Mengenal Ludruk di Jawa Timur: Budaya 'Kritik" Di Tengah Pusaran 3 Narasi
Insidepontianak.com - Kesenian ludruk sangatlah kental di Jawa Timur, tak ayal pertunjukannya pun sangat diminati. Bisa dikatakan panggung budaya ini bisa diakses dari segala golongan, khususnya kelas ekonomi bawah.
Khsusnya pada abad-20, maklum di jaman itu orang yang memiliki televisi hanya segelintir saja, mereka lebih memilih pertunjukan ludruk atau pegelaran wayang kulit sebagai alternatif hiburan.
Ludruk merupakan seni pertunjukan yang berbasis folklore (penyampaian materi lewat cerita), kidung (lagu jawa), dan lawakan para pemain. Dengan metode seperti itu orang-orang menyukai kesenian ini, terutama warga Jawa Timur.
Cerita yang ditampilkan di acara ludruk sangatlah beragam, mulai dari hiburan semata, kampanye politik, atau bahkan hegemoni ideologi.
Menurut Ikwan Sutiawan dan Sutarto, dalam artilelnya yang berjudul 'Transformation of Ludruk Performances: from Political Involvement and State Hegemony to Creative Survival Strategy', kesenian Jawa Timur ini mengalami tarik ulur di jaman yang berbeda.
Pada masa kolonialisme, ludruk digunakan sebagai sarana kritik keras terhadap pemerintahan kolonial, dan mengangkat isu-isu kesenjangan sosial pada masa itu.
Ketika Indonesia merdeka dan Soekarno naik takhta, ludruk menjadi sarana penyampaian identitas kebangsaan, namun ketika Presiden pertama ini mulai akrab dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) kesenian Jawa Timur ini menjadi pemasaran ideologi Komunis.
Setelah rezim Orde Lama runtuh, Soeharto dengan membawa misi pembangunan di Indonesia memakai ludruk sebagai penyebar narasi pemerintahan.
Melawan Penjajahan dengan Ludruk
Sebelum Indonesia merdeka, sekelompok pemuda mendirikan organisasi ludruk pertama pada tahun 1930. Inisiasi ini datang dari seorang seniman Jawa Timur yang biasa dipanggil Cak Durasim (Gondo Durasim).
Sama halnya dengan pejuang revolusi kemerdekaan seperti Seokarno, Moh. Hatta, Tan Malaka yang membangkitkan semangat juang dengan memepovokasi pribumi melawan pemerintahan Kolonial Belanda (Kompeni). Cak Durasim membangkitkan semangat juang lewat ludruk.
Melihat kesengsaraan saudaranya sebangsa ditindas oleh sistem Kompeni, dia suka menyuguhkan pertujunkan kesenian yang menyinggung tentang ketimpangan ekonomi, pendidikan bahkan penataan kelas sosial berbasis segregasi ras.
Di tahun 1940 pertunjukan ludruk dilarang oleh pemerintahan kolonial. Pelarangan ini dikarenakan Kompeni melihat kesenian asal Jawa Timur ini membawa angin segar kepada para pemberontak Belanda.
Terutama kelompok Cak Durasim yang sangat getol menyebarkan semangat perjuangan.
Pelarangan itu tidak berselang lama setelah Jepang mengalahkan pasukan Sekutu, Indonesia jatuh ke tangan pemerintahan Nippon di tahun 1942. Kekaisaran jepang merestorasi segala hal yang berkaitan dengan sistem Kolonial Belanda, termasuk ludruk mulai diperbolehkan kembali tampil di publik.
Di bawah pemerintahan kolonial Jepang, ludruk dilegalkan, banyak artis-artis baru bermunculan di panggung-panggung kesenian. Hal ini merupakan strategi Nippon untuk memikat warga Indonesia mendukung mereka.
Berlangsungnya angin segar bagi ludruk tidak permanen di bawah Jepang, ternyata mereka menggunakan kesenian ini sebagai kampanye untuk mendukung kolonialisme ala jepang. Terutama penyebaran slogan Jepang lewat jargonnya Great Eastern Asia (Asia Timur Raya).
