Hakikat Puasa dan Pengendalian Diri Selama Ramadhan

3 Maret 2024 09:29 WIB
Ilustrasi

Bagi umat Islam berpuasa adalah menunaikan kewajiban. Selebihnya, selain berharap semoga Allah SWT menerimanya juga semoga Allah SWT melipatgandakan pahala puasa.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إإِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِى وَأَنَا أَجْزِى بِهِ يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِى

“Setiap amalan kebaikan anak Adam akan dilipatgandakan menjadi 10 hingga 700 kali dari kebaikan yang semisal. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman (yang artinya), “Kecuali puasa, amalan tersebut untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan membalasnya karena dia telah meninggalkan syahwat dan makanannya demi Aku.” (HR Muslim)

Hakikat pengertian puasa tidak saja mampu menahan diri dari makan, minum, atau berhubungan intim di siang hari Ramadhan (jimak). Lebih dari itu pengertian puasa adalah menahan diri dari segala perbuatan dan ucapan yang diharamkan.

Pada arti ini, penting bagi orang saat sedang berpuasa, untuk tidak saja mampu menahan haus dan lapar, tapi juga harus mampu menahan mulut, mata, telinga, tangan, dan anggota tubuh lainnya dari perbuatan yang dapat mengurangi atau menghilangkan pahala puasa.

رُبَّ صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الجُوْعُ وَالعَطَشُ

“Betapa banyak orang yang berpuasa namun dia tidak mendapatkan dari puasanya tersebut kecuali rasa lapar dan dahaga.” (HR Ath Thabaroni)

Hadits di atas sebagai warning agar puasa kita tidak sia-sia tidak berpahala, sebagaimana dikuatkan dalam hadits lain;

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْسَ الصِّيَامُ مِنْ الْأَكْلِ وَالشُّرْبِ فَقَطْ، الصِّييَامُ مِنْ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Puasa bukan sekadar menahan diri dari makan dan minum saja, puasa adalah menahan diri dari perkataan sia-sia dan keji.’ (HR Baihaqi dan Al-Hakim).

Termasuk contoh menahan diri dari perkataan yang sia-sia adalah ghibah, yaitu membicarakan kejelekan, kesalahan atau kekurangan orang lain.

Baik secara langsung atau melalui sosial media. Membicarakan, menulis atau merasa nyaman mendengarkan kejelekan, kesalahan dan kekuarangan orang lain disebut, semuanya sama termasuk ghibah, dan perbuatan ghibah termasuk penyebab puasanya sia-sia atau tidak berpahala. Dalam salah satu riwayat hadits disebutkan sebagai berikut:

خَمْسٌ يُفْطِرْنَ الصَّائِمَ الْغِيبَةُ وَالنَّمِيمَةُ وَالْكَذِبُ وَالْقُبْلَةُ وَالْيَمِينُ الْفَاجِرَةُ

“Lima hal yang menyebabkan batalnya puasa, yaitu ghibah, mengadu domba, berdusta, ciuman, dan sumpah palsu.”

Terhadap hadits riwayat di atas Imam Nawawi menjelaskan:

وَأَجَابَ أَصْحَابُنَا عَنْ هَذِهِ الْأَحَادِيثِ سِوَى الْأَخِيرِ بِأَنَّ الْمُرَادَ أَنَّ كَمَالَ الصَّوْمِ وَففَضِيلَتَهُ الْمَطْلُوبَةَ إنَّمَا يَكُونُ بصيانته عن اللغو والكلام الردئ لَا أَنَّ الصَّوْمَ يَبْطُلُ بِهِ. وَأَمَّا الْحَدِيثُ الْأَخِيرُ (خَمْسٌ يُفْطِرْنَ الصَّائِمَ) فَحَدِيثٌ بَاطِلٌ لَا يُحْتَجُّ بِهِ. وَأَجَابَ عَنْهُ الْمَاوَرْدِيُّ وَالْمُتَوَلِّي وَغَيْرُهُمَا بِأَنَّ الْمُرَادَ بُطْلَانُ الثَّوَابِ لَا نَفْسَ الصَّوْمِ.

“Sahabat kami (ulama kalangan Syafiiyyah) menjawab hadits-hadits tersebut, selain hadits kelima, bahwa yang dimaksud sesungguhnya kesempurnaan puasa dan keutamaan yang dituntut dapat diperoleh dengan menjaga puasa dari perbuatan sia-sia, dan perkataan yang buruk, bukan bahwa puasa batal dengannya. Adapun hadits terakhir, (Lima hal yang menyebabkan batalnya puasa) haditsnya batil tidak dapat dijadikan hujjah. Imam Mawardi, Al-Mutawalli, dan yang lainnya telah menjawab bahwa yang dimaksud batal adalah batal pahalanya, buka puasanya.” (Abu Zakariya Muhyiddin bin Syaraf An-Nawawi, Majmu’ Syarhul Muhadzzab, juz VI halaman 356).

Dalam keterangan kitab lain disebutkan:

معنى المفطر، كقوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: «من قال لأخيه والإمام يخطب: أنصت.. فلا جمعة له» . ولم يرد: أن صلاته تبطل، وإنما أراد: أن ثوابه يسقط، حتى يصير في معنى من لم يصل

“Adapun hadits tersebut, maka yang dimaksud adalah menggugurkan pahala puasa, sehingga menjadi makna perkara yang membatalkan puasa, sebagaimana contoh hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang berkata kepada saudaranya sedangkan imam berkhutbah, “ Diamlah“, maka tidak ada Jumat baginya,“ hadits ini tidak bermaksud sholatnya batal, akan tetapi yang dimaksud adalah bahwasanya pahala Jumatnya gugur sehingga menjadi makna orang yang tidak shalat.“ (Al-Bayan fi Madzhabi syafi’i, juz 3, halaman 536).

Untuk kesempurnaan ibadah puasa Ramadhan kita, maka selama berpuasa hindari bacaan, postingan berita, gambar, video dan lainnya yang mengarah pada ghibah, fitnah, adu domba dan perbuatan apapun yang diharamkan.***

Penulis: KH Abdul Muiz Ali, Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUIMUI

Sumber: mui.or.id

Leave a comment