Gadis Kretek, Kota M dan Gempuran Kapitalisme Global di Industri Rokok (bagian 4)
Pontianak, insidepontianak – Serial Gadis Kretek di platform streaming Netflik, memberikan gambaran, bahwa sejarah adalah produk yang terus berulang.
Tinggal, kita bisa melihat sejarah rokok kretek itu sebagai pembelajaran, atau hanya menganggapnya peristiwa perlintasan saja.
Begitu pun dalam industri rokok kretek yang menjadi perjalanan sejarah, produk sosial dan budaya masyarakat Indonesia. Rokok kretek turut menjadi saksi sejarah dari bangsa yang terus berjalan ini.
Ketika depresi ekonomi melanda dunia tahun 1930-an, industri rokok kretek terus berjalan dan tetap bertahan. Begitu pun saat Indonesia mengalami krisis ekonomi tahun 1998. Bisnis rokok kretek dapat bertahan dari gempuran krisis, yang melumpuhkan hampir semua sendi perekonomian bangsa.
Kenapa industri rokok kretek sanggup bertahan? Sebab, semua bahan baku rokok kretek, mulai dari tembakau, saus, cengkeh, kertas bungkus rokok, semua dipasok dari dalam negeri. Konsumen terbesarnya juga orang Indonesia. Bisnis rokok kretek tetap bertahan, meski Indonesia didera krisis begitu hebat.
Begitu pun era pemerintah Hindia Belanda. Ada proteksi yang baik dan menguntungkan bagi industri rokok kretek. Alasannya, bisnis rokok kretek merupakan penyumbang pajak, bagi pemerintah Hindia Belanda.
Ketika Indonesia merdeka, pemerintah turut memberikan kebijakan yang baik bagi industri rokok kretek. Misalnya, tahun 1970-an, pemerintah mencanangkan swasembada cengkeh, demi kurangi impor cengkeh. Tahun 1968, pemerintah mengizinkan penggunaan mesin atau mekanisasi industri, pembuatan rokok Bentoel. Selanjutnya, Djarum melakukan mekanisasi pada 1976. Gudang Garam, 1978. HM Sampoerna, 1984 (Abhisam, dkk, 2012).
Mekanisasi industri telah membuat perubahan besar pada bisnis rokok kretek, dengan lahirnya rokok kretek menggunakan filter. Kemasan rokok lebih bagus, sehingga bisa lebih bersaing dengan rokok putih. Tampilan rokok kretek berfilter, telah meningkatkan gengsi para penikmatnya.
Sebelumnya, rokok kretek identik dengan kelas menengah ke bawah. Rokok putih identik dengan kelas menengah ke atas. Adanya rokok kretek berfilter, telah membuat rokok kretek mendongkrak citra diri penikmatnya. Terutama, penjualan rokok kretek dalam bersaing dengan rokok putih dari luar negeri.
Kemajuan industri rokok kretek, kian maju dengan program transmigrasi. Pemerintah secara ‘tidak sengaja’, turut melebarkan pasar rokok kretek dengan penyebaran warga ke luar Jawa.
Coca Cola pernah memberikan minuman gratis pada pasukan Sekutu, di mana pun mereka berada saat Perang Dunia II. Hal itu sebagai bagian dari promosi gratis Coca Cola. Tak hanya memberikan kemasan Coca Cola dalam bentuk botol, berbagai dispenser berisi minuman khas tersebut, bebas dikonsumsi para serdadu.
Ketika Perang Dunia II usai, jalur distribusi, promosi, bahkan pabrik Coca Cola, sudah terbentuk dengan sendirinya di berbagai negara. Terutama, wilayah yang dekat atau menjadi penyangga perang.
Penghancuran Rokok Kretek
Pertengahan tahun 1999, pascakrisis ekonomi, timbul kegaduhan di dalam negeri. Pemerintah Indonesia membuat Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan. Hal terkait rokok diatur, misalnya; iklan, promosi, dan sponsorship.
Pemerintah memberlakukan larangan merokok di tempat tertentu. Penjualan rokok dibatasi. Peringatan kesehatan harus tercantum dalam produk dan kemasan rokok. Kadar kandungan tar dan nikotin turut dibatasi dengan level maksimum 20 mg (tar) dan 1,5 mg (nikotin).
Bila peraturan itu diberlakukan, perusahaan rokok kretek paling terdampak. Sebab, kandungan tar dan nikotin pada rokok kretek sangat tinggi. RPP itu diberlakukan pada Oktober 1999, dengan lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 1999, tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan.
PP itu menandai, perang global melawan tembakau telah masuk ke Indonesia.
Perang global melawan tembakau awalnya terjadi di Amerika Serikat, antara perusahaan farmasi dan industri tembakau. Bisnis nikotin mendulang ceruk miliaran dollar Amerika. Bisnis itu diperebutkan.
Wanda Hamilton dalam ‘War Nicotine (2010)’, menulis, di balik perang tembakau, tersembunyi kepentingan besar bisnis perdagangan obat-obat Nicotine Replacement Therapy (NRP) atau penghenti kebiasaan merokok. Seperti; permen karet nikotin, koyok obat, semprot hidung, obat hirup, zyban, dan lainnya.
