Seabad NU dan Turast

3 Maret 2024 09:28 WIB
Ilustrasi

Oleh: Khairul Fuad

Nahdlatul Ulama (NU) ternyata telah berusia satu abad dalam hitungan Hijriah kalender Islam, tepatnya 16 Rajab 1344–1444 Hijriah. Meskipun, kurang dari hitungan lima jari saja dalam hitungan kalender Masehi.

Perhelatan satu abad sedianya dipusatkan di Stadion Gelora Delta Sidoarjo Jawa Timur, sebuah wilayah yang erat awal tonggak bendera NU dikibarkan tepatnya di Jalan Bubutan VI Nomor 2 Surabaya pada sebuah bangunan arsitektur kolonial yang dibangun pada 1909.

Konferensi R20 Nusa Dua 2022 rasanya bagian rangkaian Seabad NU, mendulang sukses signifikan, baik bagi Nahdliyin maupun Negeri ini. Konferensi bertaraf internasional mengangkat tema keterbukaan melalui partisipasi semua pihak anak negeri dengan latar berbeda dan beragam perspektif para pembicara, baik dalam maupun luar negeri berbasis satu pandangan agama, yaitu Islam.

Bukti, Islam terbuka dengan berbagai pihak, terselenggara di negara multisegalanya, Indonesia. Bahkan, di wilayah yang sama-sekali berbeda basis NU agama Islam dan mayoritas Indonesia berpenduduk muslim, yaitu, Nusa Dua Bali.

Menarik fenomena NU berlabel tradisional, sempat berhadapan dengan rezim pada masa Gus Dur (Allah yarham). Fenomena demikian memunculkan trend pemikiran civil society (masyarakat sipil) dan sempat menyemarakkan platform di dunia akademisi melalui basis Piagam Madinah sebagai kerangka epistimologi menuju aksiolagi.

Sebelumnya memang NU selalu dikaitkan dengan tradisi-tradisi pemikiran lama melalui kekuatan tradisi  pesantren yang sesungguhnya telah diadopsi di era milineal sekarang ini.

Tradisionalisme selama ini disematkan NU sesungguhnya membawa keberuntungan tersendiri (blessing in disguise). Progresivitas tampak dalam perjalanan NU, tidak hanya sebagai ormas agama terbesar, juga produk-produk intelektual (intelectual products) melalui pemikiran bernas.

Bahkan, realitas NU mampu menderivasikan pemikiran-pemikiran sebagai basis objek analisis, sebut saja Ahmad Najib Burhani, intelektual muda yang tulisannya terkait NU sering mewarnai media-cetak mainstreams tanah air. Kini, tengah membidani sebuah Organissasi Riset Ilmu Pengetahaun Sosial dan Humaniora (IPSH) membawahi BRIN.

Di lingkungan NU sendiri muncul intelektual-intelektual yang mewarnai dunia akademik nasional, bahkan internasional. Sebut saja, Ulil Abshar Abdalla yang sering diundang di forum-forum ilmiah, baik nasional maupun internasional sebagai pembicara.

Meskipun, mantunya Gus Mus ini pernah kesandung polemik kontroversial pemikiran Islam (Islamic thought) dan kini sepertinya mengalami titik-balik menggeluti dunia sufistik dengan mengampu pengajian daring Ihya Ulumuddin, karya besar Imam Al-Ghazali.

Tentu tidak ketinggalan, Gus Dur sendiri dekat sekali dengan kontroversial, baik dari sisi pemikiran maupun pergerakannya. Pemikiran kontroversinya pernah berseberangan dengan kyai sepuh waktu itu, termasuk pergerakannya sempat membuat panas penguasa waktu itu, misalnya melalui Fordem.

