerjaan sebagai marketing asuransi didapatnya. Saban hari ia berjalan kaki mencari nasabah. Tak ada gaji bulanan. Awal kerja jadi momentum tersendiri. Sangking sulitnya cari nasabah dan tak ada pemasukan, makan sehari sekali sudah jadi hal biasa. Bahkan, ia pernah tak makan hingga tiga hari.
Saban hari, ia berjalan kaki menuju kantor. Juga ketika mencari nasabah. Ketika sudah terlalu lelah karena seharian berjalan kaki, ia pulang menggunakan angkutan umum. Itu kemewahan tersendiri.
Muhammad Mochlis bersama istri, Ipah Sida. (Ist)
Setahun bekerja di asuransi, ia dapat komisi dari kantor. Rp 1 juta rupiah. Uang itu dibelikannya motor. Honda Super Cup 70. Uang muka Rp 800 ratus ribu. Sisanya, digunakan untuk bayar kontrakan.
Punya tempat tinggal sendiri, ia mulai menata hidup. Untuk makan sehari-hari, ia memasak nasi. Lauk beli di warung. Itu pun hanya beli kuah saja. Sesekali, ia bilang ke penjual nasi, tambahkan tetelan tulang untuk kuah yang dibeli.
Hari berganti. Musim berlalu. Roda kehidupan terus berjalan.
Kehidupan Muhammad Mochlis mulai membaik. Namun, ia bukan tipe orang yang punya gaya hidup hedonis. “Hidup harus sesuai dengan kebutuhan. Bukan sesuai keinginan,” katanya.
Hidup yang sesuai keinginan, tidak ada batasnya. Ujungnya bahkan bisa saja berupa derita. Sebab, orang tidak dapat menata hidupnya dengan baik.
Suatu ketika, tahun 1999, orang mulai ramai menggunakan telepon genggam. Merek paling terkenal saat itu, Nokia. Tepatnya, Nokia seri 5110. Ini telepon genggam sejuta umat pada masanya. Belinya sistem paket. Hape seharga Rp 700 ribu. Dapat nomor dan paket pulsa telepon sebesar Rp 300 ribu.
Meski memiliki uang untuk membeli, ia tak berniat mendapatkan barang yang jadi ikon dan simbol status tersebut. Ia lebih memilih berinvestasi. Terutama investasi tanah. Sedari dulu, ia lebih tertarik berinvestasi tanah. Sebab, harga tanah selalu naik. Tak bakal rugi.
Tak heran bila, saat ini tanahnya tersebar di berbagai tempat: di Pontianak, Kubu Raya, Melawi, Jakarta dan lainnya.
Beragam kerja dan bisnis pernah dijalani. Mulai dari bisnis laundry atau pencucian pakaian. Pembuatan seragam sekolah. Bisnis pengadaan buku dan peralatan sekolah, hingga menjadi kontraktor. Ia keliling Kalbar, terkadang ke Jakarta, menjalankan bisnisnya. Bertemu dengan beragam orang dan karakter, bukan sesuatu yang sulit dilakukan.
Pengalaman hidup dalam keluarga besar dan didikan orang tua, memberinya banyak manfaat ketika menjalani bisnis. Ia lebih luwes dalam bernegosiasi dan melakukan eksekusi bisnis.
Cinta Keluarga
Ketika taraf hidupnya mulai membaik, Muhammad Mochlis tidak melupakan keluarga. Sebagai sulung dari sepuluh orang di keluarga, ia menarik keluarganya. Ia mengkuliahkan adik-adiknya. “Dari sembilan orang, ada tujuh orang dikuliahkan hingga sarjana,” ucapnya dengan bangga.
Ia sendiri juga kuliah di Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura. Ia ambil kuliah ekstension. Kuliah malam bagi para pekerja. Ketika orang lain nongkrong di kantin atau tak masuk kuliah, ia kuliah dengan serius. Setiap perkuliahan selalu dihadiri. Lulus kuliah, ia mulai menapak dunia baru sebagai pengacara.
Lulus S1, ia menyambung kuliah S2. Linier, jurusan ilmu hukum. Bahkan, saat ini, ia mengikuti program doktor hukum di Untan.
“Pendidikan itu sangat penting,” kata Muhammad Mocklis.
Pendidikan tidak sekadar untuk mencari kerja ketika lulus kuliah. Tapi, pendidikan mengubah mindset atau pola pikir seseorang. Mengubah pola pikir lama menjadi lebih maju. Lebih terbuka. Beradaptasi dengan perubahan dan dunian yang terus maju dan berubah.
