Orang Rimba dalam Pusaran Perubahan Iklim (Bagian I)
Minan (50), termangu di pagi hari. Langit yang cerah, tapi membuat Tumenggung yang tidak mengenakan pakaian itu terlihat gerah, bulir-bulir keringat muncul di kulitnya. Minan risau dengan suara batuk anak-anak yang tidak henti. Udara panas di bawah pondok-pondok kebun sawit tempat mereka menumpang itu terasa pengap, semakin meriuhkan batuk yang bersahutan.
Minan adalah kelompok Orang Rimba, suku pedalaman di Jambi, yang tinggal di kebun sawit warga Desa Rejo Sari Kecamatan Pamenang Kabupaten Merangin. Kelompok ini terdiri dari 9 KK. Hidup dalam pondok-pondok sederhana beratapkan terpal berlantaikan jejeran kayu kecil ataupun pelepah sawit.
“Akeh harop ko bebudak iyoy, beik, Hopi sakit lagi (Saya berharap anak-anak ini segera sembuh, tidak sakit lagi),”ujar Minan, Tumenggung (pemimpin) di kelompok ini.
Batuk di kelompok ini sudah berlangsung cukup lama. Awalnya dikira batuk biasa. Hanya saja, pada 2022 lalu, ditemukannya satu anak meninggal dunia dengan status positif TBC.
Awalnya pasien sempat menjalani pengobatan, setelah hasil laboratorium menunjukkan positif TB paru.
Hanya saja, Orang Rimba yang belum terbiasa untuk pengobatan dengan jadwal obat yang teratur cukup sulit untuk konsisten meminum obat inilah yang menyebabkan penyakitnya makin parah dan berujung kematian.
Dengan adanya kasus ini, KKI Warsi, lembaga yang aktif melakukan pendampingan masyarakat adat bersama dengan Dinas Kesehatan Kabupaten Merangin dan dokter misionaris, melakukan pemeriksaan menyeluruh pada anggota kelompok Minan. Hasilnya 9 anak positif TBC dan 2 orang kontak erat dan kuat indikasi berpotensi tertular.
“Dengan kondisi ini, dilakukan perundingan dengan kelompok, dan dibuat kesepakatan untuk melakukan pengobatan,” kata Astri Manurung Fasilitator Warsi yang mendampingi Kelompok Minan.
Pengobatan TB Paru yang mengharuskan adanya keteraturan meminum obat dengan dosis tertentu dan jam yang sama setiap harinya, membutuhkan komitmen dari yang sakit dan juga keluarganya.
Butuh waktu yang cukup panjang, sehingga akhirnya ada komitmen untuk meminum obat teratur terhadap 11 pasien TBC.
Fasilitator Warsi yang bertugas di kelompok ini menjadi pengingat untuk mereka meminum obat. Naik turun semangat komunitas dalam menjalankan pengobatan harus terus di dampingi dan membantu mereka menjelaskan atas setiap dampak ikutan yang mungkin muncul.
Minan, hanyalah satu dari ribuan Orang Rimba di Provinsi Jambi yang saat ini mengalami kondisi yang memprihatinkan, utamanya Orang Rimba yang tinggal menumpang dalam kebun-kebun sawit warga ataupun perusahaan.
Orang Rimba dengan budaya berburu dan meramu hasil hutan, kehilangan sumber penghidupan ketika hutan mereka telah berubah menjadi perkebunan sawit.
Dulunya, lokasi yang menjadi tempat hidup Minan dan anggota kelompoknya adalah hutan lebat, yang mereka sebut dengan nama Kubang Ujo.
Penamaan Kubang Ujo mengacu pada nama tempat kubangan tempat pemandian gajah yang disebut dengan ujo.
Kini tidak ada lagi bekas gajah ditemukan di wilayah itu. Sejak bergantinya hutan di wilayah itu menjadi perkebunan sawit besar dan lengkap dengan lahan plasma untuk warga transmigrasi yang didatangkan dari luar Sumatera.
Perubahan hutan ini, telah mengantarkarkan Orang Rimba pada kemelaratan yang tidak berkesudahan, dan menyebabkan mereka sangat rawan dengan beragam penyakit yang menginggahi mereka.
“Penyakit makin beragam dan kondisi perekonomian yang sangat sulit menjadikan kami sulit untuk berpenghidupan,” kata Minan. (Ril)***
Penulis : admin
Editor :
Penulis : admin
Editor :
Tags :
Berita Populer
1
Seputar Kalbar
3
Leave a comment