Nyata adanya adalah Muktamar NU Cipasung 1994, vis a vis penguasa dengan muncul istilah ABG (Asal Bukan Gus Dur) demi menyingkirkan dari suksesi PBNU waktu itu. Jargon yang selalu diingat, gitu saja kok repot, termasuk syair yang pernah dipopulerkan, Syi’ir Tanpa Waton, terkenal di kalangan Nahdliyyin.

Gambaran dinamika pemikiran dan pergerakan NU, representasi tokoh-tokohnya,  dipastikan terkait dengan legasi-legasi klasik para Ulam, termasuk pemikir-pemikir Barat klasik. Secara global, tradisi kajian legasi para pemikir, terutama Ulama, merupakan habitus kuat NU melalui pesantren sebagai basis pendidikannya. Legasi tersebut sering disebut turats dalam wacana kajian agama (religious study), buku-buku warisan atau peninggalan ulama-ulama klasik.

Dengan demikian, the power of turats merupakan motor utama bagi pemikiran dan pergerakan NU, sekaligus menjaga dan mengiringinya sampai seabad kini.  Peradaban teks bagian penting dalam membangun dan mengembangkan NU selama ini sampai sekarang ini. Kekuatan turats, baik secara eksoterik maupun esoterik, misalnya orientasi fikih dan tasawuf inherent dengan NU, termasuk ilmu alat (gramatikal) inherent pada sebuah pesantren.

Revitalisasi turats akhir-akhir ini ditunjukkan oleh K.H. Ahmad Bahaudin Nursalim, kajiannya sangat mudah diketahui melalui mesin pencari digital. Intelektual santri akrab disapa Gus Baha ini selalu mendasarkan kajiannya kepada turats-turats para Ulama dan para Masyayikh pendiri (Muassis) Nahdlatul Ulama. Apalagi, dibarengi sanad-sanadnya menjadi jamak dan konprehensif kajiannya sehingga atmosfernya berbeda sama-sekali dengan pengajian-pengajian pada umumnya.

Pada dasarnya, kajian-kajian Gus Baha sudah sangat mengakar di kalangan pesantren di bawah bendera NU. Dikarenakan dukungan media sosial, kajian tersebut viral sekaligus gayung bersambut sebagai counter attack kajian agama transnasional yang marak di Negeri ini.

Selain Gus Baha, para Aga’is (Gus-Gus) intelektual Nahdliyyin melakukan kajian sama melalui kanal-kanalnya masing. Termasuk Gus Mus sapaan K.H. Ahmad Mustofa Bisri, sangat aktif di media sosial, baik untuk relasi sosial maupun relasi intelektual.

Seabad NU dan Turast terdapat sedikit irisan dengan tema Harlah Satu Abad NU, Merawat Jagad Membangun Peradaban. Dalam hal ini Membangun Peradaban pasti berbasis teks atau turats, legasi para pendahulu sebagai guidance memelihara dan melanjutkan peradaban. Beririsan juga dengan kaidah terkenal di kalangan Nahdliyyin, al-muhafadatu al-qadim al-salih wa al-‘akhdu bi al-jadid al-‘aslah, upaya kaidah ini sulit terimplementasi tanpa daya-dukung turats-turats sebagai sumber pengetahuan dialektika membangun peradaban.

Dengan demikian, turats legasi para Masayikh NU perlu dipelihara, baik secara fisik, biasanya berbentuk buku, maupun secara nonfisik melalui kajian-kajian. Pemeliharaan fisik upaya menjaga keaslian karya, misalnya digitalisasi sekaligus bergayung sambut upaya nonfisik melalui, baik studi maupun riset. Seabad NU terdapat sisi yang harus dipelihara dan diupayakan, mengingat seratus tahun, sudah banyak yang ditinggalkan untuk terus diwariskan kepada Nahdliyyin dan Negeri ini, bahkan dunia ini demi Merawat Jagad Membangun Peradaban.

Ultah 060221

Penulis Civitas BRIN Program Riset Manuskrip, Literatur, dan Tradisi Lisan.

Leave a comment