Kemenangan Donald Trump Kabar Buruk Bagi Perjuangan Kemerdekaan Palestina
KEMENANGAN Donald Trump dalam pemilihan Presiden Amerika Serikat baru-baru ini adalah kabar buruk bagi perjuangan kemerdekaan bangsa Palestina, yang saat ini sedang menghadapi aksi genosida oleh Israel di Jalur Gaza.
Hal ini karena pandangan dan kebijakan Presiden Donald Trump selama masa jabatannya yang lalu (2017-2021) secara umum menunjukkan dukungan kuat terhadap Israel, yang terlihat dari beberapa keputusan kontroversial terkait konflik Palestina-Israel.
Presiden AS umumnya memang selalu mendukung Israel. Tetapi Trump adalah pendukung Israel yang “ekstrem.” Jika Presiden Joe Biden yang menjabat saat ini dalam dukungannya masih “berbasa-basi,” Trump justru sangat terbuka, terang-terangan.
Beberapa kebijakan kunci Trump di masa jabatan sebelumnya menunjukkan kecenderungan keberpihakan sangat kuat kepada Israel.
Pertama, dalam hal pengakuan Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel dan pemindahan Kedutaan Besar AS.
Pada 2017, Trump secara resmi mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan memindahkan Kedutaan Besar AS dari Tel Aviv ke Yerusalem.
Keputusan ini menandai perubahan besar dalam kebijakan luar negeri AS, yang sebelumnya menunda pengakuan tersebut untuk menjaga proses perdamaian.
Langkah ini disambut baik oleh pemerintah Israel, tetapi menuai kecaman luas dari komunitas internasional, termasuk negara-negara Arab dan Palestina, yang menganggap Yerusalem Timur sebagai ibu kota negara masa depan Palestina.
Kedua, Trump mengurangi bantuan AS untuk Palestina melalui pemotongan dana kepada Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) serta bantuan kemanusiaan lainnya.
Kebijakan Trump ini menekan pemerintah Palestina agar kembali ke meja perundingan dengan Israel, tetapi juga memperburuk situasi ekonomi di wilayah Palestina, khususnya di Jalur Gaza.
Trump mengusulkan rencana perdamaian Timur Tengah yang disebut "Kesepakatan Abad Ini" (Deal of the Century) pada 2020.
Rencana ini disusun tanpa konsultasi penuh dengan Palestina dan cenderung menguntungkan Israel, termasuk pengakuan aneksasi sebagian Tepi Barat oleh Israel dan pemberian hak-hak keamanan yang lebih besar kepada Israel.
Palestina menolak rencana ini, karena dianggap tidak adil dan mengabaikan aspirasi mereka untuk memiliki negara merdeka.
Trump juga menggalang normalisasi hubungan Israel dengan negara-negara Arab melalui Abraham Accords, seperti dengan Uni Emirat Arab, Bahrain, Sudan, dan Maroko.
Meskipun langkah ini dipandang sebagai pencapaian diplomatik besar bagi kawasan tersebut, Palestina merasa dikhianati oleh negara-negara Arab yang selama ini mendukung aspirasi mereka.
Secara keseluruhan, kebijakan Trump terhadap konflik Palestina-Israel lebih banyak menguntungkan posisi Israel dan kurang mendukung upaya untuk mencapai solusi dua negara yang seimbang.
Pandangan Trump ini didorong oleh pendekatan pro-Israel yang kuat, yang bertujuan mempererat hubungan AS-Israel dan membawa stabilitas di kawasan melalui normalisasi hubungan Israel dengan negara-negara Arab.
Namun, kebijakan ini mengundang kritik karena dianggap mengesampingkan hak-hak Palestina dan memperburuk ketegangan di kawasan tersebut.
Hal ini patut menjadi perhatian bagi pemerintah Indonesia di bawah Presiden Prabowo Subianto, yang menjalankan politik luar negeri bebas aktif.
Dalam pidato pelantikannya di gedung MPR/DPR Senayan, 20 Oktober lalu, Prabowo menegaskan dukungannya pada kemerdekaan Palestina.
Maka Indonesia perlu menggabungkan kekuatan dalam forum-forum internasional, untuk lebih keras memperjuangkan kemerdekaan Palestina, yang saat ini menghadapi kondisi kritis akibat aksi genosida yang brutal oleh pasukan pendudukan Israel.***
Penulis : Satrio Arismunandar. (Wartawan senior. Pada 1990-an aktif meliput di kawasan Timur Tengah untuk Harian Kompas, antara lain ke: Jalur Gaza dan Tepi Barat (Palestina), Israel, Yordania, Irak, Iran, Mesir, dan Libya.)
Penulis : Ril
Editor : -
Leave a comment