Agus Sudarmansyah: Pengawal Pembangunan Kubu Raya
Wisma Merdeka, Jalan KH Wahid Hasyim, Jakarta, 2002. Suasana rapat pemekaran Kabupaten Kubu Raya mendadak panas. Kericuhan hampir saja terjadi. Seorang pria ‘tak diundang’ memaksa masuk ruang rapat. Pria itu, Agus Sudirmansyah, Ketua DPRD Kubu Raya. Kehadiran tokoh asal Kecamatan Batu Ampar, membuat peserta rapat kaget.
Agus bukan tipe pemarah. Tapi, saat bicara kepentingan rakyat, ia tampil beringas. Ia menerobos masuk ruang rapat, lantaran kecewa. Kecamatan Batu Ampar, satu dari tiga kecamatan di wilayah Mempawah, tak diakomodir dalam rencana pemekaran Kabupaten Kubu Raya. Rencana itu membuat Agus meradang.
Sebagai putra Batu Ampar, ia tak terima diperlakukan tak adil. Wajahnya memerah. Di hadapan peserta rapat, ia berdiri tegak. Dengan nada keras, ia memastikan, tak akan ada pemekaran. Jika, Kecamatan Kubu, Batu Ampar dan Terentang, tak diakomodir.
“Saya potong jari, jika kalian mau memekarkan Kabupaten Kubu Raya dengan meninggalkan tiga kecamatan ini, saya pastikan tak akan terwujud,” kata Agus.
Peserta rapat terdiam.
Pernyataan keras Agus, membuat suasana rapat kian panas. Perang urat sarap tercipta. Untungnya, baku hantam tak terjadi. Sebab, sejumlah pihak bisa ditenangkan. Agus meninggalkan ruangan.
Rapat tak menghasilkan keputusan. Protes Agus membuat tim pemekaran berpikir ulang. Alhasil, tiga kecamatan itu diakomodir, menjadi wilayah Kubu Raya yang bakal dimekarkan.
Kabupaten Kubu Raya resmi dimekarkan tahun 2007, berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2007, ditindaklanjuti dengan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 135/ 2051/SJ tanggal 31 Agustus 2007, perihal Pedoman Pelaksanaan Undang-Undang Tentang Pembentukan Kabupaten.
Peristiwa itu jadi sejarah hidup yang tak pernah dilupakan Agus, saat ditemui Insidepontianak.com, Selasa (3/8/2021), untuk suatu wawancara khusus, setelah janji sebelumnya sempat batal.
“Maaf kemarin, kegiatan padat. Kita sempat janji wawancara, karena kebetulan ada halangan. Hari ini baru bisa,” kata Agus, menyapa saya dengan hangat.
Agus merupakan anggota DPRD Fraksi Partai PDI Perjuangan, Daerah Pemilihan (Dapil) Kecamatan Batu Ampar, Kubu dan Terentang. Pria itu berkepribadian ramah dan berwibawa. Tawanya renyah. Tutur bahasanya lembut. Soal pengalaman, jangan ditanya. Empat periode sudah, ia duduk di kursi DPRD.
Periode pertama, dia mengawal berdirinya Kubu Raya di DPRD Mempawah. Tiga periode berikutnya, ia mengawal pembangunan di DPRD Kubu Raya. Tak salah, ia kini didapuk sebagai Ketua DPRD Kubu Raya, periode 2019-2024.
Bagi Agus, berada di posisi sekarang, tak pernah ada dalam pikiran. Ia tak pernah bermimpi, apalagi merencanakan. Seperti air, semua mengalir begitu saja.
Agus kecil hanya bercita-cita menjadi pengusaha sukses. Cita-cita itu tak kesampaian. Garis tangan mengantarkannya, sebagai wakil rakyat. Kuncinya, mampu beradaptasi dan bersosialisasi. Kepentingan semua orang harus diakomodir.
Agus telah membuktikan. Demokrasi perlahan tumbuh dengan baik. Orang melihat komitmen dan kerja keras dari tokoh yang terpilih sebagai dewan. Ia mencontohkan dirinya.
Ayahnya, Hermansyah Ransyah berasal dari suku Dayak. Ibunya, Irmawati, etnis Tionghoa. Keduanya beragama Islam, dan suku minoritas di Batu Ampar. Wilayah itu, sebagian besar adalah suku Melayu, Bugis dan Madura.
