Eksistensi Jamu Gendong dan Jamu dalam Dua Jaman yang Berbeda

12 November 2022 10:19 WIB
Ilustrasi

Insidepontianak.com – Sebelum peradaban dunia mengenal pengobatan medis modern, nenek moyang manusia sudah bisa mengobatinya dengan ramuan khusus yang dikenal dengan jamu.

Bahan pembuatan jamu berupa tumbuhan herbal yang mudah didapati disekitar kita. Di tangan seorang pengracik, tanaman kaya manfaat ini bisa menjadi obat alternatif mengobati berbagai penyakit.

Eksistensi jamu masih bisa kita temui di manapun, dari dusun dan perkotaan pasti terdapat kedai jamu yang siap melayani pelanggan. Tidak menuntut kemungkinan, di apotek juga bisa kita jumpai macam obat-obatan herbal.

Di abad ke-20 penjualan jamu masih menggunakan sistem gendong. Biasanya ibu-ibu, dipanggil 'Mbok', memikul obat herbal ini dengan sarung khas jawa (kain jarik) mengeliling perkampungan atau gang-gang perkotaan.

Kalau yang menjual masih muda mereka memanggilnya 'Yu' (sebutan kakak perempuan di jawa). Peminat jamunya pun pasti banyak, entah karena berniat membeli atau hanya sekedar ingin berjumpa dengan si penjual sambil mengajaknya mengobrol.

Melansir dari laman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), makna filosofis dari jamu gendong yang dijajakan oleh perempuan adalah tanda kasih sayang.

Jamu yang dipikul dengan kain jarik tersebut melambangkan seorang anak, di jawa sendiri masih bisa ditemui ibu-ibu yang mempunyai balita akan menggendong buah hatinya dengan kain khas Jawa ini.

Pada abad ke-20 M, tenaga laki-laki dibutuhkan oleh jenis pekerjaan lain, seperti menjadi kuli, bertani atau berkebun, melaut dll. Oleh karenanya, banyak kalangan wanita yang menjual jamu.

Memasuki awal abad ke-21 M, penjualan jamu sudah dijajakan lewat sepeda ontel. Masih dengan peran seorang perempuan sebagai penjualnya, dengan metode terbaru daerah jangkauan penjualan jamu semakin luas, bisa-bisa jarak tempuhnya mencapai dua kecamatan.

Walau metode penjualan jamu sudah dengan metode sepeda ontel, segelintir orang masih memilih menjual ramuan herbal ini dengan menggendong.

Sebenarnya jamu sendiri sudah ada sejak jaman kerajaan Hindu-Budhha. Mengutip dari laman Indonesia Gastronomy Network yang bekerja sama dengan ACARAKI, pengracik dan penjual jamu disebut dengan 'Acaraki'.

Hal ini dikuatkan dengan bukti prasasti 'Madhwapura' menyebut pengracik ataupun penjual jamu dipanggil dengan gelar 'Acaraki'. Orang yang berprofesi ini biasanya akan melakukan puasa dan ritual, seperti berdoa dan bermeditasi sebelum meramu jamu.

Di masa-masa kerjaan kuno, para acaraki tidak sendirian ketika mengobati pasien. Terdapat juga 'Kdi' (dukun wanita), 'Walyan' (tabib), dan 'Tuha Nambi' (tukang obat), profesi-profesi tersebut bisa kita temukan di prasasti Balawi (1305 M).

Pada era kerajaan Majapahit, praktek mengobati pasien tidak bisa dilakukan oleh orang sembarangan. Mereka yang bisa disebut dukun atau tabib harus mengetahui ilmu dasar pengobatan. Peraturan demikian sudah ditentukan oleh Prabu Hayam Wuruk (1350 M – 1389 M).

Apabila seseorang melakukan malapraktek, raja yang berkuasa bisa menghukumnya dengan berat, bukti sejarahnya terdapat dalam kutab 'Kuratamanawa'.

Sedangkan kata jamu berasal dari kata 'oesada' atau 'jampi'. Kedua kata ini pernah dicatat dalam 'Gatotkaca Sraya' karangan Mpu Panulu, naskah ini ditulis ketika kediri masih dibawah kekuasaan Jayabaya (1135 M – 1157 M).

Kata oesada lebih bertendensi kepada kesehatan, sedangkan jampi mempunyai akar kuat sebagai asal kata jamu. Jampi bermakna praktek pengobatan dengan cara mengonsumsi ramuan atau mengolesi bagian luar tubuh.

Sedangkan perubahan kata jampi ke jamu disebabkan praktek pengobatan herbal ini ditransfer ke luar lingkungan kraton, dilansir dari Grastonomy Network.

Hal tersebut dikarenakan adanya faktor bahasa sosial Jawa yang berbeda-beda diantara kalangan kerajaan dan masyarakat umum.

Bukti paling tua bahwa jamu susah ada dari jaman dulu yakni pada relief bangunan Candi Borobudhur (abad ke-7 M).

Pada panel ke-19 terdapat seorang pasien yang sedang dipijat kepalanya, sedangkan perutnya digosok-gosok, terdapat juga seseorang yang menyuguhkan ramuan kepadanya untuk diminum. ***

Tags :

Leave a comment