“Kampanye kesehatan publik terkait bahaya tembakau, hanya kedok bagi kepentingan bisnis memasarkan produk penghenti kebiasaan merokok atau NRP,” tulis Wanda Hamilton.
Nikotin merupakan bahan dasar pembuat NRP. Tapi, dikotin tak bisa dipatenkan. Hanya bahan yang mirip nikotin saja bisa dipatenkan. Berawal dari situlah, persaingan dagang itu bermula. Perusahaan farmasi menggelontorkan dana sangat besar untuk riset, kampanye dan propaganda, menggandeng mitra, dan lainnya.
Bahkan, tiga perusahaan besar farmasi dunia, seperti; Pharmacia Upjohn, Novartis, dan Glaxowelcome, menggandeng dan mendanai Badan Kesehatan Dunia (WHO), untuk membuat WHO Tobacco Free Initiative. Salah satu tujuannya, mempromosikan WHO Frame Convention on Tobacco Control (FCTC). Selanjutnya, produk FCTC menjadi landasan hukum internasional bagi perang melawan tembakau di seluruh dunia.
Michael Bloomberg, Yahudi Amerika Serikat dan Wali Kota New York tiga periode (2001-2012), turut berperan besar dalam perang isu melawan tembakau. Tahun 2006, ia menggelontorkan dana 125 juta dollar Amerika. Tahun 2008, memberikan 250 juta dollar Amerika. Bahkan, bersama Bill Gates, Bloomberg mengumpulkan dana sebesar 500 juta dollar Amerika.
Di Indonesia, Bloomberg menggelontorkan dana ke berbagai LSM yang konsen dengan isu perlindungan anak, kesehatan, konsumen, atau korupsi. Juga masuk ke kampus, pemerintah di tingkat Pusat, Provinsi, Kota/Kabupaten untuk program anti-tembakau di Indonesia.
Tak heran bila lahir Perda Kota Bogor Nomor 12 Tahun 2009, tentang Kawasan Tanpa Rokok. Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 88 Tahun 2010, tentang Kawasan Dilarang Merokok. Perda anti-tembakau lainnya, turut dibuat di Surabaya, Tangerang, Depok, Bandung, Palembang, Pekanbaru, Padang Panjang, Makassar, dan lainnya.
Bahkan, Bloomberg juga masuk ke ormas keagamaan. Hasilnya, keluar fatwa mengharamkan rokok.
Abhisam menulis, dibalik sikapnya yang selalu memberikan hibah untuk memerangi tembakau, Bloomberg merupakan orang yang mendukung operasi militer Israel ke Palestina. Bahkan, ketika berkunjung ke Israel, Bloomberg dengan terus terang berkata, “Bukti dukungan Amerika terhadap Israel dapat Anda saksikan lewat kedatangan kami ke Israel.”
Ekspansi dan Akuisisi
Tak hanya melalui isu perang dagang tembakau, penghancuran rokok kretek juga dilakukan dengan akuisisi atau mengambil alih perusahaan rokok kretek di Indonesia. Tahun 2004 dan 2005, Philip Morris, produsen rokok terbesar di dunia dan penghasil rokok putih Marlboro, mengakuisisi 97 persen rokok kretek HM Sampoerna dengan nilai US$ 5,2 miliar atau Rp 48,5 triliun. Nilai akuisisi itu jumlah paling besar yang dikeluarkan Philip Morris, untuk membeli perusahaan rokok di seluruh dunia.
Saat dijual, HM Sampoerna merupakan perusahaan rokok terbesar pertama di Indonesia, yang menguasai 33 persen pangsa pasar rokok. Tahun 2004, HM Sampoerna masih membukukan laba sebesar Rp 1,99 triliun. Ketika dibeli Philip Morris, tahun 2005, HM Sampoerna membukukan keuntungan sebesar Rp 2,38 triliun.
Tahun 2008, British American Tobacco (BAT), perusahaan rokok terbesar nomor dua dunia, mengakuisisi 85 persen saham rokok kretek Bentoel dengan nilai US$ 494 juta atau Rp 5 triliun. Saat diakuisisi, Bentoel merupakan perusahaan rokok nomor empat terbesar di Indonesia. Bentoel pemegang tujuh persen pangsa pasar rokok di Indonesia.
Kini, kejayaan industri rokok kretek Indonesia, sudah ditumbangkan di negerinya sendiri. Keuntungan industri rokok yang sangat potensial, pada akhirnya terus mengalir ke negara yang menjadi pusat perusahaan dan industri rokok tersebut.
Inilah bukti, kapitalisme global selalu bisa mencari bentuk dan masuk ke berbagai lembaga dan institusi. Seperti, lembaga pendidikan, LSM, media massa, pemerintah dan lainnya, untuk memasukkan kepentingannya.
Sebelumnya, produk khas Indonesia, minyak kelapa juga sudah dihancurkan melalui perang dagang dan kampanye, melawan produk minyak bunga matahari atau minyak kedelai. Komoditas garam, gula, garam dan jamu, juga sudah dijungkirbalikkan.
Ini bagian dari pengulangan sejarah. Dan, kita sudah terbiasa dengan mengunyah bagian remahnya saja. (Muhlis Suhaeri)
Penulis : admin
Editor :
Leave a comment