Formalisme Kebahagiaan

3 Maret 2024 09:29 WIB
Ilustrasi
PONTIANAK, insidepontianak.com - Secara substansi, kebahagiaan pasti diikuti sebelumnya oleh perjuangan sampai titik tertentu, bahkan sampai titik darah penghabisan. Meskipun, wujud sebagai wahana pencapaian berbeda-beda sesuai apa yang dilakukan orang per orang, wujud kebahagian antara sarjana (scholar) dengan pengusaha (enterpeuner) pasti berbeda. Publikasi ilmiah di sebuah jurnal tertentu menjadi kebahagian seorang sarjana, sebaliknya pencapaian target penjualan menjadi dambaan setiap pengusaha. Perjuangan pelik dan boleh jadi renik merupakan kesamaan antara seorang sarjana dan seorang pengusaha. Termasuk hal sama dialami oleh semua profesi saat mencapai kebahagiaan melalui perjuangan. Melalui proses yang kurang lebih panjang, kebahagian pada gilirannya dapat dicapai dan rasakan. Terdapat sisi terdalam lagi subtil yang menggerakkan yang tampak pada wadah berbeda masing-masing orang Sementara itu, Ramadan tiba seperti sekarang ini hampir kebahagian dirasakan oleh semua muslim-muslimah yang berkewajiban puasa. Hampir semua tertuju pada kebahagian yang sama, yaitu saat kumandang Maghrib tiba untuk membatalkan puasa yang ditunaikan seharian penuh. Sulit untuk mengelak bahwa berbuka adalah kebahagian bagi yang berpuasa, tentu termasuk puasa Ramadan sekarang ini 1444 Hijriah. Berbuka (iftar) dipahami sebagai satu dari dua kebahagian selain bertemu Tuhan nantinya pada sebuah hadist Nabi Muhammad SAW. Meski seteguk air bening merupakan kebahagian tak terkira bagi setiap insan yang telah bertungkul-lumus menghindar makan dan minum. Air minum pasti dicari setiap berbuka demi membasahi tenggorokan bagi setiap orang berpuasa. Tegukan pertama pertanda kebahagiaan membuncah. Melalui Ramadan dengan kewajiban puasa dalam bingkai formalisme agama merupakan cara memperoleh kebahagian yang sama, baik dari proses dan hasil sama didapat. Kemungkinan ini titik tolak dan tolok ukur sama kebahagiaan itu didapatkan maka puasa diwajibkan oleh orang-orang sekarang. Parameter tersebut tertelisik pada cuplikan ayat, “Sebagaimana diwajibkan orang-orang terdahulu.” (QS: al-Baqarah: 183). Oleh karena itu, orang terdahulu, orang sekarang, dan orang yang akan datang memperoleh dan merasakan kebahagian dari proses puasa yang dilakukan. Kebahagian (happiness) merupakan hak setiap orang mendapatkan dan rasakan, tidak bisa dihalangi oleh siapapun melalui upaya maksimal sebelumnya. Satu proses dan satu hasil kebahagian diwujudkan melalui formalisme agama orang-orang terdahulu melalui puasa. Tekanan fisik menjauhkan kebiasaan selama ini dalam bingkai puasa, ternyata membuahkan kebahagiaan apalagi didukung oleh perangkat formalisme agama. Dengan kata lain, formalisme agama melalui firman Tuhan menimbang akan pentingnya puasa sehingga perlu diwajibkan kepada muslim-muslimah. Kemudian, terperinci (breakdown) melalui hadist Nabi yang secara jelas akan ada kebahagiaan saat menunaikan puasa. Dari segi fisik saja dapat diperoleh kebahagiaan meski problematik saat diperhadapkan pada segi nonfisik melalui nilai. Tentunya, nilai yang dikemas melalui puasa maka kebahagiaan pasti berbeda, naik maqam pada level berbeda. Formalisme kebahagiaan berdampak fisik perlu dipayungi oleh agama karena mengontrol fisik melalui puasa ternyata menimbulkan kebahagian meski sesaat dan tentunya berpahala. Boleh jadi kebahagian saat berbuka, bermanfaat bagi fisik karena biasanya unsur-unsur anatomi tubuh seseorang menunjukkan gejala baik dan senang saat merasakan kebahagiaan. Misalnya, kemungkinan frekuensi suara azan Maghrib berbuka yang ditangkap sinyalnya oleh indera dengar telinga, sejatinya telah memproduksi kebahagiaan. Sebelum, kebahagian-selanjutnya dirasakan nyata oleh indera-indera lain, terutama perasa. Meskipun, asumsi semacam itu belum sepenuhnya fakta. Masih perlu pembuktian melalui riset terkait, mungkin psikologi. Akan tetapi, secara analogi (qiyas) dapat menjadi landasan bahwa ketika mendengar berita baik yang dinanti, dapat dipastikan rasa lega dan nyaman melalui reaksi positif tubuh. Sering disebutkan akan terdapat hormon tubuh bereaksi pascadengar berita baik, dan reaksi tersebut berdampak positif terhadap tubuh. Semakin jamak kebahagian, dengaran itu dilanjutkan dengan bukaan, rasa bahagia di dunia ide terwujud nyata dalam dunia empirik. Kebahagiaan berbuka menunjukkan rasa paripurna seorang muslim, yaitu pemenuham ilmu (pengetahuan) melalui amal (tindakan). Ilmu puasa tidak sebatas pengetahuan saja, tetapi amal puasa dengan segala syarat rukunnya merupakan tindakan nyata. Dengaran dan bukaan merupakan kebahagian paripurna selama Ramadan. Kebahagian paripurna memiliki ruang selama Ramadan dan akan selamanya jika dijalankan selama-lamanya. Tidak berlebihan jika tahu keutamaan (fadilah) Ramadan, setahun penuh Ramadan untuk menjalankan ibadah puasa. Dari kebahagian saja dalam formalisme agama, terdapat keutamaan yang dimanfaatkan oleh ruang ide dan empirik dalam proses berbuka puasa. Mengingatkan pendapat seorang Ulama yang dilansir Gus Baha bahwa lapar itu makanan terenak meski hanya mengonsumsi seteguk minum. Formalisme kebahagiaan setiap tahun dapat dirasakan dengan porsi sebentar di bulan Ramadan melalui berbuka puasa. Pada dasarnya, kebahagiaan sulit dirasakan terus-menerus, seteguk air selesai membasahi tenggorokan, selesai pula kebahagiaan itu. Hanya saja, kebahagiaan itu bisa dirasakan berkali-kali selama berpuasa di bulan Ramadan. Pastinya kebahagiaan mustahil dirasakan saat tidak menjalankan puasa sehari penuh. Sekaligus memberi tahu bahwa kebahagiaan itu ada karena harus diperjuangkan, seteguk air berbuah bahagia harus berpuasa terlebih dahulu. Jika ujaran viral “jangan lupa bahagia” puasa Ramadan membuahkan kebahagian tidak sekali, tetapi berkali-kali apalagi untuk melupakannya. Kebahagian pada Ramadan tidak terletak pada melupakan, tetapi lebih kepada tidak menyadari karena terlanjur terpapar aneka menu kuliner berbuka. Sekaligus tidak menyadari bahwa formalisme agama membentuk kerangka yang dibutuhkan manusia demi memenuhi ruang diri untuk menjaga spiritualitas agar istikamah beragama.** Penulis: Khairul Fuad (penulis civitas BRIN Program Riset Manuskrip, Literatur, dan Tradisi Lisan)

Leave a comment