“Alhamdulilah, empat periode duduk sebagai anggota DPRD, dapat perolehan suara terbanyak,” ujarnya.
Politik identitas perlahan hilang. Dia bisa diterima.
Merantau ke Berbagai Daerah
Agus lahir di Putusibau, 13 Agustus 1970. Ia tumbuh besar di Batu Ampar. Anak ketiga dari lima bersaudara ini, sedari kecil, terbiasa mandiri. Agus biasa hidup di pasar.
Ia pernah jadi kuli panggul hingga merantau ke Sintang, sebagai kernet truk pengangkut pasir batu. Semua dilakoni demi menyambung hidup.
Sejak duduk kelas 3 SD di Batu Ampar tahun 1977, ia jualan es keliling. Ia ingin bantu biaya pendidikan. Pekerjaan itu dilakoni hingga lulus SMP Yayasan Karya Bersama (YKB) Batu Ampar, 1983.
Setelah pulang dari sekolah, ia bantu mengalirkan air ke pelanggan. Maklum, kampungnya jauh dari air bersih. Tak ada Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), kala itu. Semua dilakoni agar beban ekonomi keluarga, tak terasa berat.
“Kami itu keluarga yang bisa dibilang miskin,” kata dia.
Di tengah keterbatasan ekonomi, soal pendidikan Hermansyah selalu bertanggung jawab. Kelima anaknya harus sekolah, agar ada bekal ilmu pengetahuan untuk masa depan. Ketika ekonomi sulit, tak ada harta yang dapat ditinggalkan, selain ilmu.
“Kalian kalau berharap warisan, harta dari bapak tak ada. Tapi, yang bapak wariskan ke kalian adalah ilmu. Sekolahlah kalian, sesuai keinginan kalian,” cerita Agus menirukan ucapan orang tuanya.
Hermansyah pun mendidik kelima anaknya dengan nilai-nilai demokratis. Diberi kebebasan, termasuk saat memilih sekolah. Agus ingat betul, saat lulus SMP tahun 1983. Ia anak dari Batu Ampar, yang pertama keluar ‘kandang’ dan menginjakkan kaki ke Kota Pontianak. Sang ayah membawanya ke rumah bibi di Gang Mempelam, Sungai Jawi Luar, Pontianak Barat.
Agus diberi kebebasan memilih sekolah. Pilihan ayahnya hanya jadi alternatif. Namun, ia tak memaksa anak.
“Kau pilihlah sekolah yang kau mau. Ada STM depan sana. Ada juga SUPM. Ini sekolah baru, kau coba jak dulu. Kalau semuanya tak lolos, kasih tahu bapak. Ada kawan bapak di sekolah Abdi Wacana. Kau boleh masuk situ,” kata Hermansyah, kala itu.
Pagi harinya, Hermansyah pulang kampung. Agus hanya diberi uang Rp30 ribu, untuk biaya administrasi. Ketika datang ke sekolah untuk mendaftar, Agus terpukau dengan bangunan yang megah sekali.
Ia pun menjatuhkan pilihan ke Sekolah Usaha Perikanan Menengah (SUPM). Tamat tahun 1986, membuatnya harus bekerja. Sebab, melanjutkan pendidikan di Perguruan Tinggi Ekonomi, keluarga tak mampu.
Agus mengalah. Ada dua adiknya butuh biaya pendidikan.
“Saya akhirnya cari kerja,” kata dia
Ternyata, mencari pekerjaan tidak mudah. Agus melamar sejumlah pekerjaan. Ia mendatangi beberapa perusahaan. Namun, tak pernah diterima. Usai jadi kernet truk pengangkut pasir dan batu, Agus ikut ayahnya ke Putussibau.
Namun, di sana pun tak segera dapat pekerjaan. Merasa ijazah SMA-nya belum termanfaatkan, Agus nekat ke Jakarta, tahun 1992. Enam bulan di Jakarta, ia luntang lantung. Kerja tak kunjung dapat. Pergaulan Agus makin bebas.
“Hari-hari kumpul bersama anak kaki lima. Pergaulannya agak bebas. Belum juga dapat kerjaan tetap,” kata dia.
Akhirnya, ditengah pengaruh alkohol, nasihat bijak dari teman sekampung terucap. Agus diminta pulang dan membangun kampung halaman. Tak ada gunanya bertahan dengan bergaul bebas di Jakarta. Di kampung, banyak lahan belum tergarap. Untuk makan tak susah, dari pada harus mencari yang belum pasti.
