Obertus: Putra Dayak Pertama Jadi Camat Sajingan
Kamis manis sore itu, silau cahaya temaram dari barat menusuk tajam ke bola mata. Seorang pria gempal sedang berdiri di pinggiran warung kaki lima.
Dia adalah Obertus. Di tengah keramaian Pasar Kota Sambas dia kebingungan. Keluar masuk toko mencari-cari setelan Pakaian Sipil Resmi (PSR) tak karuan.
Dahinya berkeringat, saat melihat jam tangan, waktu menunjukkan tepat pukul 17.00 WIB. Beberapa kali merogoh kocek mengambil telepon. Dia mengecek apakah ada jawaban dari teman-temannya.
Dalam hati dia pikir, jika tidak ada baju PSR, agenda sakral besok pagi bisa gagal.
Panggilan Bupati
Mundur satu jam sebelumnya.
Suara telepon berdering memecah konsentrasi Obertus ketika sedang menyusun berkas-berkas di ruang Kasi Kebersihan Persampahan dan Limbah B3, Kantor Dinas Perkim Lingkungan Hidup (LH).
“Kring kring kring,”.
Panggilan masuk dari nomor baru. Telepon itu rupanya berasal dari ajudan Bupati Sambas. Obertus dipanggil menghadap sekarang juga.
“Ajudan bilang saya diminta menghadap segera. Saya bingung, ada apa kok tiba-tiba dipanggil Bupati. Saya langsung pergi saja, karena kebetulan masih di kantor,” katanya.
Di hadapan Bupati Satono, Obertus ditanya apakah siap jika Bupati minta bantuan. Sebagai bawahan, dia langsung siap saja. Ternyata Bupati minta dia jadi camat. Dia sempat bingung karena masih eselon IV. Sedangkan camat eselon III.
“Bupati tidak bilang kalau saya akan dilantik jadi Camat Sajingan Besar,” katanya.
Menurut Obertus, masih banyak yang lebih pantas dan lebih senior dari dia. Tapi karena amanah sudah diberikan. Titah sudah disampaikan, dia harus siap. Pelantikan pejabat harus pakai baju PSR. Sementara dia hanya punya setelan korpri.
“Izin Pak Bupati saya bilang, saya tidak punya baju itu. Saya punya baju korpri saja. Beliau bilang, korpri itu eselon IV. Saya mau melantik kamu eselon III. Beliau suruh saya cari sekarang juga. Tidak sampai lima menit saya menghadap Bupati, sudah keluar,” katanya.
Di sebuah toko baju, Obertus bertemu tukang jahit, dia minta dibuatkan baju PSR dan harus jadi malam itu juga. Permintaan itu lantas ditolak mentah-mentah.
“Tukang jahitnya bilang, hari ini saya dibayar oleh kamu Rp3 Juta saya tidak mau. Penjahit bilang tidak sanggup mengerjakan PSR dalam waktu sesingkat itu,” katanya.
Hampir empat jam keliling pasar, Obertus akhirnya menemukan yang dia cari. Saat dicoba langsung merasa cocok.
Dia lantas menelepon temannya yang bekerja di Badan Kepegawaian Daerah (BKD) untuk menanyakan apakah jas model itu sudah benar dipakai untuk pelantikan.
“Begitu saya kirimkan foto, dia bilang bagus. Dalam hati syukurlah akhirnya aman,” katanya.
Itu cerita kebingungan Obertus saat diminta menjadi Camat Sajingan Besar oleh Bupati Satono. Ia tak berpikir akan seperti apa ketika ia jadi camat. Tapi ia tahu betul tugas berat akan ada di depan mata.
Jika ia mengingat pengalaman ‘galau’ mencari baju jas, Obertus pasti kerap tersenyum. Lucu sekali baginya.
Bagi seorang putra Dayak asli kelahiran Kampung Sasak, 12 November 1974 itu, dilantik menjadi camat di tanah kelahiran sendiri adalah suatu kebanggaan.
Sasak adalah sebuah dusun di Desa Santaban, Kecamatan Sajingan. Tidak jauh dari garis perbatasan Kabupaten Sambas dan Malaysia.
Pulang dari pasar, Obertus singgah ke Gereja. Dia berdoa semoga esok adalah hari yang baik dan dipenuhi keberkahan.
Sampai di rumah, dia memberitahu anak istri. Mereka sangat senang. Istrinya Benedikta Betty langsung menyiapkan pakaian untuk dipakai saat pelantikan.
“Lengan baju agak kepanjangan. Istri saya lipat lalu dijahit sedikit. Maklumlah, namanya baju dari pasar,” ujarnya.
Perjuangan Terjal di Bukit Menyan
Obertus lulusan Sarjana Pertanian. Dia mengawal karirnya tahun 2001 sebagai honorer Pendamping Mantri Tani Kecamatan Sajingan Besar, di Dinas Pertanian Kabupaten Sambas.