Jargon tersebut digaungkan untuk menipu penduduk AsiaTenggara agar tunduk dibawah penindasan Jepang, terutama dalam ambisinya menaklukkan seluruh Negeri Asia Timur.
Pada masa itu Cak Durasin masih aktif menyulut jiwa pemberontak kepada semua kolonialisme Belanda ataupun Jepang. Salah satu guyonan khasnya adalah frasa "pagupon omae doro, melu Nippon tambah sengsara," (pagupon rumahnya doro/tuan, ikut Jepang tambah sebgsara).
Kerasnya kritikan Cak Durasim membuat pemerintah Jepang geram, iapun ditangkap dan dipenjarakan sampai akhir hayatnya.
Nuansa Ludruk di bawah Narasi PKI
Dalam menebarkan ideologi komunis lewat kesenian pada masa itu, PKI mempunyai wadah yang bernama Lekra. Institus kebudayaan ini juga memakai ludruk sebagai metode kampanye ideologi mereka.
Berbeda dengan masa kolonial, arah kritik ludruk di bawah Lekra tidak lagi menyasar penjajahan. Target mereka lebih ke ranah isu-isu ketimoangan kelas dan refromasi agraria.
Selain itu, ketika Soekarno masih akrab dengan para petinggi PKI, Lekra membawa ludruk untuk mensuport segala programnya.
Dibawah Lektra ludruk menjadi sasaran kebencian umat Islam terutama ketika menampilkan pertunjukan yang mengkritik para tokoh agama Islam, tema-temanya pun sangatlah kontroversi.
Beberapa pertunjukannya di Jawa Timur yang membuat warga NU geram selalu membawakan tentang ketuhanan atau kultus-kultus yang disucikan seperti 'Kawine Malaikat Jibril' (Kawinnya Malaikat Jibril), 'Gusti Allah Jadi Manten' (Tuhan Allah Jadi Pengantin), dan 'Gusti Allah Ngundu Mantu' (Tuhan Allah Punya Menantu).
Sebenarnya materi ludruk yang dibawakan kesenian Jawa Timur tersebut bertujuan mengkritik Kyai (pemuka agama islam) yang dianggap sebagai simbol kelas borjuis pada masa itu.
Lekra membawakan tema-tema kritis lewat survey yang dilakukan para peniliti pentolan PKI yang turun ke lapangan, sebagaimana dibenarkan oleh Eko Edy Susanto dalam bukunya 'Karya Budaya'.
Ludruk dalam Kungkungan Orba
Di zaman Soeharto berkuasa, ludruk mendapatkan ruh baru. Militer menguasai segala aspek milik pemerintahan sebelumnya, terkait kesenian Orba juga membuat tandingan Lekra dalam pertunjukan ludruk.
Ludruk pun menjadi lidah Orba untung mencapai hegemoni politiknya, penyensoran materi lawakan yang dibawakan dipanggung semakin ketat. Akibat kebijakan itu, banyak para seniman kebudayaan kehilangan kebebasan ekspresi mereka.
Bukan berarti kondisi di bawah Orba tidak ada celah untuk mendapatkan kebabasan dalam kesenian. Banyak artis ludruk asal Mojokerto (Karya Budaya), Jombang (Kartika Jaya), dan daerah lain lebih memiling manggung di pedesaan, karena di kota intel pemerintah berkeliaran.
Pementasan ludruk di desa terus digencarkan oleh artis kebudayaan untuk membangun keaktifan berpikir kritiskritis. Hal ini disebabkan ketakutan mereka akan berakhir di penjara.
Kekhawatiran itu berakhir ketika masa pemerintahan Orba tumbang di era Reformasi, mereka pun berani kembali manggung di kota besar.
Kini kesenian ini masih eksis sampai sekarang seperti Grup ludruk Wahyu Budaya, Teratai Jaya, Putra Baru, dll.
Pastinya kesenian ludruk masa kini, mengikuti sesuai arus jaman dimana mereka manggung. Meski mulai ditinggalkan zaman, namun keberadaan ludruk Jawa Timur ini masih tetap menujukkan eksistensinya. ***
Penulis : admin
Editor :
Leave a comment