“Akhirnya, mantap pulang,” kata dia.
Berada di kampung, Agus sempat jadi orang pasar. Sampai akhirnya, mulai usaha perkayuan, 1995. Kala itu, potensi perkayuan Batu Ampar sangat potensial. Ia mengurus pekerjaan di PT Golek, atau sekarang disebut illegal logging.
“Dulu kite tebang kayung di hutan, dan menjualnya ke perusahaan. Saya bawa anak buah. Istilahnya rombongan kecil. Nebang kayu sendiri,” terangnya.
Usaha itu sempat mengantarkannya pada kejayaan. Ia sempat punya kapal. Beban ekonomi keluarga terbantu. Namun, kejayaan Agus tak berlangsung lama.
Kemarau panjang tahun 1997, membuat usaha Agus terhenti. Potensi hutan tak lagi bisa dimanfaatkan. Usahanya gulung tikar. Akhirnya, ia memilih kuliah di Universitas Terbuka, tahun 2000.
Anak Banteng
Agus Sudirmansyah, sejak kecil terbiasa beraktivitas politik. Ia ikut orang tuanya, kemanapun pergi, terutama saat kampanye pemilu. Sang ayah, Hermansyah dikenal sebagai aktivis kampung. Tokoh yang disegani di Batu Ampar.
Karakternya pemberani. Dia penyambung lidah warga. Apalagi saat tak ada yang memperhatikan kondisi sosial ekonomi masyarakat, lewat tulisanya sebagai jurnalis. Ia menyampaikan aspirasi warga.
Hermansyah pengurus Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan, Kecamatan Batu Ampar. Di sanalah, prinsip demokrasi dari rakyat, untuk rakyat, mulai tersemai dan tumbuh.
Dia selalu ingat pesan itu. Bahwa, demokrasi lahir dan tumbuh di masyarakat. Sang ayah selalu membicarakan itu, saat bertemu warga. Ketika masa kampanye tiba, ayahnya turun gunung. Dia ikut nyaleg.
Agus kebagian tukang teriak. Pasang umbul-umbul, hingga angkut bambu untuk pasang bendera Moncong Putih, PDIP. Tak jarang, dia bolos sekolah. Padalah, ia tak mengerti hakikat politik.
“Saya waktu itu belum paham politik. Cuma, suke jak lihat orang ramai,” kata dia.
Beberapa kali nyalon, selalu gagal. Nasib sang ayah, sepertinya tak di politik. Hermansyah berjiwa besar. Dia bisa menerima kekalahan, sebagai konsekuensi dari demokrasi. Namun, ia tak pernah menyerah. Walau hanya sebagai pengembira, agar demokrasi terus berkembang.
Saat Hermansyah meninggal, darah politik itu, turun ke Agus. Politik dipilih sebagai sarana perjuangan. Keterpanggilan itu berawal dari kondisi kampung halaman yang terisolir. Pembangunan infrastruktur tak merata. Sumber daya manusia (SDM) yang mengawal pembangunan minim sekali.
Cita-cita menjadi pengusaha sukses, ia tepikan. Selain menjawab mimpi masyarakat, ada perjuangan sang ayah yang harus dilanjutkan. Tugas itu harus dituntaskan. Ada amanah mesti dijalankan.
“Motivasi ingin bantu masyarakat. Saya ingin, bisa bangun kampung halaman lebih baik,” katanya.
Agus memantapkan langkah di kancah politik, tahun 1992. Pilihan politiknya, seperti sang ayah, PDI Perjuangan. Pilihan itu bukan karena didekte. Namun, didasari hati nurani terdalam. Sebab, pengalaman bersama partai berlambang Banteng, sejak kecil membuatnya memiliki kesamaan ideologis dan pandangan politik.
Ia yakin, bersama Banteng, sebutan PDIP, dia bisa mengawal pembangunan. Pilihan itu tak salah. Tahun 1997, kariernya terus naik. Ia menjadi Ketua Pimpinan Anak Cabang (PAC) PDIP Batu Ampar. Di sanalah karier politik Agus mulai tertata.
Suasana reformasi tahun 2004, Agus nekat nyaleg. Dia maju dari Kecamatan Batu Ampar, Kubu dan Terentang merebutkan kursi parlemen Kabupaten Mempawah. Tak disangka, jalanya mulus. Dia meraih 3 .000 lebih suara. Hasil itu mengantarkannya sebagai wakil rakyat.