Sesuai SK, dia bertugas di Desa Sungai Bening. Saat itu, Sambas dipimpin oleh Burhanudin Ar Rasyid, seorang Bupati yang konsen dengan program Paloh Sajingan (Palsa).
Di desa itu ada bukti namanya Bukit Menyan, dulu disebut bukit Kukut. Untuk bertugas di sana, tidaklah mudah. Butuh mendaki ke bukit itu. Jalannya terjal dan curam. Jika tak hati-hati, bisa terpeleset dan jatuh. Untung kalau tidak menghantam tunggul, atau batu-batuan.
Pendakian jadi cara pintas untuk sampai ke Kampung Batang Air, ujung Desa Sungai Bening. Pernah, suatu hari Obertus sangat kelelahan saat berjalan menanjak di bukit itu. Perjuangannya mendaki Bukit Menyan untuk bertemu petani-petani di Batang Air dirasa sangat berat.
Namun, semua itu dia lakukan demi tugas. Sesampainya di puncak Bukit Menyan, air sebotol besar itu habis. Anehnya, haus Obertus belum hilang.
“Selain di Sugai Bening. Saya juga bolak balik ke Sajingan, Sebunga dan beberapa desa sekitar. Mengawal program pertanian yang ada di wilayah Kecamatan Sajingan,” katanya.
Dulu butuh enam jam perjalanan darat. Sekarang hanya tiga jam saja. Tidak ada lagi orang yang mendaki Bukit Menyan, karena sudah ada jalan lingkar. Infrastruktur yang lancar bisa memangkas separuh waktu dalam perjalanan.
“Waktu itu belum ada jalan aspal menuju Sungai Bening. Adapun jalan Yamaker (Yayasan Maju Kerja), itulah yang saya lewati setiap hari, dari Sebubus-Sungai Bening ke Batang Air,” katanya.
Yayasan Maju Kerja adalah perusahaan kayu raksasa milik TNI yang berada di Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat. Bahkan, sampai ke Serawak Malaysia. Jalan yang di bangun perusahaan itu jadi akses satu-satunya warga Sungai Bening dan sekitarnya.
Di Sungai Bening, tugas Obertus menghimpun petani-petani perorangan untuk membuat kelompok dan mengerjakan cetak sawah. Sebuah tantangan baginya, mengubah kebiasaan petani yang ladang berpindah jadi menetap.
Modal motor dinas Yamaha YT 115, Obertus keluar masuk kampung, gajinya Rp750 ribu per bulan saat itu. Ia tak mengeluh. Malah, ia menikmati tugas hariannya itu.
“Setiap hari saya lewat jalan tanah kuning, berlumpur, lewat hutan belantara dan mendaki bukit kukut. Kalau berangkat pagi sampainya sore. Perjalanan dari rumah lewat jalur Paloh sekitar enam jam,” kisahnya.
Perintis SMKN 1 dan Kredit CU
Tahun 2005, ia berpindah menjadi guru honorer di SMPN 1 Sajingan. Dia mengajar muatan lokal. Bersama temannya di SMP, mereka merintis SMKN 1 Sajingan, sekolah satu atap.
Akhirnya dia merangkap jadi guru SMP dan SMK sekaligus. Setahun berlalu dia menerima SK honorer resmi dari Dinas Pendidikan. Obertus dianggap berhasil menciptakan sistem pendidikan di sekolah yang baru dibentuk itu. Meski pada tahun 2007, kontrak honorer Obertus berakhir.
Tahun itu tak ada lagi honor di Dinas Pendidikan. Ia sempat bingung kemana lagi ia harus bekerja. Sementara ia masih menanggung kredit motor Vega R yang baru diambil.
“Per bulan Rp350 ribu. Tak ada kerja, jadi bayar pakai apa. Tiba-tiba saya diajak gabung Paroki. Merintis Credit Union (CU) Pantura Jaya yang sekarang merger ke CU Bonaventura,” katanya.
Selama satu tahun, Obertus bersama Pastur keliling kampung di Subah hingga Sajingan. Dari gereja ke gereja. Mereka membina masyarakat dalam menggunakan uang mereka agar menabung. Dikelola oleh lembaga dan dipakai untuk membantu sesama.
“Prinsip kerja di CU yang kami pelajari itu, bahwa orang yang susah tidak akan pernah bisa berhasil ketika dia tidak membangun dirinya sendiri. Artinya siapa lagi yang membantu kita kalau bukan diri kita sendiri,” katanya.
Menurut Obertus, lebih mudah mengajak jemaat di gereja untuk menyimpan uang di CU karena mereka lebih percaya dengan pasturnya. Itu strategi. Dia berperan sebagai pendamping dan memfasilitasi pertemuan pastur dengan masyarakat.
