Pelaku Budaya: Kebudayaan Menjunjung Tinggi Budi Pekerti dan Rendah Hati

1 September 2024 06:40 WIB
Pelaku Budaya Topeng Losari, kesenian asal Cirebon, Jawa Barat, Nur Anani M Irman (kiri), bersama peserta asal Kolombia, Jose Arturo Kadiono Melina (kanan) ditemui usai pagelaran hasil residensi budaya Kemendikburistek 2024 di Taman Fatahillah, Kota Tua, Sabtu (31/8/2024) malam. (Antara)

JAKARTA, insidepontianak.com - Bahwa kebudayaan dapat menjunjung tinggi budi pekerti dan sikap rendah hati.

Pembina Residensi Budaya 2024 yang juga Pelaku Budaya Topeng Losari, kesenian asal Cirebon, Jawa Barat, Nur Anani M Irman menyatakan hal itu.

“Yang paling penting bisa dipelajari dari para peserta residensi budaya ini yakni bagaimana mereka memahami bahwa generasi muda bukan hanya harus mengedepankan keterampilan, melainkan juga bagaimana mereka meninggikan budi pekerti dan merendahkan hati,” ujar Nani ditemui usai pagelaran hasil residensi budaya 2024 di Halaman Taman Fatahillah, Kota Tua, Jakarta, Sabtu (31/8/2024) malam.

Menurutnya, Tari Topeng Losari yang dipelajari oleh para peserta residensi budaya 2024 baik dari dalam maupun luar negeri bukan sekadar tarian biasa, melainkan bentuk sakral yang ditampilkan dalam media tari.

“Jadi memang ditampilkan dalam media tari untuk Tuhan. Tubuh sebagai medianya dan bumi sebagai panggungnya, bukan sekadar pertunjukan, melainkan sesuatu yang berkaitan dengan sakralitas,” ujar dia.

Menurut dia, Tari Topeng Losari dapat mengajarkan generasi muda untuk kritis dan mau menerima kritik, serta mampu mengambil pelajaran dari sakralitas suatu budaya.

“Generasi muda itu kan kritis ya, tetapi tidak mau dikritisi, tidak mau dievaluasi sehingga mereka harus belajar banyak, meninggikan unggah-ungguh (tata krama) dan memahami bahwa sesuatu yang sakral itu berbeda dengan yang mereka pelajari di universitas,” ucapnya.

Ia menyampaikan tantangan terberat yang dialami selama membina para peserta residensi budaya untuk mempelajari Tari Topeng Losari.

“Kami sebenarnya kurang dari sebulan membina mereka, hanya selama 23 hari dan pada hari ke-23 mereka diwajibkan showcase di makam Pangeran Losari, pencipta Topeng Losari. Jadi tantangannya banyak, ada banyak gesekan, salah paham, dan lain-lain untuk bisa menerapkan apa yang mestinya diterapkan oleh mereka minimal dalam waktu enam bulan, dalam waktu 23 hari saja,” ujarnya.

Sementara itu, peserta residensi budaya yang juga Guru Tari di Kedutaan Besar Indonesia untuk Kolombia Jose Arturo Kadiono Melina menyampaikan bahwa dirinya akan kembali ke Kolombia untuk mengajarkan pengalaman yang ia dapatkan selama mempelajari Tari Topeng Losari.

“Saya sangat mencintai budaya Indonesia, utamanya Tari Topeng Losari, karena saya bisa mendalami ilmu saya di Tanah Losari, maka saya pasti akan kembali lagi, mau belajar budaya Losari agar seluruh dunia tahu," kata dia.

"Di Kolombia, saya juga punya murid-murid yang sangat sayang dengan budaya Indonesia. Setelah residensi ini, saya akan kembali ke sana untuk mengajar,” ujarnya.

Karya kolaborasi interdisiplin seni dengan judul “Tarian Agung dari Losari” menjadi salah satu karya yang ditampilkan dalam pertunjukan residensi budaya kali ini. Karya tersebut merupakan museum hidup yang diungkapkan melalui tarian, video, dan buku. Tarian yang ditampilkan yaitu Tari Klana Bandopati dan Tari Gonjing.

Residensi pemajuan kebudayaan adalah program yang digagas oleh Direktorat Pembinaan Tenaga dan Lembaga Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi yang menjadi wadah kolaborasi seniman lintas negara dalam berkreasi untuk ikut turut serta memajukan kebudayaan Indonesia.

Sebanyak 18 peserta internasional yang berpartisipasi pada program tersebut telah menyelesaikan pelatihannya selama residensi dan menghasilkan karya kolaborasi bersama 30 peserta nasional serta 23 peserta lokal di tiga lokasi pelaksanaan yakni Riau, Cirebon, dan DI Yogyakarta. (Antara)


Penulis : Dina Prihatini Wardoyo
Editor : Dina Prihatini Wardoyo

Leave a comment

jom

Berita Populer

Seputar Kalbar