Ia memberikan contoh. Di kampungnya, kebiasaan warga ketika buang air besar (BAB), selalu di pinggiran sungai. Sungai menjadi tercemar oleh kotoran manusia. Ia memberikan saran kepada orang tuanya. Sang ayah tidak setuju. Bahkan, ada sedikit ketegangan. Kenapa kebiasaan lama itu, harus diubah.
Ia memberikan penjelasan dengan sabar. Ia juga membangun kakus di rumah orang tuanya. Meski awalnya mendapatkan penolakan, ketika manfaat didapatkan, sang ayah akhirnya juga menggunakan kakus di rumah. Terutama ketika hajat itu datang malam hari.
Tak hanya mengangkat adik-adiknya, ia juga sudah memberangkatkan kedua orang tua menunaikan ibadah haji. Bahkan, membawa orang tua berobat ke Malaysia dan Singapura.
Konsen terhadap pendidikan, membuat Muhammad Mochlis selalu membuat program dan pemberdayaan terkait hal itu. Ia membuat yayasan dan mengurusi anak-anak yang ingin sekolah dan kuliah. Bahkan, ia membuat asrama bagi mereka.
Ada belasan anak dari Melawi dikuliahkan. Sekarang, ada 30 anak dapat bantuan kuliah dan tinggal di asrama. Semua itu mengacu pada satu semangat awal. Bahwa, perubahan lebih mudah dilakukan, bila orang memiliki pendidikan lebih baik.
“Tidak hanya mengubah mindset, tapi kehidupan lebih baik,” kata Anggota DPRD Kalbar, periode 2014-2018. Ia menggundurkan diri, setahun sebelum masa jabatan berakhir.
Ketika menjadi anggota DPRD Kalbar, banyak proyek pembangunan infrastruktur dilakukan di Melawi. Pembangunan jalan, jembatan gantung, sekolah dan lainnya. Hal itu sebagai komitmen terhadap konstituen atau rakyat yang telah memilihnya.
Memiliki Prinsip
Hidup penuh perjuangan sedari remaja dan menapak sukses, tak membuat Muhammad Mochlis kehilangan nilai kemanusiaan. Ia selalu berkaca pada proses hidupnya. Tidak ada sesuatu yang instan atau tiba-tiba. Semua butuh proses. Ada semangat kerja keras yang mesti muncul. Ada nilai dan pedoman yang mesti jadi landasan.
Ketika proses itu berjalan menjadi lebih baik, orang tidak kehilangan akar dan jati diri. Begitu pun ketika proses belum berhasil, ada arah dan tujuan yang tetap jadi patokan. Orang tidak patah arang.
“Hidup itu tentang mengelola perasaan,” kata Muhammad Mochlis, Ketua DPD Partai Keadilan Sejahtera Kabupaten Melawi.
Muhammad Mochlis berfoto bersama mahasiswa dari Kabupaten Melawi di Pontianak.(Ist)
Sebanyak apa pun yang diperoleh seseorang, ketika ada sikap tidak merasa cukup, tidak bakal membuat orang bahagia. Begitu pun sebaliknya. Sedikit apa pun rezeki yang diperoleh, ketika orang bersyukur dan merasa cukup, hal itu dapat membuat seseorang bahagia.
Tak heran bila, ia merasa tidak pernah terpuruk dalam hidup. Sebab, ketika ia merugi dalam bisnis atau dapat masalah terkait keuangan atau apa pun, ia kembalikan pada proses awal yang dimulainya: ia hanya membawa dua celana, dua baju, dan dua celana dalam, ketika datang ke Pontianak.
Ia selalu bersyukur dengan proses hidup yang dijalani.
Itu yang selalu menjaganya. Tetap bersikap bersahaja, tidak hedonis atau mewah dalam hidup. Meskipun, kalau ia mau, apa pun yang diinginkannya, bisa didapatkannya saat ini.
Muhammad Mochlis adalah sebuah kisah, bagaimana keseimbangan hidup bisa raih. Ketika orang memiliki keberhasilan dan pencapaian, namun tetap diimbangi sikap tawaduk atau rendah hati. Sehingga ketika mendapatkan keberhasilan secara materi, tidak bersikap balas dendam pada sejarah, “Kapan lagi menikmati hidup, kalau tidak sekarang.”
Keseimbangan hidup itu mewujud dalam lukisan di halaman depan teras rumahnya. Sekawanan kuda berlari. Ada detail dan bentuk tubuh yang anggun. Namun, memiliki otot yang liat dan tangguh.
Begitu pun sikap dan karakter ‘Petarung dari Tanah Juang” tersebut.(Muhlis Suhaeri)
Penulis : admin
Editor :
Leave a comment