Selama merintis CU, banyak hambatan yang dihadapi. Mulai dari diacuhkan orang, diremehkan dan sebagainya itu sudah biasa. Tapi secara keseluruhan apa yang dia kerjakan itu berhasil.
“Walaupun sekarang orang-orang tidak bergabung dengan CU yang kami rintis, tapi mereka kebanyakan bergabung ke CU yang sudah berkembang pesat. Seperti Pancur Kasih, dan Bonaventura,” katanya.
Lulus CPNS
Tahun 2009, adalah tahun yang jadi kado manis bagi dirinya dan keluarga. Obertus dinyatakan lulus jadi CPNS di Dinas Pertanian.
“Saat itu tak sangka. Berkali-kali jadi honorer, hingga akhirnya bisa jadi PNS sungguhan. Bukan main senangnya,” katanya.
Kebahagiaan terus hinggap. Pada tahun 2010, Obertus dinyatakan menjadi PNS. Sekitar bulan Juni 2014 dia dipromosikan ke Badan Lingkungan Hidup. Sampai 2017 Badan Lingkungan Hidup lalu bergabung dengan PU Cipta Karya menjadi Perkim Lingkungan Hidup.
“Di Perkim LH, sebagai Kasi Kebersihan Persampahan dan Limbah B3. Bidang Kebersihan dan Ruang Terbuka Hijau, hingga 2021. Baru saya dipilih menjadi Camat Sajingan Besar,” katanya.
Hikmah dari Lompatan Karir
Obertus sosok yang religius. Semua pengalaman hidup, selalu ia syukuri. Ia merasa ada hikmah dibalik lompatan karir yang dilakukan. Punya teman di mana-mana hingga bisa mengenal banyak orang.
Paling tak bisa dilupakan adalah pertemuan Obertus dan sang pujaan hati, Benedikta Betty. Menjadikannya istri dan punya dua anak. Egregia Hiasinta dan Gerardus Tagas.
Tuhan kata dia, sangat baik padanya. Ketika ia masih buntu bekerja apa, Tuhan menuntunnya bekerja dan merintis CU.
Ia tak pernah menyesal apa yang terjadi hidupnya. Begitu juga ucap syukur saat ia lulus CPNS Dinas Pertanian. Tak lama berseleng, ia resmi jadi pegawai negeri sipil.
Putra Dayak Pertama Jadi Camat Sajingan
“Selama ini saya tidak pernah mendengar ada pejabat Dayak di Kabupaten Sambas,” kata Obertus menirukan ucapan Bupati Sambas, Satono.
Mendengar itu, Obertus sang putra Dayak merasa terpanggil. Diminta menjadi Camat Sajingan adalah misi mengawal pembangunan di perbatasan. Juga menampung aspirasi masyarakat suku Dayak di sana.
Berbagai elemen masyarakat menyambut baik ketika Obertus dilantik jadi Camat Sajingan. Pilihan Bupati Satono memang tepat. Mulai dari tokoh agama, tokoh adat sampai tokoh masyarakat merasa senang dan menyambut baik pilihan itu.
“Ini adalah kesempatan saya sebagai putra daerah untuk memimpin dan mengawal aspirasi masyarakat Dayak di perbatasan. Selama ini kata Pak Bupati memang banyak aspirasi masyarakat Sajingan yang meminta camat orang Dayak. Akhirnya terwujud,” katanya.
Obertus adalah orang yang multitalenta. Pernah bekerja di banyak profesi membuatnya berpengalaman.
Dia belajar otodidak, karakter orang lapangan yang tidak banyak menyerap teori tapi lebih ke praktek hidup di lapangan.
Dia juga tipe orang yang mudah bergaul. Berteman dengan siapapun yang ditemuinya.
“Dari kalangan paling rendah. Sampai ke kalangan paling atas. Saya berusaha untuk dapatkan nomor telepon ketika berkawan. Saya berusaha mengenal setiap orang. Saya membangun relasi sebanyak-banyaknya. Dimanapun saya bekerja. Saya yakin suatu saat saya dan orang itu akan saling membutuhkan,” katanya.
Sebagai abdi negara, dedikasi dan layanan penuh kepada warga jadi bagian tugasnya. Tak hanya tugas, tapi amanah yang diberikan daerah di pundaknya.
Menjadi penyambung lidah warga akan setiap harapan. Ini tantangan bagi Obertus untuk memberikan yang terbaik bagi warganya.
Ia bukan orang politik. Ia tak bisa berikan janji tapi bukti. Upaya maksimal agar realisasi pencapaian program bagi desanya bisa terwujud. Jika tak tahun ini, maka tahun berikutnya. Ini bukan janji, tapi bentuk pengabdian Obertus bagi warga dan desanya.(Ya’ Muh. Nurul Anshory). ***
Penulis : admin
Editor :
Leave a comment