Banjir Sintang dan Kebohongan Pemerintah
Banjir Sintang membuat catatan peristiwa besar di Kalimantan Barat tahun 2021.
Banjir Sintang dan berbagai wilayah di perhuluan yang menenggelamkan ribuan rumah penduduk, Oktober hingga November 2021, membuka lagi sejarah kelam.
Peristiwa ini, jadi momentum membuka kebobrokan dan kebohongan pembangunan berwawasan lingkungan. Banjir Sintang, pemerintah menuding tambang dan perkebunan sawit penyebab banjir. Padahal, pemerintah sendiri yang memberi izin alih fungsi lahan, sehingga terjadi banjir Sintang dan wilayah perhuluan Kalbar.
Pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, sejatinya tak pernah jujur membuka data perizinan alih fungsi lahan yang dikeluarkan setiap tahunnya. Data riil lahan perhutanan yang sudah diberikan ke pengusaha perkebunan maupun tambang dengan dalih investasi ditutup rapat.
Transparansi data melalui satu pintu yang dicanangkan pemerintah benar-benar gimik dan pencitraan. Penelusuran Insidepontianak.com di laman resmi Dinas Energi Sumber Daya dan Mineral (ESDM) Pemprov Kalbar yang mengurusi pertambangan misalnya. Laman ini, hanya digunakan untuk menampilkan data profil lembaga dan data-data umum.
Begitupun penelusuran di website Dinas Penanaman Modal, Perizinan Satu Pintu atau DPMPTSP di Kabupaten Sintang, sebagai salah satu kabupaten yang memiliki investasi perkebunan terbesar di Kalbar.
Data perkebunan yang dipajang di situs resmi pemerintah daerah ini, hanya menampilkan sebaran lokasi tambang dan perkebunan. Tak merinci data perizinan yang dikeluarkan setiap tahunnya oleh Pemda setempat.
Yang lebih parah lagi, website Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Mereka juga tak menampilkan data luas hutan di Kalbar. Padalah, hutan di tanah borneo telah ditetapkan sebagai paru-paru dunia. Mestinya, KLHK menjadi penjaga. Tak serampangan memberi rekomendasi izin pengelolaan pembukaan hutan.
Inilah sebabnya, Wakil Ketua Komisi IV DPR RI, Dedy Mulyadi meradang saat rapat dengar pendapat dengan jajaran Direktorat Jenderal Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, Rehabilitasi Hutan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), membahas soal banjir di Kabupaten Sintang belum lama ini.
Sebab, penjelasan mereka dianggap sangat normatif. Hanya kajian akademis yang tidak berbasis pembaruan. Dirjen PDASRH KLHK, Helmi Basamalah menyebut, banjir hulu Kalbar karena kondisi alam. Curah hujan tinggi. Sementara panjang sungai dan daerah resapan, tak mampu menampung debit air.
“Panjang sungainya hanya 1.000 kilometer. Sementara debit air di sungai capai 3.000 meterkubik per detik,” kata Helmi Basalamah, saat rapat dengar pendapat bersama Komisi IV DPR membahas banjir di Kabupaten Sintang, dikutip dari vidio yang beredar di media sosial Facebook.
Jawaban ini, kontan disambut kemarahan Dedi Mulyadi. Ia menyebut, penjelasan akademis dangkal itu tak bisa diterima. Alasan itu sejak dahulu semua orang sudah tahu. Penyebab bajir jelas-jelas akibat pengelolaan hutan yang tidak jelas. Alih funsi lahan untuk perkebunan dan tambang sangat nyata merusak ekologi.
“Panjang sungai itu tak pernah berubah. Yang berubah itu lebar sungai, kedalaman sungai akibat sedimentasi,” ucap Dedi kesal.
Menurutnya, sedimentasi terjadi akibat penebangan hutan untuk tambang dan perkebunan. Inilah jadi pemicu utama kerusakan ekologi yang berdampak bencana. Dia pun meminta, mestinya KLHK jujur saja soal ini.
“Kalau KLHK tidak jujur memberikan jawaban, sampai kapan pun, ini tidak menyelesaikan masalah. Kan ini penyakit, jadi akui saja,” pinta Dedi.
KLHK juga diingatkan perlu memperhitungkan penyebab banjir di Hulu Kalbar, akibat deforestasi hutan di sekitar wilayah banjir. Sebab baginya, deforestasi yang tidak terkontrol bisa mempengaruhi daya tampung resapan air hujan.
“Jawab dengan jujur, berapa kawasan yang mengalami penurunan? Berapa kawasan yang berubah jadi penambangan?” tanya Dedi.
Legislator Fraksi Partai Golongan Karya (F-Golkar) itu meminta KLHK, harus menguatkan koordinasi antardirektorat jenderal. Kemudian memperketat izin, dan mesti tegas dalam melaksanakan relugasi.
“KLHK harus tegas. Sikapnya menjaga lingkungan dan menjaga hutan. Seluruh kementerian harus tunduk pada rekomendasi KLHK. Harus punya prinsip,” pesannya.
[caption id="attachment_6342" align="alignnone" width="669"] Infografis. (Poy/Insidepontianak.com)[/caption]
Kunker Pencitraan
Di sisi lain, keprihatinan pemerintah, mulai dari kepala daerah, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) hingga Presiden Joko Widodo yang datang ke Kabupaten Sintang tinjau penanganan banjir, seperti hanya cari panggung pencitraan.
Alasannya, kunjungan kerja para pejabat ini tak menyisakan satu kebijakan besar, untuk pencegahan banjir dalam jangka pendek. Misalnya, Menteri PUPR, Basuki Hadimuljono hanya membangun tanggul pengendali banjir di daerah aliran sungai atau DAS. Sementara Presiden Jokowi sudah menyebut banjir terjadi akibat kerusakan lingkungan, karena alih fungsi lahan yang tak terkontrol.