“Alhamdulilah, saya langsung terpilih menjadi anggota DPRD Kabupaten Mempawah,” kata Agus.
Pengawal Pembangunan
Agus Sudirmansyah merupakan pengawal pembangunan Kabupaten Kubu Raya. Ia terlibat langsung dalam berbagai proses lahirnya, hingga terpilih sebagai anggota dewan, selama empat periode.
Ketika menjadi anggota dewan periode pertama, ia memaksimalkan upaya pemekaran Kabupaten Kubu Raya di parlemen. Anggota DPRD asal Kubu Raya, diajak bicara agar satu suara.
Tak terkecuali, Bupati Mempawah saat itu, Agus Salim. Imbal baliknya, DPRD mengakomodir dan menyukseskan kebijakan pemerintah daerah.
“Komitmen kita saat itu, mendukung proyek strategis beliau (bupati), karena kunci pemekaran inikan di bupati. Kalau bupati oke, selesai,” kata dia.
Strategi itu membuahkan hasil. Bupati Agus Salim mendukung. Begitu pun Ketua DPRD Mempawah, Rahmat Satria. Keduanya satu suara. Agus bernafas lega. Jika kemungkinan terburuknya adalah voting, Agus masih merasa diuntungkan.
“Akhirnya, pemekaran tak bisa dielakkan. Kubu Raya resmi terbentuk, sebagai kabupaten hasil pemekaran dari Kabupaten Mempawah tahun 2007,” terangnya.
Berdirinya Kubu Raya, berdampak pada pemerataan pembangunan. Kesejahtraan masyarakat semakin baik. Di kursi legislatif, dia terus mengawal pembangunan, dalam kapasitasnya sebagai Ketua DPRD agar ‘Kubu Raya Menanjak’.
Ada satu kekecewaan masih mengganjal dalam hatinya. Aspirasinya, agar Kubu Raya memiliki kawasan pemukiman ideal, belum terwujud. Padahal, sejak awal ia sudah meneriakkan, agar Kubu Raya memiliki kawasan perkantoran pemerintahan.
“Ini yang sangat saya sayangkan. Padahal, dari awal selalu saya teriakkan, dan saya bawa dalam rapat-rapat, serta ditekankan kepada birokrat mulai dari Bappeda,” ujarnya.
Kubu Raya sebagai kabupaten baru, harusnya dapat menyiapkan sebuah lahan pemerintahan. Ada kantor bupati, gedung DPRD, dan instansi pemerintahan dalam satu kawasan. Semuanya di situ.
Adanya kawasan pemerintahan, kata Agus, masyarakat akan terbantu. Kordinasi mudah dilakukan. “Sekarang masing-masing dinas berjauhan. Itu kan susah,” kata dia.
Untuk mewujudkan mimpi itu sekarang, Agus pesimis. Jumlah lahan semakin sempit. Harga tanah kian mahal, jadi kendala utama.
Keluar Zona Nyaman
Empat periode duduk sebagai anggota DPRD, sejumlah pihak menggadang-gadang, Agus maju ke kursi Bupati Kubu Raya. Modal politik telah ia miliki. Pengalaman matang di legislatif dan Ketua DPC PDI Perjuangan Kubu Raya, juga sudah dikantongi.
Agus tak tergesa-gesa beri jawaban. Hanya normatif saja. Layaknya keharusan menjawab sebuah pertanyaan.
“Keinginan ada. Tapi, saat ini saya masih konsen kerja. Kedepan, saya ingin meninggalkan zona nyaman ini. Saya ingin ke DPRD Provinsi Kalbar, kalau partai menghendaki,” kata Agus.
Untuk melangkah ke ranah eksekutif atau kepala daerah, Agus belum memiliki rencana. Selain itu, dia ingin fokus sebagai Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) PDIP. Ia menargetkan, tahun 2024. Saat ini, kursi DPRD Kubu Raya berjumlah delapan, bisa ditingkatkan menjadi 11 kursi.
Agus Sudarmansyah bukan tokoh politik biasa. Dia punya mimpi dan target jelas. Ia sadar, kesuksesan butuh kerja keras. Namun, tidak ada yang tidak mungkin. Semua bisa diraih. Modal semangat, pantang menyerang dan siap gagal. Semua itu berlaku di setiap bidang profesi. Dan, Agus telah membuktikan itu. (Andi Ridwansyah)
Penulis : admin
Editor :
Leave a comment