Prancis Perketat Aturan Bermedia Sosial bagi Anak di Bawah 15 Tahun

27 Desember 2024 11:48 WIB
Ilustrasi bermaian media sosial/PIXABAY

Paris, insidepontianak.com - Prancis, sejak 2023, telah mewajibkan anak-anak di bawah usia 15 tahun untuk mendapatkan izin orang tua sebelum mendaftar di platform media sosial.

Platform tersebut juga diwajibkan menerapkan sistem verifikasi untuk memastikan izin tersebut benar-benar diperoleh.

Berdasarkan data dari Asosiasi e-Enfance untuk Perlindungan Anak Daring, 82 persen anak di bawah umur di Prancis terpapar konten berbahaya secara daring, seperti penjualan narkoba, senjata, serta gambar dan video yang tidak pantas.

Penggunaan media sosial juga memicu meningkatnya kasus perundungan verbal dan pengucilan sosial di sekolah.

Laporan e-Enfance tahun 2023 mencatat bahwa 67 persen anak usia 8-10 tahun dan 86 persen anak usia 8-18 tahun di Prancis menggunakan media sosial.

Satu dari empat keluarga di Prancis mengalami perundungan siber. Anak-anak yang menjadi korban perundungan itu mengalami berbagai dampak buruk, dengan 51 persen menghadapi masalah pendidikan, sementara 52 persen lainnya mengalami gangguan tidur dan kehilangan nafsu makan.

Dengan meningkatnya paparan anak-anak terhadap internet dan risiko yang ditimbulkan, pemerintah Prancis mengambil langkah-langkah untuk melindungi kesehatan dan hak-hak anak.

Langkah tersebut meliputi memerangi perundungan dan perundungan siber di sekolah, mencegah akses anak-anak terhadap konten yang tidak pantas, mewajibkan verifikasi usia untuk situs tertentu dan mempertimbangkan dampak kesehatan mental akibat konten digital yang merugikan anak-anak.

UU Perlindungan Anak di medsos

Undang-undang yang disahkan pada 2023 mewajibkan anak-anak di bawah usia 15 tahun untuk mendapatkan izin orang tua sebelum mendaftar di platform media sosial.

Platform yang melanggar aturan ini dapat dikenakan denda hingga 1 persen dari pendapatan globalnya. Selain itu, orang tua dapat meminta platform untuk menangguhkan akun media sosial anak mereka yang berusia 15 tahun.

Laura Morin, Direktur Jenderal Asosiasi L’Enfant Bleu, mengatakan sejak 1989 organisasinya telah menangani berbagai bentuk korban kekerasan terhadap anak, termasuk kekerasan fisik, seksual, psikologis, dan penelantaran berat.

Menurut Morin, lemahnya regulasi hukum menuntut para orang tua dan orang dewasa untuk lebih berhati-hati dalam mengawasi aktivitas internet anak-anak mereka.

Ia menekankan pentingnya kesadaran untuk mendorong orang tua agar membimbing anak-anak mereka.

Morin menjelaskan bahwa banyak orang tua tidak menyadari bahwa membagikan foto anak mereka di media sosial sama dengan mendistribusikan foto tersebut kepada orang asing di jalan.

Risiko akun medsos anak

Morin menyoroti bahwa anak-anak dapat membuat akun media sosial sejak usia delapan tahun, sebuah situasi yang ia samakan dengan anak-anak yang berkeliaran di jalan tanpa perlindungan.

Ia juga mengingatkan bahwa secara daring, orang dewasa dapat berpura-pura menjadi anak-anak dan sulit dikenali oleh anak-anak.

Hal ini sering kali berujung pada kepercayaan yang disalahgunakan, bahkan permintaan untuk mengirimkan foto tidak senonoh.

Morin menjelaskan bahwa pelaku kekerasan seksual kerap mendapatkan kepercayaan anak dengan berpura-pura menjadi “teman terbaik” atau “pendengar setia.”

Setelah itu, mereka mulai meminta hal-hal yang tidak pantas.

Anak-anak yang terjebak dalam situasi ini menjadi semakin rentan.

Untuk itu, organisasi Morin berupaya meningkatkan kesadaran, mendukung para orang tua, dan membantu mereka membangun komunikasi yang sehat dengan anak-anak mereka terkait bahaya internet.

Morin menyarankan agar anak-anak tidak dibiarkan sendirian dengan perangkat digital. “Ponsel, tablet, dan komputer adalah jendela ke dunia, dan anak tidak boleh dibiarkan menggunakannya tanpa pengawasan,” katanya.

Ia juga menyoroti bahwa kontrol orang tua pada perangkat lunak sering kali tidak cukup karena anak-anak dapat menemukan cara untuk melewati batasan tersebut.

Jejak Digital Anak

Morin mencatat bahwa meski media sosial secara teori melarang anak-anak di bawah usia 13 tahun, banyak anak tetap bisa membuat akun dengan memasukkan tanggal lahir palsu.

“Akibatnya, anak-anak sangat muda sudah memiliki akun media sosial; bahkan ada yang mulai sejak usia delapan tahun,” ujarnya.

Ia menyebutkan bahwa pada usia 13 tahun, seorang anak rata-rata memiliki sekitar 1.300 foto yang tersebar secara daring.

Morin mengingatkan bahwa foto-foto yang diunggah orang tua tentang anak-anak mereka di internet sulit untuk dihapus sepenuhnya.

Oleh karena itu, ia menegaskan pentingnya langkah pencegahan dan pengawasan dari pihak keluarga. (ant)


Penulis : REDAKSI
Editor : Wati Susilawati

Leave a comment

jom

Berita Populer

Seputar Kalbar