Peringatan 61 Tahun Wiji Thukul: Aku Masih Utuh dan Kata Kata Belum Binasa
JAKARTA, insidepontianak.com - Komite Perlawanan Rakyat (Kompera) gelar peringatan 61 Tahun Wiji Thukul, bertajuk: Aku Masih Utuh dan Kata-Kata Belum Binasa, Senin (26/8/2024).
Peringatan 61 Wiji Thukul ini dilaksanakan di kantor pusat Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), bersamaan dengan peringatan Hari Anti Penghilangan Paksa Internasional.
Kegiatan ini diawali dengan kegiatan pembacaan puisi. Setelah ditu dilanjugkan diskusi, dan pemutaran film berjudul: Istirahatlah Kata-Kata.
Adapun Wiji Thukul yang bernama asli Wiji Widodo, merupakan penyair dan pejuang demokrasi. Dia lahir pada 26 Agustus 1963. di Kampung Sorogenen, Solo, Jawa Tengah.
Seniman dan aktivins asal Kampung Sorogenen, Solo, Jawa Tengah itu tumbuh dalam lingkungan sosial masyarakat terpinggirkan.
Sejak SD, Wiji sudah menulis puisi. Ketika SMP, ia mulai tertarik pada dunia teater. Puisi-puisi Wiji Thukul menjelma sebagai simbol perlawanan gerakan mahasiswa dan rakyat terhadap Orde Baru Soeharto.
Puisinya kerap bergema dalam berbagai aksi massa. Bahkan, puisinya yang berjudul "Peringatan" dikutip menjadi slogan gerakan dengan kalimat yang penuh gelora: Hanya ada satu kata, lawan!
Wiji Thukul sadar pentingnya organisasi sebagai alat gerakan untuk memperkuat barisan perlawanan terhadap kediktatoran Orde Baru.
Wiji Thukul bersama para seniman dan intelektual kerakyatan lantas memprakarsai berdirinya Jaringan Kerja Kesenian Rakyat (Jaker) pada 1994 dan dipercaya menjadi ketuanya.
Kali terakhir Wiji Thukul membaca puisi di depan publik adalah ketika deklarasi Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang digelar di kantor pusat YLBHI Jakarta pada 22 Juli 1996.
Tak lama kemudian terjadi peristiwa 27 Juli 1996. Kantor Partai Demokrasi Indonesia (PDI) pro Megawati di Jalan Diponegoro Jakarta diserbu oleh orang-orang berambut cepak.
Banyak korban berjatuhan akibat tragedi berdarah itu. Beberapa hari kemudian, PRD dinyatakan sebagai organisasi terlarang oleh Orde Baru Soeharto. Sejak saat itu, para pimpinan PRD dan ormas pendukungya menjadi buronan politik negara.
Wiji Thukul harus bersembunyi ke berbagai tempat untuk menghindari buruan aparat. Situasi persembunyian Wiji Thukul ini tergambarkan dalam film: Istirahatlah Kata-Kata.
Pada Januari 1998, sang istri, Sipon mengatakan bahwa ia terakhir bertemu Wiji Thukul di Stasiun Solo Balapan, Solo.
Usai pertemuan itu, Wiji Thukul harus kembali sembunyi ke berbagai kota, sampai akhirnya hilang tanpa jejak.
Pada 1999, pengurus PRD membuat tim investigasi untuk memastikan keberadaan Wiji Thukul. Kesimpulan tim, sang penyair dinyatakan sebagai korban penghilangan paksa.
Pada 20 Maret tahun 2000, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), menyebut hilangnya Thukul terkait dengan peristiwa penghilangan paksa aktivis reformasi menjelang kejatuhan Presiden Soeharto pada 1998.
Nama Wiji Thukul masuk sebagai korban penghilangan paksa saat Komnas HAM melakukan penyelidikan atas kasus penculikan aktivis 1997-1998.
Dari penyelidikan tersebut, Komnas HAM menemukan ada 13 aktivis yang masih hilang selama periode 1997-1998, termasuk Wiji Thukul.
Pada 2007, DPR RI membentuk Panitia Khusus (Pansus) Penanganan Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa. Pada September 2009, Pansus ini mengesahkan empat rekomendasi:
Pertama, kepada Presiden untuk membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc. Kedua, membentuk tim pencarian aktivis yang masih hilang. Ketiga, memberikan reparasi dan kompensasi pada keluarga korban.
Keempat, meratifikasi konvensi anti-penghilangan paksa. Sampai hari ini, empat rekomendasi tersebut belum dipenuhi negara.
Janji Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menemukan Wiji Thukul dan kawan-kawan, hidup atau mati, belum dilaksanakan.
Peringatan ulang tahun ke-61 Wiji Thukul berlangsung setelah Pilpres 2024. Yang dimenangkan Prabowo Subianto.
Di pemerintah ke depan, penyelesaian kasus orang hilang dalam peristiwa 1998, diyakini akan semakin sulit, sebab tokoh yang pernah terlibat dalam penghilangan paksa menjadi pemimpin di negeri.
Untuk melicinkan pelantikan presiden Oktober nanti, Prabowo melalui Sufmi Dasco Ahmad, Ketua Harian DPP Partai Gerindra, melakukan transaksi politik dan difasilitasi broker politik bernama Mugianto.
Mugiyanto yang kini bekerja di Kantor Staf Presiden (KSP) dan pernah jadi korban penculikan, mengorganisir pertemuan dengan perwakilan keluarga korban dengan Dasco di Hotel Fairmont Jakarta pada 1-3 Agustus lalu. Pertemuan tersebut disertai pemberian uang tali kasih senilai Rp1 miliar dari Dasco.
"Kehadiran Mugiyanto sebagai pejabat publik dari KSP yang diduga juga menerima uang tali kasih Rp1 miliar dapat diduga sebagai gratifikasi,” kata Wilson, Dewan Penasehat Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI).
“Komisi Pemberantasan Korupsi harus memanggil Mugiyanto untuk dimintai keterangan. Pimpinan KSP juga harus memnggilnya karena patut diduga telah melanggar kode etik KSP," lanjutnya.
Wahyu Susilo, adik kandung dari Wiji Thukul, menganggap, pertemuan itu tidak mewakili keluarga dari aktivis yang hilang.
“Dan sampai kini, kami akan terus konsisten menuntut negara, termasuk untuk meminta adanya pertanggungjawaban Prabowo dalam kasus orang hilang," katanya.***
Penulis : Redaksi/ril
Editor : Abdul Halikurrahman
Leave a comment