Gubernur Sutarmidji jelas-jelas tak sependapat dengan pembangunan Goebek atau tanggul pengendali banjir PUPR itu. Dia sendiri ingin pengerukan Sungai Kapuas dan pengerukan danau-danau, lebih tepat untuk tampung luapan air jika musim penghujan tiba.
Bahkan Gubernur Sutarmidji sempat menyindir Meteri PUPR yang datang ke Sintang beberapa waktu lalu, sebelum dampingi Presiden, hanya urusan pribadi. Karena tidak ada koordinasi dengannya sebagai pejabat daerah.
Presiden Joko Widodo pun yang datang ke Sintang, hanya tanam pohon dan mencanangkan program penyemaian di kawasan bekas tambang, yang tandus dan gersang. Program itu sangat biasa. Bukan strategi baru. Meski diklaim menjadi solusi penanganan banjir jangka panjang.
Mestinya, fakta kerusakan lingkungan yang sudah parah ini dilihat secara utuh. Ancaman banjir akan terjadi setiap tahun saat curah hujan tinggi. Karena itu, penanganan pencegahannya mestinya menggunakan strategi yang taktis.
[caption id="attachment_6343" align="alignnone" width="643"] Presiden Joko Widodo atau Jokowi didampingi Menteri PUPR, Mochamad Basoeki Hadimoeljono, tinjau pembangunan tanggul pengendali banjir di Kelurahan Ladang, Kabupaten Sintang, Rabu (8/12/2021). (Sumber: Facebook Presiden Joko Widodo)[/caption]
Pemerintah Tak Serius
Kepala Devisi (Kadiv) Kajian, Dokumentasi dan Kampanye, Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Kalbar, Hendrikus Adam menilai, pemerintah tak serius menyelesaikan persoalan banjir di Kalimantan Barat.
Karena, solusi yang ditawarkan Presiden Jokowi hanya meminta perusahan sawit dan tambang melakukan persemian. Bahkan, tidak ada instruksi menertibkan aktivitas PETI yang jelas-jelas tampak di depan mata.
Menurutnya, program persemaian itu bukan solusi. Tapi, terkesan kompromi terhadap pelaku pengrusakan alam.
"Sikap ini menjelaskan pemerintah permisif atau kompromis, terhadap praktik ekstraksi sumber daya alam yang telah menyebabkan kerusakan lingkungan selama ini," kata Hendrikus Adam, kepada Insidepontianak.com, Kamis (16/12/2021).
Dia menyebut, kerusakan bentang alam sekitar DAS Kapuas terjadi akibat praktik perusakan pertambangan sekitar sungai. Kondisi ini diperparah dengan eksploitasi melalui pemberian izin, terhadap perusahaan berbasis hutan dan lahan melalui legitimasi pemerintah.
Karenanya, jika hanya memaksa untuk membuat persemaian oleh perusahaan menjadi solusi yang ditawarkan Presiden, kebijakan ini justru berpotensi melukai perasaan warga yang setiap musim hujan terdampak banjir.
"Upaya meminta perusahaan perusak lingkungan membuat persemaian sama dengan langkah kocak Presiden. Kebijakan ini tidak akan menjawab persoalan krisis ekologi di Kalimantan Barat," katanya.
Mestinya, pemerintah tegas terhadap sejumlah perusahaan ekstraktif yang menyebabkan deforestasi. Tak boleh kompromi. Sanksi pelanggaran hukum oleh korporasi harus hitam putih. Agar wibawa pemerintah sebagai pembuat aturan maupun pengayom rakyat tidak bias. Budaya penegakan hukum yang tajam ke bawah, dan tumpul ke atas, sudah saatnya dirubah dengan sikap berani.
Di sisi lain, pemerintah di bawah komando Presiden harusnya tegas menghentikan secara permanen, curah izin bagi korporasi berbasis hutan dan lahan perusak lingkungan. Evaluasi maupun audit lingkungan terhadap izin-izin konsesi mesti dilakukan. Langkah ini, penting untuk penyelamatan rimba terakhir di Kalimantan Barat yang masih tersisa.
Pemerintah juga musti memastikan pemulihan krisis sosial ekologi. Dengan memperbaiki kerusakan lingkungan, sebagaimana yang dikonfirmasi dari pernyataan Presiden akhir-akhir ini.
Selama ini, program rehabilitasi hutan dan lahan yang pernah digalakkan saja, masih menyisahkan persoalan. Terutama terkait dengan keberlanjutan pemeliharaannya. WALHI juga mengkritik pemasangan Geobag di DAS Kabupaten Sintang yang dilakukan kementerian PUPR. Cara ini dinilai tak akan efektif menagani masalah bencana ekologis.
Sebab, Geobag hanya tepat dilakukan untuk mengatasi risiko abrasi dan atau longsor akibat hempasan gelombang. WALHI berpendapat, solusi jangka panjang yang mesti dilakukan adalah perbaikan dan pemulihan kerusakan lingkungan. Yang paling penting, pemerintah menghentikan pemeberian perizinan pengelolaan kawasan hutan secara permanen.
"Penegakkan hukum harus dilakukan. Termasuk dengan mengintegrasikan perencanaan tata ruang wilayah yang lebih memperhatikan aspek keselamatan rakyat dan lingkungan," pesan Adam. (Abdul Halikurrahman)***
Penulis : admin
Editor :
Penulis : admin
Editor :
Tags :
Berita Populer
Seputar Kalbar
9
Leave a comment